Madurodam yang Berkesan

Liburan ke Madurodam, tanggal 27 Maret 2005

madurodam-keluarga.jpg

“Wow…mooi(cantik)… Lala mau foto sama bunga ini yah, yang itu juga, yang disana juga. Fotonya yang banyak ya yah, mulai dari yang kecil sampe yang mekar” sahut Lala kegirangan. Kami baru saja sampai di pelataran Madurodam, ketika Lala belum apa-apa sudah antusias sekali melihat bunga-bunga cantik musim semi yang mulai bermekaran. Aku dan suamiku heran, kenapa dia begitu terpesona pada bunga-bunga itu. Padahal orang dewasa biasanya menganggap “Ah, bunga kayak gitu kan biasa aja” Apalagi tujuan utama bukan ke taman bunga seperti Keukeunhoff yang memang asoy. Tapi ternyata anak-anak punya ‘mata’ sendiri dalam memandang. Lala menganggap bunga itu penting tampaknya.

Madurodam-bunga.jpg

Hal yang sama terjadi juga waktu senja mulai datang dan kami akan segera pulang. Lala bersikukuh untuk mengitari Madurodam sekali lagi. Dia pun meminta dengan suara tak jelas dan rengekan. Aku jadi sedikit kesal karena sudah kelelahan dan hampir saja ‘mengompori’ suamiku untuk mengabaikan keinginannya. Untung suamiku masih punya sedikit ruang kesabaran. Ternyata, dia hanya ingin melihat ‘Anne Frank huis’ ! Ya ampun apa jadinya kalau kami menolak permintaannya. Selain kekecewaan Lala, tentu kami pun membuang kesempatan untuk memberikan pengetahuan baru tentang Anne Frank pada Lala. Ya, jadi orangtua memang harus menyediakan banyak sekali ruang kesabaran, bila tidak ingin mematikan potensi anak. Dan yang pasti, liburan bisa jadi bukan hanya sekedar liburan, ketika kita sebagai orangtua bisa sedikit lebih peka. Peka terhadap anak, juga membuka mata dan hati sedikit lebih lebar ketika berjalan-jalan.

Lala-Anne-Frankhuis.jpg
Lala berpose di depan rumah Anne Frank

Madurodam terletak di The Hague alias Denhaag–ibukota Negara Belanda bagian Selatan. Madurodam, sebagai ‘kota’ terkecil di Belanda merupakan miniatur kota-kota di Belanda, yang dibuat dengan skala 1:25. Unik sekali, anak-anak bisa merasa seolah menjadi raksasa ketika memasukinya. Dan setelah membayar ticket masuk, ada buku paspor khusus bagi anak-anak yang didalamnya berisi soal-soal pertanyaan dan gambar-gambar menarik tentang madurodam. Tentu saja ini bisa mengasah pengetahuan geografi mereka. Jadi terasa betul, betapa pihak madurodam juga memikirkan faktor edukasi untuk anak-anak yang berkunjung kesana, bukan hanya sekedar melihat-lihat tanpa arti.

Madurodam-paspor.jpg

Madurodam-Aik.jpg

Satelah masuk ke dalam dan melihat dari kejauhan, Wah… Lala dan Malik langsung berlari-lari kesenangan. Dua buah kereta dorong yang sengaja kami bawa untuk mereka, tergolek nganggur karena mereka tak mau menaikinya. Mereka langsung ngacir- ngeluyur karepe dewe . Malahan Malik nyaris hilang karena ayah dan bunda sudah keropotan mengejar-ngejar Malik. Awalnya, selama masih eye catching kami biarkan saja dia pergi kemanapun ia suka. Tapi ternyata, saking ‘liar’nya anak itu, sewaktu di gedung tempat Mifty berulang tahun, seorang satpam menghampiri bunda sambil memberikan Malik yang menangis dalam gendongannya. Hmm… kaget campur geli juga, Malik hilang sejenak hehe. Alhamdulillah, Malik baik-baik saja. Hikmahnya semestinya kami tidak lupa membekalinya ID card dan langkah-langkah antisipasi bila mereka tersesat. Karena sehati-hati apapun kita sebagai orangtua, ditempat seramai itu, segala sesuatu bisa terjadi kan.

