Pikiran Rakyat, Minggu, 09 Januari 2005
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0105/09/hikmah/lain02.htm
“Ayah, Lala nggak mau pulang ke Indonesia, Lala takut sama gempa bumi,” ujar gadis kecil berusia 5 tahun ini kepada ayahnya. “Lala takut ya, sini…sini dipeluk sama ayah nak. Indonesia itu luas sayang, yang kena gempa kan Aceh. Di Bandung rumah lala dulu aman koq, kan jauh dari Aceh, jadi nggak ada gempa di sana. Sekarang yang penting Lala di sini aman sama ayah dan bunda, karena di sini nggak ada gempa” jawab ayah Lala mencoba menenangkan. “Kenapa di sini nggak ada gempa yah?”tanya Lala lagi. Belum sempatayahnya menjawab, tiba-tiba, Malik, adik Lala yang baru berusia 3 tahun ikut berkomentar “Aik takut sama gempa di Aceh. Nanti…nanti…kalo Aik naik pesawat terbang ke Aceh, Aik mau liat dari atas pesawat aja. Habis itu Aik mau pulang lagi ke Belanda,” sahut bocah laki-laki itu berapi-api menjelaskan keinginannya. Ayah mereka hanya bisa tersenyum dan berusaha menjawab pertanyaan anak-anaknya dengan sabar. Namun yang pasti si ayah tersadar, anak-anaknya sedang mengalami ketakutan pasca terjadinya gempa tsunami.TAK dapat diMungkiri, dahsyatnya bencana gempa tsunami yang melanda beberapa negara di Asia, termasuk Indonesia, akhir Desember lalu menjadi pemberitaan yang hangat dan selalu menarik untuk diikuti. Namun orang tua terkadang lupa dengan dampak yang muncul pada anak setelah melihat berbagai tayangan di media. Mayat bergelimpangan, penguburan massal menggunakan truk pengeruk, luluh lantaknya kota, dan berbagai gambaran menyeramkan lainnya dapat menimbulkan masalah tersendiri bagi anak, seperti dalam cerita di atas. Tetapi, bila orang tua mengetahui cara yang tepat, masalah yang timbul tidak akan berkepanjangan. Sebaliknya orang tua malah dapat mengambil hikmah dengan menjadikannya momen yang tepat untuk menambah pengetahuan, dan mengasah EQ serta SQ anak.
Dalam foxnews.com disebutkan, Randall D. Marshall, MD, profesor di bidang psikiatri New York State Office of Mental Health mengatakan, pada kasus pasca tsunami seperti sekarang ini, orang tua sebaiknya mengatasi rasa takut anak dengan meyakinkan anak bahwa apa pun yang terjadi, mereka tetap aman bersama orang tuanya. Orang tua sebaiknya juga tidak membohongi anak atau berusaha menutup-nutupi kejadian. Orang tua harus menceritakan kejadian gempa dan pascagempa yang sebenarnya, tanpa perlu memberikan gambaran detail untuk hal-hal yang mengerikan. Anak-anak adalah makhluk yang cerdas dan dapat mengetahui apa yang mereka lihat. Secara natural mereka pun mengalami kesedihan dan kekecewaan akan bencana ini. Karena itu orang tua dianjurkan membantu anak agar mau membicarakan semua yang dirasakannya. Melihat beragam penayangan di media memang pasti menyedihkan, tragis, menyakitkan, dan menakutkan bagi anak. Tetapi membicarakannya dengan orang tua akan sangat membantu anak.
Dari keterangan di atas dapat dikatakan bahwa berbicara, berkomunikasi, dengan anak lah yang menjadi senjata untuk ‘menyembuhkan’ anak dari rasa takut dan berbagai rasa tak nyaman yang muncul setelah menonton tayangan tentang gempa. Komunikasi memang penting karena komunikasi adalah kunci dari sebuah hubungan. Berkomunikasi dengan anak terkadang tidak lah gampang. Dibutuhkan keterampilan dan pembiasaan sehingga orang tua mahir dalam berkomunikasi agar tujuan dapat tercapai. Komunikasi yang efektif harus diawali dengan saling respek dan menghargai, penuh empati, bisa dimengerti oleh anak, sesuai dengan bahasa anak serta dilakukan dengan rendah hati.
Untuk mengasah EQ anak sekaligus mengatasi rasa takut, rasa sedih dan beragam perasaan tidak nyaman yang muncul tersebut, orang tua harus mendengarkan dengan penuh perhatian, memahami perasaan anak, tidak mengabaikan perasaan tersebut dan meneguhkan perasaan yang timbul. Biasanya, saat anak sedang ketakutan atau menangis karena sedih orangtua akan mengatakan “Masak begitu aja takut, kan gempanya jauh di Aceh” atau “Cengeng ah, begitu aja koq nangis”. Cara berkomunikasi dengan mengabaikan perasaan anak seperti ini akan mengakibatkan anak menjadi bingung dan kesal, tidak percaya pada perasaannya sendiri, tidak mengenali perasaannya sendiri dan membuat anak menjadi tidak percaya diri.
