Unek-Unek Malik

Saat jerih payah mulai menuai hasil, hati seolah membumbung ke langit. Melihat anak-anakku tumbuh dengan segala keajaibannya, ragaku serasa terbang, bahagia tentu saja. Entah itu merupakan hasil jerih payah mengasuh mereka selama ini, ataupun memang begitu semestinya. Yang jelas, aku merasa senang dan takjub. Ya, anak-anak memang makhluk luar biasa. Mereka dikirim Allah dari surga.

Barangkali ini perkara sepele. Bahkan tak berhubungan dengan surga. Tapi entahlah, aku merasa suka karena Malik melakukannya. Kami sedang berjalan-jalan ke sebuah toko di sebelah V&D, Sabtu lalu. Malik mengikutiku masuk ke toko pakaian itu, sambil berlari-lari membawa pisang kesukaannya. Setelah berlarian kesana kemari, tiba-tiba seorang ibu tua pemilik toko menegurnya. Tak tahu dia bicara apa, aku tak fasih berbahasa Belanda. Tampaknya ibu itu menegur Malik karena pisangnya. Aku tak menyangka, ternyata Malik ‘tersinggung’. Ia merasa bahwa ibu itu mengomelinya. Hmm… rupanya betul, anak-anak sangat paham bahasa tubuh dan intonasi lawan bicaranya.“Ik, pulang yuk… tokonya udah mau tutup sayang” seruku mengajak Malik pulang. Namun, tubuhnya enggan bergerak. Dia hanya duduk di pinggir tangga, dengan wajah marah khas Malik –mata nyureng dan mulut sedikit manyun ke depan.

“Aik nggak mau pulang!”

“Kenapa sayang, Aik marah ya. Sini di peluk bunda yuk…”

“He-eh” katanya sambil mengangguk

“Oo bunda tau, Aik marah sama nenek itu kan?”

“Iya” jawab Aik sambil tetap belum ingin pulang

“Mmm…gimana ya biar marahnya Aik hilang? kita pulang aja yuk”

“Nggak mau! Aik nggak mau pulang!”

“Jadi gimana dong biar Aik mau pulang dan marahnya hilang? Aik mau bilang sama nenek itu kalo Aik marah?”

Eh… ternyata dengan pe-denya Malik mengangguk. Ah, ternyata, kebiasaanku untuk selalu meneguhkan perasaannya dan menyelesaikan masalah yang timbul dengan perasaannya itu telah diserapnya. Aku menggandeng tangan Malik menghampiri ibu tua itu.

“Aik yang bilang sendiri ya, sini digendong sama bunda” Lagi-lagi Aik mengangguk. Dari bibir mungilnya langsung saja keluar ‘unek-unek’ di hatinya. Hi hi, aku geli sekali melihatnya.

“Nek, Aik marah sama nenek” kata Aik sambil bicara dan menatap wajah ibu tua itu. Tentu saja si nenek tak mengerti bahasa Indonesia. Kontan dia menjawab “Wat zeg je? (kamu bilang apa?)” Aku langsung menjawab pertanyaan si nenek.

“Can you speak English?”

“Yes, I can speak English”

“He said, he was angry with you” he he aku berkata sambil cengar cengir kepada si nenek. Tentu saja si nenek ikut geli mendengarnya.

Ha ha… si nenek tertawa sambil menjelaskan perkara tersebut kepada teman di sebelahnya. Hi hi aku pun tak kuat menahan tawa. Lantas aku meminta Malik untuk say good bye kepada si nenek. Aik pun tersenyum dan melambaikan tangan pada si nenek

“Dag…” kata Aik.

“Dag…I love you!” jawab si nenek kepada Aik yang masih menatapnya lucu.

“Aik masih marah nggak sekarang?”

“Enggak bun…” jawabnya.

Hi hi ajaib deh rasanya, ternyata Aik langsung lega dan mau pulang. Aik… Aik…ada-ada saja ulahnya. Di luar toko aku menceritakan semua kejadian di dalam tadi kepada ayah. Hi hi ayah juga geli mendengarnya. “Berarti Aik sudah mulai terbiasa untuk mengkomunikasikan perasaan yang dialaminya dan menyelesaikannya saat itu juga. Bagus kan ma” ujar ayah.

Ya, ternyata kebiasaan berkomunikasi dengan empati –dari pelatihan KPA yang aku terapkan pada Malik– mulai tampak hasilnya. Tentu saja aku senang. Semoga aku dan ayah masih tetap diberi kesabaran untuk selalu mengembangkan kebiasaan itu. Tak mudah memang, apalagi dalam keadaan lelah. Namun kapan lagi kalau bukan sekarang. Inilah saatnya untuk menanam dan selalu menanam. Baru berbuah seperti ini saja rasanya sudah selangit. Bagaimana kalau lebih ya? Mmm… tapi aku masih tetap berpijak di bumi koq :-). Mudah-mudahan aku tak menjadi lalai karenanya, dan anak-anakku bisa menjadi manusia seperti yang diinginkan Tuhannya.

“Aik Tambah Romantis deh… dan Lala, Kasih Surat cinta buat bunda!”

