Tebak-tebakan

“Bunda Aik pengen di peluk” (oh ya Aik tuh kalo ngomong L belum bisa, jadi bilangnya pewuk) hehe. Kalo manggil mbak Lala juga mbak Wawa :-)

temennya bantal:
selimut, kalo nggak ada selimut orgnya kedinginan bunda (krn bunda tidur di bantal), mata, kalo nggak ada mata nanti aik nggak liat apa-apa, harus ada mata dong. lemari, krn kalo nggak ada lemari jam nya bisa jatoh dong, gitu. kalo dibilang salah nangis hehe. Lampu, kalo nggak ada lampu gimana dong, nanti mm…mm..nggak bisa liat bantal. Jam, kalo nggak ada jam, kita nggak bisa liat nomer. guling buat dipeluk, baju bunda hehe, biar bunda nggak kedinginan.temennya komputer : langsung jwb mouse, trus tiger cuh, kalo nggak ada tiger cuh nanti tger cuhnya nggak bisa ngetik2. Bunda, kalo nggak ada komputer nanti bunda nggak bisa ngetik, dinding, nanti komputernya nggak bisa nempel ke dinding, lampu, nanti kalo nggak ada lampu nggak bisa liat apa2 dong. Lampu kamar, spy kalo tidur terang, wkt ditanya apa hubnya? lampunya satau aja ya kan sama, nangis hehe, aik betul! ktnya keukeuh.
tulisan, ABC, di klik2 gitu ktnya. Trus kursi, kalo nggak ada kursi bunda nggak bisa ngetik, meja, kalo nggak ada meja komputernya bisa jatoh dong. kabel, kalo nggak ada kabel, komputernya nggak bisa dipasang

Belajar Jujur

Bercelana pendek dan hanya berkaus singlet, diterpa sepoi angin musim panas, Aik berdiri di atas bangku kecil berwarna merah, kuning dan biru sore tadi. Dengan riangnya berkali-kali ia melempar sesuatu dari dinding teras lantai 2 flat rumah kami ke arah bawah. Kepuasan selalu tampak diwajahnya, saat melihat benda yang dilemparnya melayang di udara lalu mendarat di atas tanah. Lala, kakak perempuannya, tiba-tiba datang menghampiri, dan mereka pun asyik bercengkrama, tertawa bersama. Hingga akhirnya ayah mereka datang menghentikan sejenak keceriaan mereka.

“Siapa ya yang sudah mengeluarkan baju-baju kotor ini dan mengambil keranjangnya?” tanya ayah sambil menunjuk ke arah baju-baju kotor yang berserakan di lantai.

“Aik!” sahut Lala.

“Mbak Lala!” Aik tak mau kalah.

“Aik yah, betul-betul Aik” wajah Lala meyakinkan ayahnya.

“Ayo, ayah mau anak ayah jujur, kalo nggak ada yang ngaku begini kan ayah bingung. Yang sudah berbuat harus bertanggungjawab beresin lagi. Siapa tadi yang ngeluarin baju-baju kotor ini dari tempatnya?”

“Mbak Lala!”

“Aik!”

“Mbak Lala!”

“Aik!”

Suara mereka nyaring terdengar saling menyalahkan tak ada hentinya.

Ayah mereka segera bertindak. “Eh, Allah itu maha tau lho. Walaupun ayah tadi nggak lihat siapa yang melakukan, tapi Allah tau. Allah akan sangat sayang sama anak yang jujur. Ayo Aik, siapa tadi yang ngeluarin baju dari keranjang?”

“Mbak Lala!” kata Aik meyakinkan.

“Bukan mbak Lala! Aik yah, Aik itu bohong!” si kakak mulai meradang.

Dengan polosnya Aik berbohong. Aik memang cerdik. Dia sebenarnya sedang tidak mau mengembalikan baju-baju kotor itu. Pertanyaan ayahnya tampaknya dia pertimbangkan benar. Dia tahu, kalau dia bilang iya, artinya dia harus mengembalikan baju-baju itu ketempatnya. Karena dia sedang tidak mau, berbohonglah ia sebagai jalan yang paling mudah. Anak seumur itu memang lagi umurnya sa’enak-e dewe, masa sulit dan masanya untuk belajar yang seharusnya tentu.

“Aik, Aik boleh bilang gitu, tapi Allah itu maha tau lho,” kata ayah menatap Aik.

“Kenapa Allah maha tau yah?” si kakak mulai penasaran.

“Karena Allah yang menciptakan kita. Jadi Allah tau semuanya,” jawab ayahnya.