Ketika seorang anak sedang dalam keadaan takut, orang tua bisa memeluknya sambil meneguhkan perasaannya dengan mengatakan “Adek takut ya sama gempa bumi. Adek takut gempa buminya terjadi di sini ya…” Dengan berulang-ulang mengatakannya dan meneguhkan bahwa perasaan yang dialaminya itu benar dan diperbolehkan, biasanya anak akan merasa lebih tenang. Setelah anak merasa tenang, pada umumnya anak akan menceritakan semua hal yang dirasakannya. Kemudian, orang tua dapat melanjutkan percakapan dengan meyakinkan bahwa mereka aman bersama ayah dan bundanya.
Jika anak sudah merasa tenang, aman dan senang, orang tua bisa mulai mengajak anak berdiskusi untuk menggugah kepedulian mereka terhadap korban gempa. Orang tua dapat bertanya “Menurut adek, gimana ya perasaan para korban gempa yang kehilangan ayah bundanya, atau saudaranya? Kira-kira adek mau bantu apa buat menolong korban gempa yang masih hidup?” Anak yang lebih kecil mungkin akan menjawab hal yang tidak masuk akal atau bahkan tidak menjawab sama sekali. Tapi kebiasaan komunikasi dengan berdiskusi seperti ini akan terekam dalam ingatannya dan akan memberikan dampak yang baik di kemudian hari. Selanjutnya anak-anak dapat dilibatkan dalam kegiatan amal yang dilakukan oleh orang tua. Mereka dapat diajak ikut serta untuk menyumbangkan sebagian uang tabungannya, mengirimkan kartu duka lewat pos, atau ucapan duka lewat email bersama orang tua.
Selain itu, pembicaraan juga dapat diarahkan untuk menambah pengetahuan anak. Pada umumnya anak sangat kritis dan ingin tahu mengenai semua hal yang baru. Mereka akan bertanya tentang seluk-beluk gempa, seperti mengapa bisa terjadi gempa? Kenapa di Aceh terjadi gempa sedangkan di belahan bumi lain tidak? Dimana letak Aceh? Dan beragam pertanyaan cerdas lainnya. Inilah kesempatan bagi orang tua untuk berdiskusi dengan mereka. Jangan biarkan rasa ingin tahu mereka padam karena orang tua mengabaikan pertanyaan mereka dan tidak meluangkan waktu untuk menjawabnya. Orang tua dapat bersama-sama pergi ke perpustakaan atau toko buku mencari jawaban-jawaban pertanyaan anak. Orang tua dapat pula membacakan buku-buku yang berkaitan dengan gempa tsunami pada anak. Pengetahuan tentang geografi pun bisa sekaligus diberikan dengan bersama-sama mempelajari peta, memperkenalkan pulau-pulau di Indonesia, di dunia, atau membuat eksperimen sederhana yang berhubungan dengan gempa.
Peristiwa bencana ini juga dapat dijadikan kesempatan bagi orang tua untuk mengasah SQ anak. Ketika anak ketakutan, sambil memeluk dan memberikan rasa aman, orang tua dapat sekaligus mengajarkan anak untuk bergantung kepada Tuhan. Dalam bukunya yang berjudul ’10 Prinsip Spiritual Parenting’, Mimi Doe dan Marsha Walch menganjurkan orang tua untuk selalu mengingatkan anak akan kekuatan Tuhan. Ketika manusia berhubungan dengan kekuatan Tuhan, manusia akan memiliki keberanian yang mengagumkan. Orang tua dapat mengatakan pada anak “Kalau adek ketakutan, adek berdoa sama Allah ya, adek bilang ‘Ya Allah adek takut sama gempa, beri adek kekuatan supaya jadi berani’ Allah sayang sama adek, adek pasti dikasih keberanian sama Allah”. Setelah anak tenang dan dalam kondisi senang, orang tua dapat melanjutkan pembicaraan tentang syukur. “Alhamdulillah ya dek, kita di sini aman, nggak kena gempa. Kita berterima kasih yuk sama Allah yang sudah melindungi kita”. Selanjutnya anak-anak dapat diajari untuk selalu bersyukur sebelum tidur dengan rahmat yang telah diberikan hari ini. Bagi anak yang lebih besar, mereka bisa diminta untuk menuliskan dalam buku khusus ucapan terima kasih atas rahmat apa saja yang telah mereka terima. Mengakui dengan berbagai cara setiap rahmat yang diterima dalam hidup akan membuat anak merasa lebih bahagia, dan merasa lebih dekat dengan Tuhannya.
Di balik sebuah petaka pasti terpetik banyak untaian hikmah. Gempa tsunami yang terjadi kali ini memang menyisakan luka yang mendalam. Namun bila orang tua mencoba mengambil hikmah dari peristiwa ini dengan memberikan hal-hal yang posisif bagi anak, pengorbanan mereka yang tertimpa bencana tak akan pernah sia-sia. Dengan mengasah EQ, SQ, dan menambah pengetahuan mereka dari momen bencana ini, semoga bisa betul-betul melahirkan generasi bangsa yang lebih baik di kemudian hari. (dr. Agnes Tri Harjaningrum, ibu 2 anak, tinggal di Groningen, Belanda)***
Comments are closed.