Karena hari itu hari Minggu, Madurodam jadi sangat padat dipenuhi pengunjung. Anak-anak antusias mengikuti arah panah di jalan setapak supaya bisa melihat bangunan-bangunan kecil menarik sesuai yang ada di buku. Ada Cathedral tower Utrecht yang menara gerejanya merupakan menara gereja tertinggi di Belanda. Ada pasar keju di Alkmaar, ada canal quarter Rijksmuseum Amsterdam, dan tentu saja Anne Frank House di Amsterdam. Disitulah ayah bercerita pada Lala tentang kisah Anne Frank yang bersembunyi di rumah itu karena dikejar-kejar oleh tentara Natzi.

Pokoknya, hampir seluruh tempat-tempat menarik di berbagai kota di Belanda, dibuatkan miniaturnya di Madurodam. Stasiun central Groningen tampak cantik sekali dengan patung kuda Uncle Luck khas Groningen. Miniatur Blaak station, Euromast dan Jembatan Erasmus yang menjadi ciri khas kota Rotterdam pun tampak menawan. Bandar udara Schippol Amsterdam, wind turbine park, Efteling, dan beragam miniatur lainnya membuat anak-anak senang sekali menjadi pengamat dan berlarian menuju tempat kesukaan mereka masing-masing.

Madurodam-erasmus.jpg
Ini dia jembatan Erasmus dengan latar Euromast

Setelah itu, Malik bersikukuh ingin naik kereta api berkeliling Madurodam. Dia tak sabar ingin segera naik, padahal penumpang harus antri, karena peminat cukup banyak. Puas naik kereta api, kami masuk ke gedung tempat exhibition ‘Miffy in Madurodam’. Kebetulan, saat itu memang sedang berlangsung acara ulangtahunnya Miffy–maskot boneka kelinci yang terkenal karya Dick Bruna–yang ke-50. Di dalam gedung tempat exhibition miffy disediakan bermacam-macam tempat bermain bagi anak-anak. Ada tempat main pasir, rumah-rumahan untuk menggambar dan mewarnai, ada pertunjukan boneka, dan ada juga acara foto bersama dengan boneka besar Miffy. Wuah pengunjung berebutan ingin berfoto bersama si Miffy. Malik dan Lala sih ogah aaah… Mereka lebih senang bereksplorasi dengan segala hal baru yang dijumpainya.

Aik-Miffy.jpg

Tak terasa hampir 5 jam kami mengitari tempat itu. Padahal menurut temanku, mengitari tempat itu 2 atau 3 jam saja sudah sangat puas. Namun ternyata, begitulah kalau ingin memberikan kepuasan pada anak-anak. Energi mereka tak ada habisnya untuk mengeksplorasi sesuatu yang baru.

Saat sedang menikmati uniknya madurodam itu, aku dan suamiku mencoba untuk mengamati keadaan sekitar. Berusaha untuk lebih peka ceritanya (taela…:-)), walaupun sebetulnya sulit lantaran kami disibukkan dengan acara potret sana-potret sini dan mengejar-ngejar Malik dan Lala yang sering hilang entah kemana. Apa yang kami dapatkan? Ternyata beberapa turis Jepang dan bule berbahasa Inggris selalu menjelaskan berbagai hal mengenai bangunan yang dijumpainya kepada anaknya. Sang ayah menjelaskan kepada anaknya, si anak mendengarkan dengan penuh perhatian. Tampaknya asyik sekali, ngomong apa saja ya mereka? Anak-anak bule itu juga semangat sekali mengisi pertanyaan-pertanyaan yang ada di dalam buku paspor. Apa yang terjadi dengan orang Indonesia umumnya? Sebatas melihat-lihat dan berfoto bersama saja kan biasanya. He he malu nggak seh :-)

Bagi aku dan suamiku, semua itu membawa hikmah, untuk selalu mempersiapkan diri ketika hendak pergi ke suatu tempat. Kalau ilmu di kepala banyak, tentunya banyak pula cerita yang bisa mengalir dari mulut orangtua untuk memuaskan rasa ingin tahu si anak. Sehingga liburan betul-betul bisa bermanfaat bagi semua.