Lala-suratkecil.jpg

Aku heran, entah kenapa hari ini Aik selalu ingin menciumku. Hi hi ayah sampai iri jadinya. Barangkali dia ingin meniru ayahnya, atau mungkin teori komunikasi pengasuhan anak itu lumayan berpengaruh padanya. Hmm apapun lah, yang jelas anak belajar dari contoh kan…

“Bunda, Aik sayang sama bunda, Aik mau cium bunda, emmuah, emmuah ” kata Aik sambil mencium pipi ku kiri dan kanan.

Anehnya, itu dilakukannya berkali-kali. Aku hitung, hari ini dia memperlakukan aku seperti itu sampai 6 kali. Biasanya kan cuma bilang ‘Bunda, Aik sayang sama bunda’. Eh, lha koq sekarang pakai acara cium segala he he. Senang banget kan melihat Aik yang tambah romantis :-).

Tapi, kadang-kadang, ciuman itu cuma senjata lho. Tadi dia ingin aku menemaninya main komputer. Tapi aku sedang pipis dan meminta Aik untuk sabar. Eh dia malah protes…

“Aik nggak mau bunda pipis, tadi kan Aik udah cium bunda, bunda kesini!” gitu kata Aik sambil merengek galak. Ya… ciumannya nggak gratis ternyata hehe… Tapi yang lain gratis koq, cuma sekali tadi aja ya Ik…:-)

Lala-amplopkecil.jpg

Kalau Lala, romantisnya beda. Lala senang sekali bikin surat cinta. Kemarin waktu aku sedang masak di dapur, tiba-tiba dia datang ketok pintu dapur. “Tok…tok…tok… dat is en brieftje for jou (ini ada surat untukmu)”

“Oh, dank u well Lala (makasih)”

“Buka bun…buka…”

“Oh…cantik sekali, surat buat bunda ya, coba sini bunda baca, isinya apa ya… ‘Lala sayang sekali sama bunda…’ …wah bagus sekali, Lala udah pinter nulis surat sekarang ya…makasih sayang…”

Oya, kadang Lala juga suka sekali pura-pura memberi hadiah buat ayah bunda dan Aik. Hadiahnya berisi mainan atau barang-barang punya Lala yang dibungkus kertas kado. Lucu deh :-).

“Bunda, dat is kadotje for jou…(bunda, ini ada kado untukmu)” gitu kata Lala…

kadotje.jpg

Hmm seneng nggak sih, diromantisin sama anak. Cara mereka memang beda, tapi maknanya sama kan… Mudah-mudahan aku diromantisin teruuus sama mereka sampe tuek :-)…

Karena Bondu, Lala Bolos Sekolah

lala-nangis.jpg

Wuih pagi ini betul-betul pagi yang melelahkan!. Setiap hari Selasa, tak cuma Lala yang sekolah tapi juga Malik, jadi kerepotan bertambah. Beberapa minggu ini Lala sudah jarang terlambat sekolah lagi karena aku dan ayah sudah menemukan rumus baru. Rumusnya adalah, tak perlu masak pagi, cukup menghangatkan masakan sore. Dulu aku memasak pagi agar aku mau tak mau bisa bangun lebih pagi. Tapi ternyata, lebih enak bangun pagi diisi dengan kegiatan lain, bukan memasak. Aku jadi bisa membantu ayah menyiapkan anak-anak, dan anak-anak tak terlambat sekolah lagi.
Continue reading “Karena Bondu, Lala Bolos Sekolah”

Empatinya Lala dan Malik sama Bunda

Sebagai orangtua, aku cuma berusaha mempraktekkan teori-teori tentang parenting yang aku tahu. Ya, kadang-kadang berhasil, kadang juga harus ikhlas kan kalau anak tetap tak sesuai teori. Namanya juga usaha :-). Tapi, hari ini hatiku serasa disiram air surga lho sama anak-anakku, ceile segitunya :-). Entah mengapa, hari ini keduanya begitu menunjukkan empati. Senang sekali rasanya.Pulang sekolah, sewaktu sedang makan, Lala melihat bunda sedang duduk di kursi. Tiba-tiba dia nyeletuk ” Bunda jangan suka kesel lagi yaa…”

“Bunda kesel kan cuma kalo lagi capek aja La, bunda udah lama nggak pernah kesel lagi kan…”

“Iya bun. Kalo gitu, kalo bunda capek, bunda bilang aja sama mbak Lala, nanti mbak Lala bantuin cuci piring, Lala suka cuci piring bun…”

“Wah, seneng sekali bunda, makasih ya sayang…”

Eh, tiba-tiba Aik nyahut, tak mau kalah.

“Kalo Aik…kalo Aik…”

“Aik mau apa sayang, mau pijitin bunda?”

“Enggak bun, Aik mau injek-injek bunda”

“Waduh, baik sekali ya anak-anak bunda…makasih sayang…”

Hmm… baru dibilang begitu aja sama anak rasanya sudah selangit deh he he.

Oya, tadi pagi, ada cerita lain lagi dari Aik. Aku lagi capek, dan entahlah bayangan-bayangan itu mengganggu lagi. Lalu aku menangis sendirian di kamar. Tiba-tiba, AIk datang menghampiriku. Melihat aku yang sedang menangis, dia langsung protes dengan wajah ikut sedih.

“Aik mau bunda nggak sedih lagi. Bunda harus tarik napas! Kalo bunda sedih nanti Aik ikut sedih…”

Hiks…hiks…aku malah tambah nangis karena terharu sama perhatian Aik. Makasih ya sayang… Makasih anak-anakku…