“Ik heb en idee! (aku dapat ide!)” kata si kakak tiba-tiba. “Karena Allah ada dalam hati, jadi Allah bisa dengerin kita yah.”

“Ha..ha..ha.. pinter Lala!” seru ayah. “Iya betul, Allah ada dalam hati kita jadi Dia tahu.” Ayah membatin kagum, “Hebat betul Lala, bisa memberi penjelasan yang lebih mudah dimengerti anak-anak!”

“Sekarang pejemin mata, baca bismillah, terus tanya sama Allah yang ada di dalam hati yah,” mata Lala berbinar-binar melanjutkan idenya.

“Ya, bagus sekali idenya La.” puji ayahnya. “Jadi siapa yang berantakin?”

“Mbak Lala!” jawab Aik.

“Betul mbak Lala?” tanya ayah.

“Iya, tadi Aik liat Allah bilang mbak Lala” kata Aik dengan tampang tak berdosa.

“Siapa mbak Lala?”Ayah nya ganti bertanya.

“Aik yah! Aik itu bohong! Allah bilang itu Aik” sahut si kakak yakin.

Ayah tahu, Aik memang sedang tak mau membereskan baju kotor. Jadi, dia tidak mau mengerjakannya sendiri. “Ayah cuma pingin tau koq siapa yang berantakin baju, nanti beresinnya dibantu sama ayah. Siapa Ik yang tadi ngambilin baju-baju kotor ini?”

“Aik.” Akhirnya keluar juga nama itu dari mulut mungilnya. Singkat, tapi tetap dengan wajah tak berdosa hehe.

“Wah ayah seneng sekali sama anak yang jujur. Sini, Aik dikasih hadiah peluk sama ayah.” Kata ayah sambil memeluk jagoan kecilnya.

Lalu mereka berdua membereskan baju yang berserakan itu. Tapi…O…O… Aik hanya mau mengembalikan baju bunda. “Karena Aik sayang bunda,” kata Aik memberi alasan. Sisanya tentu saja ayah yang harus mengerjakan. Hmm…Aik memang pintar cari alasan deh :-).

Kejujuran memang mahal. Tapi bagaimanapun, kejujuran adalah bekal berharga yang harus dimiliki anak-anak. Dengan kejujuran lah kelak mereka bisa menjadi manusia yang sesungguhnya. Manusia berderajat tinggi di mata sesama dan juga Tuhannya.

Rebutan lagi…rebutan lagi…

Rebutan.jpg
Demi keadilan aku rela :-)

Berebut mainan? Rasanya semua anak pasti pernah melakukannya, apalagi kakak beradik yang usianya tak terpaut jauh. Malik dan Lala? Hmm…tentu saja iya, berebut barang sudah menjadi makanan mereka sehari-hari. Bagusnya, mereka jadi belajar berbagi, dan belajar mengendalikan ego masing-masing. Kabarnya masa egosentris yang menjadi ciri anak balita ini, bila tak tertangani dengan baik bisa bahaya akibatnya. Biasanya, orangtua jaman dulu sering mengorbankan anak pertama supaya mengalah kan. Alhasil, kakak jadi pengalah, dan si adik jadi semau gue. Duh, kami sungguh tak mau begitu. Kalau begitu, si kakak jadi terdzolimi kan.

Selama ini aku dan suamiku mengatasi masalah ini dengan membuat kesepakatan tentang kepemilikan barang. Warna pink untuk Lala dan warna biru untuk Malik. Selain itu kami juga selalu mengatakan bahwa Lala perempuan dan Malik laki-laki. Jadi mainan berbau perempuan ya untuk Lala, dan laki-laki untuk Malik. Tapi, selalu saja ada barang lain yang menjadi bahan rebutan. Jadi, tak heran kalau tiada hari tanpa berebut.

Dulu, kami selalu turun tangan membantu kalau mereka sedang berseteru. Tapi sekarang, mereka kami dorong untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri. Biasanya mereka main pingsut, siapa yang menang dia yang duluan pegang mainan itu. Setelah hitungan ke-10, 20 atau 100 sesuai kesepakatan, barulah yang kalah mendapat kesempatan. Kadang berhasil, kadang tetap saja kami harus membantu melerai. Suka duka jadi orangtua deh kalau sudah begini :-) Pusing hehe. Tapi satu hal yang membuat kami yakin, masa ini akan terlewati dengan baik bila kami tetap konsisten. Tapi…kapan ya? Malam ini, lagi-lagi mereka ribut.

“Hua…hua… Aik mau boneka itu, kalo enggak, Aik mau nangis terus, huaa…huaa!”