Ya, walaupun dalam perjalanan ke Madurodam kali ini, aku dan suamiku belum terlalu siap dengan banyak bacaan, tapi setidaknya kami bersyukur karena bisa memberikan sedikit pengetahuan baru tentang Anne Frank pada Lala. Dan bagi Malik, walaupun dia sempat hilang sejenak, tapi kami juga senang karena kami telah memuaskan keinginannya untuk bereksplorasi kesana-kemari.

Si Jempol Korban Pisau

Aik-jempoldarah.jpg

Pisau memang tajam dan berbahaya bagi si kecil. Tapi ketimbang melarangnya sama sekali mengenal benda itu, lebih baik kita ajarkan cara memakainya dengan benar kan. Kalau tidak, suatu saat pasti mereka penasaran, dan tetap saja mencoba-coba sendiri. Wah lebih bahaya lagi akibatnya. Karena itulah, aku membiarkan anak-anakku belajar memakai pisau, sejak mereka mulai memintanya.

“Aik mau motong wortel bun” kata Aik yakin.

“Oke ik, tapi Aik harus hati-hati ya. Bagian mana yang nggak boleh Aik pegang?”

“Yang ini!” jawab Aik sambil menunjuk bagian pisau yang tajam.

“Kenapa Aik nggak boleh pegang bagian ini?”

“Karena… nanti Aik bisa mati” jawab Aik lagi dengan pe-de nya

“He he, kalo yang tajem ini kena tangan Aik, bisa luka dan berdarah Ik, bahaya ya. Jadi Aik pegang gagangnya aja ya”

“Iya!” katanya sambil lansung memotong wortel satu persatu

Aik-motongwortel.jpg

“Wah, Aik hebat ya udah pinter motong wortel, bunda mau ke kamar dulu sebentar, Aik hati-hati ya” Lalu aku meninggalkan Aik memotong wortel sendirian, karena Aik memang sudah beberapa kali memotong sayur sendiri. Ternyata…jreng…jreng…

“Aik berdarah sedikit bun…” sahut Aik tiba-tiba. Tapi suaranya begitu tenang, wajahnya pun tidak meringis kesakitan. Waktu aku melihatnya, O…O…kejadian deh… Jempol Aik tergores pisau dan berdarah! “Wah, berdarah ya Ik, Aik hebat ya berdarah sedikit nggak nangis. Dikasih obat ya Ik. Motong wortel nya udahan aja ya…” aku berusaha untuk tidak heboh, padahal hatiku agak kebat-kebit juga melihat lukanya. Ternyata, Aik melihat perubahan ekspresi wajahku yang mungkin tampak agak panik. Anak-anak memang pintar baca bahasa tubuh ya :-). Jadi, wajah Aik langsung merengut sambil bilang ” Aik, masih mau motong wortel…, bunda kesana! Bunda nggak boleh liat Aik” katanya galak.

Wuadoh bingung, ini anak, jempolnya sudah berdarah-darah begitu, masih keukeuh mau melanjutkan acara motong wortel. “Mmm tapi tangan Aik berdarah Ik, udahan aja ya motongnya” pintaku.

“Enggak! Aik mau bunda kekamar!” lanjut Aik galak. Wajahnya pun mulai nyureng seperti biasa.

Ya sudah, akhirnya aku melanjutkan cek-cek email di kamarku. Eh… ternyata koq malah ada yang marah besar.

“Bunda! Aik bilang… bunda kesana. Ke kamar ayah, bukan di kamar sini!” kata Aik mencak-mencak.

“Oh, bunda disuruh ke kamar ayah to…” aku bingung juga, apa maunya ini anak ya. Aku pikir, Aik tak mau dilihat waktu memotong wortel, makanya aku disuruh pergi. Ya, kesempatan deh buat melototin komputer lagi di kamar kerja ayah hehe, dasar bunda, ijo nih matanya kalo liat kompi hehe. Ternyata lagi… wah ada yang marah lebih besar lagi!

