Menangani Kemarahan Lala dan Aik

Siang tadi, sepulang menjemput Lala dari sekolah, cuaca cukup cerah. Aku mengajak anak-anak ke taman. Susah betul mengharapkan cuaca bagus di Groningen, jadi aku tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Lala mengajak ke tempat permainan luncur di belakang rumah, tepatnya di depan komplek pertokoan. Mereka asyik sekali tertawa-tawa bermain papan luncur. Setelah kelelahan, mereka kehausan ingin minum. Aku meminta agar mereka sabar menunggu sampai rumah. Tapi Aik marah seperti biasa, ingin kemauannya segera terpenuhi. Sekarang aku sudah mulai bisa mengendalikan diri agar tidak emosi menghadapi kemarahan mereka, apapun kondisiku.

Tapi Ternyata bukan hanya itu, setelah masuk toko Trek Pleister, Lala marah karena tidak kuijinkan membeli bondu. Aik juga marah karena tak kupenuhi keinginannya untuk membeli lego. Hmm… aku hampir saja tergoda untuk membelikan Lala bondu, karena dia memang belum punya. Lagi pula Lala jadi tampak manis sekali memakainya. Untung aku ingat ilmu parenting yang satu ini ‘tidak semua keinginan anak harus terpenuhi, mereka harus belajar untuk menunda keinginan’. Aku pakai cara ‘PS’ tapi tak mempan, mereka tetap saja marah. Berdialog dalam kondisi seperti itu pun tak memungkinkan. Akhirnya, aku mengulang-ngulang minta maaf sambil memeluk mereka “maafin bunda ya sayang, bunda nggak ada uang buat beli, Lala sama Aik nabung aja dulu ya biar bisa beli” Lama-lama capek juga mereka, dan akhirnya mau disuruh pulang. Padahal di hati rasanya sudah capeek menunggu mereka dan lelah juga untuk konsisten. Tapi ya… resiko jadi orangtua lah ya…

Comments are closed.