Duh, tangis Aik keras sekali, padahal ini sudah jam tidur. Perkaranya, apalagi kalau bukan rebutan mainan dengan Lala. Lala punya boneka Eiffel, oleh-oleh dari Paris. Waktu itu kesepakatannya, Malik dapat puzzle Eiffel dan Lala dapat boneka Eiffel. Ternyata… namanya anak-anak, tetap saja rebutan. Lala mau boneka itu dia peluk menjelang tidur. Malik menangis keras lantaran ia pun ingin memeluknya sebelum tidur.

“Itu kan bonekanya mbak Lala Ik, Aik pegang boneka lain aja ya”

“Enggak! Aik mau yang itu huaa…huaa…” Begitulah Aik, memang sedang masanya tak bisa dilarang atau ditolak. Aku berusaha menenangkannya, meneguhkan perasaannya. Biar saja Aik menangis, supaya dia belajar bahwa tak semua yang diinginkan bisa terkabul saat itu juga. Tapi karena Lala kasihan melihat adiknya menangis terus barangkali, tiba-tiba Lala jadi berbaik hati.

“Bunda, Ik heb good idea (aku punya ide bagus)” katanya sambil bisik-bisik ditelinga bunda.

“Bonekanya dikasih pinjem aja ke Aik sampe Aiknya tidur ya bun, kalo Aiknya udah tidur diambil lagi sama mbak Lala”

“Waduh…mbak Lala baik sekali mau berbagi” sahut bunda surprise. Dan, Aik tentu saja langsung mesam-mesem berhenti menangis.

“Aik, Aik boleh pinjem sampe hondred, tachtig ya (100, 80 hitungan maksudnya) Tapi pinjem ya, ini punya mbak Lala ya, Aik pinjem ” ujar Lala menegaskan.

“Pinjemnya sampe Aik bobo ya mbak Lala, mbak Lala baik sekali”

“Iya bun” Lala menjawab singkat lalu meringkuk dalam selimutnya.

“Aik bilang apa sama mbak Lala?”

“Bedankt (trimakasih)” kata Aik sambil senyum-senyum

Fffhuuihh…lega… akur dah, aku takjub juga dengan kebaikan hati Lala :-). Semenit, dua menit, lima menit berlalu, Aik senang sekali memeluk boneka milik kakaknya. Tapi tiba-tiba…koq ada suara hiks…hiks… Oo.. ternyata ada yang tidak ikhlas hehe.

“Mbak Lala nggak bisa bobo kalo nggak peluk boneka hu…hu…hu…”

“Kalo gitu Lala peluk boneka lain aja ya, Aiknya belum tidur mbak”

“Hua…nggak mau, itu kan bonekanya Lala huaa…Aik harus kembaliin huaa…”

Duorr! Pecah lagi deh kamar. Ribut. Rebutan lagi.

Akhirnya karena sudah larut malam, ayah terpaksa turun tangan. Diambil jalan tengah, “bunda yang pegang bonekanya ditengah, Aik pegang dari kanan dan mbak Lala dari kiri, oke.”

“Huaa.. tapi itu kan bonekanya mbak Lala…huaa…”

“Iya La, adeknya pengen pegang sedikit boleh kan La, Lala pegang yang banyak oke”

Horee berhasil! Tapi dalam hati aku geli sendiri. Lucu melihat Malik memegang ujung boneka dengan tangannya. Lala pun memegang dari arah yang lain. Dan bunda? “Bunda harus pegang yang putihnya” kata Aik.

Oke deh… Jadilah 3 tangan memegangi satu boneka sambil tidur he he. Dasar anak-anak…ada-ada saja…Dan akhirnya mereka pun tertidur…Zzz…zzz…

Yang Tak Hilang dari Perjalanan

Ber3-di-metro.jpg
Di dalam metro

Kami baru turun dari metro di Noisy Champ ketika tiba-tiba seorang anak lelaki negro tersandung dan terjatuh di depan kereta dorong Malik. Kejadian itu begitu cepat dan tentu saja anak-anakku menyaksikan semuanya. Bapak anak berkulit legam itu tiba-tiba datang. Tanpa ba bi bu ia langsung menampar dan menyeret anak itu. Tarikannya teramat kasar diikuti dengan teriakan marah pula. Aku terkesiap. Ada yang tergores di dada ini melihat wajah kesakitan anak itu. Kemarahannya seperti si anak habis mencuri saja, padahal semua tak sengaja. Malik dan Lala hanya bisa melongo, begitu juga aku. Tapi aku tak bisa membiarkan kejadian ini terekam begitu saja di kepala anak-anakku. Continue reading “Yang Tak Hilang dari Perjalanan”