“Hua…bunda…kenapa bunda ngetik… hua… Aik marah sama bunda. Kenapa bunda nggak ambil kassa huaa…”

Ha ha ha… aku kaget campur geli waktu tiba-tiba Aik masuk kamar ayah dan menangis sambil mencak-mencak. “Oh…jadi maksud Aik, bunda suruh masuk kamar ayah tuh suruh ngambil kassa ya. Buat jempolnya Aik yang berdarah?”

“Hu hu..hu… iya… iya..bun…”

Hi hi…Aik…Aik… ada-ada saja. Entah kenapa dia menyuruhku mengambil kassa dengan cara muter-muter begitu. Mungkin dia merasa bersalah karena tangannya berdarah. Atau mungkin juga dia tak mau melihat aku panik. Aik kan memang penuh perhatian sama bunda hehe. Entahlah, aku masih tak tahu apa penyebab Aik muter-muter begitu, yang jelas, dia memang tahu betul bahwa tempat kassa ada di kamar kerja ayah. Akhirnya lukanya aku beri obat dan aku tutup pakai kassa. Ini memang ritual wajib bagi Aik kalau tangannya berdarah, selalu harus dibungkus kassa. Lha koq akunya ini yang malah nggak ngeh :-), jadi lah Aik marah besar tadi :-) Setelah itu, karena khawatir Aik trauma memakai pisau, aku ajak dia ngobrol lagi setelah tangisnya reda.

Aik-kassa.jpg

“Jempol Aik masih sakit Ik?”

“Enggak bun, tadi Aik nangis karena marah sama bunda, karena bunda nggak ambilin kassa”

“Oh iya ya, bundanya nggak ngerti ya,jadi Aiknya marah deh. Trus laen kali Aik masih mau motong wortel lagi nggak?”

“Mau bun, tapi harus sama bunda, Aik nggak mau kalo nggak sama bunda, Aik nggak mau sendirian…”

Hmm alhamdulillah, ternyata Aik tidak trauma. Walaupun acara belajar menggunakan pisau ini memakan korban jempol Aik, tapi mudah-mudahan dari situ dia jadi belajar banyak hal.

Anak Kecanduan TV, Apa Obatnya?

Jujur saja, menjadi FTM tanpa pembantu dengan 2 anak masih kecil memang cukup melelahkan dan menyita waktu. Kadang, aku hampir tak punya waktu untuk diriku sendiri. Ketika mereka sedang nonton TV, seringkali aku bergumam sendiri “Asyiiik! Anak-anak nonton TV, aku bisa ‘melepaskan’ diri dari mereka” Hmm, jahat ya tampaknya, tapi, itulah kenyataannya. Semua teori tentang parenting dan kesadaran betapa berharganya seorang anak lenyap dari benak saat itu.

Aku sempat terlena. Komputer dengan internet yang membuat ‘hidup serasa lebih hidup’ membuatku kecanduan, dan anak-anak ‘terlantar’. Saking ‘asyik-masyuk’nya aku dengan dunia maya, aku biarkan mereka berjam-jam nongkrongin TV. Kadang-kadang malah dari pagi sampai sore. Acara sekolah di rumah Malik pun jadi sering batal. Secara teori aku paham tentang bahaya TV, dan aku sempat berhasil menjauhkan mereka dari TV. Tapi ternyata untuk menjadi orangtua yang konsisten memang sulit sekali. Apalagi dengan kondisiku yang mungkin masih mengalami culture shocked waktu itu. Aku sangat bersyukur, karena doaku–untuk dibimbingNya menjadi orangtua sesuai kehendakNya–barangkali didengar. Ternyata Allah masih mau memberi lagi kesadaran itu. Suatu ketika aku tersentak membaca sebuah posting artikel dari WRMom. Uraian Mohammad Fauzil Adhim dalam artikelnya yang berjudul ‘Memenjarakan Anak dengan Kebebasan’ membuatku menangis. Hatiku seolah mendapat pencerahan lagi. Aku kirim artikel itu pada suamiku dan aku minta pendapatnya. Aku diskusikan pula hal ini dengan uni Eva. Semuanya membuat pikiran dan hatiku semakin terbuka. Akhirnya aku dan suamiku sepakat untuk menjadikan masalah ini sebagai prioritas.

Aku harus rela untuk menjauhkan diriku dari dunia maya ketika sedang bersama anak-anak. Terutama Malik, karena biasanya Lala sekolah sampai jam 15.00. Sulit sekali, bahkan hingga kini. Tapi barangkali betul bahwa pengorbanan memang tak pernah sia-sia. Hampir satu bulan lamanya aku menjauhi komputer di siang hari. Kami membuat aturan ketat untuk ini. Lala dan Malik hanya boleh menonton TV atau bermain komputer selama 2 jam sehari. Mereka boleh pilih, 1 jam komputer 1 jam TV, atau 2 jam untuk TV. Acaranya pun mereka boleh pilih sesuai kesukaan mereka. Lala tentu saja memilih nonton ‘Winx’ di sore hari. Malik biasanya aku beri pilihan menonton film ‘Blues Cues’ atau Dora, yang sedikit educated lah.

Alhamdulillah, akhirnya sekarang mereka bisa jauh dari TV. Malik yang dulu selalu protes kalau diminta untuk mematikan TV, sekarang setelah film Dora selesai selalu mematikan TV sendiri tanpa disuruh. Lala juga sama, setiap selesai nonton Winx, langsung TV dia matikan. Ya walaupun sesekali masih perlu diingatkan, tapi buat kami ini perubahan yang sangat bermakna.

Ternyata obat nya mudah, membuat kesepakatan bersama dan konsisten untuk selalu mengingatkan kesepakatan tersebut. Oya tentu saja orangtua juga tak boleh menjadi pecandu TV. Untungnya aku dan suamiku memang tak suka menonton TV. Dan obat yang menurutku paling sulit adalah saat harus rela menemani mereka beraktivitas pengganti menonton TV. Tapi demi masa depan anak, sesulit apapun diusahakan jadi mudah deh. Alhasil, ‘bye-bye’ komputer buat bunda hehe. Komputer hanya ‘available’ 1 jam waktu Aik nonton TV pagi hari atau sore saat Lala nonton Winx. Selanjutnya, terpaksa harus rela bergadang sampai pagi kalau mau tetap ‘bermesraan’ dengan komputer hehe.

SURPRISE! Aik Minta Menulis Diary!

Diary bukan sekedar tempat curhat. Kalau dibiasakan sejak kecil, menulis diary ternyata bisa meningkatkan kecerdasan intrapersonal. Begitu kata buku ‘Menjadi 7 Kali Lebih Cerdas’ yang aku baca. Lantaran cukup terkesima dengan dampak menulis diary itulah aku dan suamiku sepakat untuk mulai membiasakannya pada anak-anak kami.

Awal Maret lalu, aku belikan mereka buku tulis tebal berwarna pink dan biru. Hari-hari pertama, aku selalu rajin meminta mereka untuk menulis diary. Tentu saja aku atau suamiku yang menuliskannya. Tapi kalau kami kelelahan, acara menulis diary jadi sering terlewat. Kadang-kadang, Malik dan Lala pun hanya menulis satu baris kalimat saja dalam diarynya jika mereka sedang malas atau capek.

Wah…wah… kalau semangatnya hanya di awal saja, bisa berabe nih. Untuk mengantisipasinya, ayah membuat kertas reward yang ditempelkan di dinding. Setiap anak yang mau sholat, berdoa dan menulis buku harian akan mendapatkan 1 bintang. Eh… ndilalah anak-anak antusias, kellihatannya mereka jadi bersemangat menulis diary, ikut sholat dan berdoa. Kecuali…siapa lagi kalau bukan Malik. Dia sih ‘suka-suka gw deh bun, kalo lagi pengen sholat ya sholat. Kalo enggak ya enggak. Bodo amat ama bintang’ hehe begitu barangkali pendapat Aik. Tapi ternyata… SURPRISE! Di pagi buta jam 4.00 menjelang subuh, tiba-tiba dia berkata “Hari ini Aik belum nulis diary bun…”

Aik terbangun karena ingin pipis, juga ingin minum susu. Hidungnya yang tersumbat juga membuatnya gelisah dan terbangun barangkali. Aik memang batuk dan pilek sejak kemarin. Badannya pun sedikit hangat sore tadi. Setelah pipis dan minum susu selesai, sepertinya Aik tak bisa tidur lagi. Lha koq ternyata Aik malah ingin menulis diary. “Hari ini Aik ke museum” kata Aik melanjutkan ucapannya. “Oh, Aik mau tulis diary sekarang? bunda ambilin bukunya ya” aku bertanya sambil mata masih mengantuk. “Iya bun, Aik tunggu sini” jawab Aik yakin. Dan… mengalirlah cerita Aik dari mulut mungilnya di pagi buta. Hmm Aik bisa tulis panjang lho. Biasanya kan hanya sebaris-dua baris. Memang sih sedikit dipancing-pancing sama bunda. Tapi, hebat deh dia bisa cerita panjang begitu. Simak diary Aik yuk…

Hari ini Aik ke museum. Terus Aik mau naik Lift. Terus Aik liat di komputer ada Aik yang lagi ke museum sama ayah, bunda sama mbak Lala. (Tiba-tiba Aik memotong ceritanya ‘Itu belum pake M bun’ –maksudnya Aik mau namanya ditulis Malik bukan Aik hehe) Malik senang ke museum. Nanti kalo udah pagi Malik mau ke museum lagi, soalnya Malik mau ke museum 3 (3 kali maksud Aik)

Itu bukan museum permainan. Itu isinya museum aja. Isinya baju tapi ditutup pake kaca. Tapi Malik liat di komputer ada Malik nulis (di museum juga ada komputer dan Aik sempat asyik mengotak-ngatiknya) Tadi pensilnya dipinjem sama tante, buat gambar. “Tante siapa bun?” Dipinjemi sama tante Sharon. Malik gambar MALIK (nulis nama MALIK maksudnya)

Malik udah ke Lift, ayah telat, terus ada bumi. Kalo lampunya dimatiin banyak Aik takut gelap (Bunda tanya ‘Apa yang membuat Aik merasa nggak senang di museum?”) Ismail Fahmi itu ayah. (he he Aik masih jaka sembung)

Habis dari museum Malik makan dulu di restaurant. Malik mau ke restaurant 3, karena Malik 3 tahun. Malik makan terus ngantuk, ngrok…gitu di kursi bunda (Aik ngomong gini sambil mencontohkannya –berbaring di tempat tidur) Terus Malik marah karena nggak ada makanan. Waktu makanannya udah dateng Malik happy. Tapi Malik nggak mau, Malik bilang “Ilek!” (Kata ini sering dipakai oleh Aik dan Lala yang artinya jijay –makanannya salad tuna, Aik nggak suka hehe) Terus Malik ngantuk.

Habis makan Malik main serodotan. Serodotannya jauh. Serodotannya di atas salju, pake plastik. Kemarin Malik pegang terus lepas tangannya. Tapi Malik nggak nangis. Malik jatoh tapi Malik nggak nangis.

Mbak Lala marah karena dia takut, takut jatoh. (bunda tanya tentang mbak Lala sama Aik) Kalo dihibur ayah, terus serodotan. Tadi Malik bilang “bunda, bunda liat itu lucu, kita foto yuk” Mbak Lala ditarik sama ayah –yang lucu ditarik sama ayah.

Malik dipinjemin kereta luncur terbuat dari kayu. Tapi ada giniannya. Buat pegangan kuat. Malik nggak jatoh.

Habis serodotan Malik pulang. Malik udah gelap, terus Malik tidur. Malik sakit, sakit batuk pilek, nggak enak. Kalo Malik sakit terus, Malik nggak mau. Kalo sakit Malik tidur. Supaya sembuh diobatin. Berdoa. “Ya Allah biarkan Aik sembuh sama mbak Lala” Udah gitu aja bun…

He he he…Aik…Aik… lutju deh kamu…