Bawang Merah dan Pelabelan pada Anak

Aku sering menceritakan kisah ‘bawang merah dan bawang putih’ pada anak-anakku. Mereka senang mendengarnya, selalu ingin lagi dan lagi, walaupun sekarang tidak lagi, karena mereka sedang gandrung dengan cerita ‘Nenek dan tulang’ dari ayah. Aku mendapatkan pelajaran berharga dari Lala beberapa hari lalu. Pesan moral yang sampai lewat cerita ternyata begitu kuat meresap dalam benak mereka, dan satu hal lagi yang penting, pelabelan pada anak memang harus positif. Alhamdulillah selama ini aku selalu tekankan pada mereka bahwa mereka anak baik, tak boleh ada yang menyebut mereka nakal, dan tak boleh mereka mengucapkan kata-kata nakal. Ternyata, itulah citra diri yang melekat bagi lala, bahwa lala adalah anak baik.Siang itu, Lala dan Aik sama-sama ingin makan dengan lauk nugget ikan. Kemudian aku menggorengnya untuk mereka, 4 buah. Setelah matang, aku bawa ke piring mereka masing-masing. Lala langsung mengambil semua nugget itu ke piringnya. Dengan sangat lembut aku berkata kepadanya “Lala, yang sebagian buat Malik ya…”

“Tapi mbak Lala laper bun, mbak Lala suka nugget ikan”

“Iya, tapi kalo lala ambil semua, berarti lala kaya bawang merah,rakus namanya”

Lala langsung terdiam, menangis keras,dan mengembalikan semua nugget ikan dalam piringnya.

“Hiks…hiks…bunda bukan bundanya lala,bunda bukan bunda yang baik. Kalo bunda, bunda yang baik, bunda ngomongnya nggak gitu. Lala nggak mau makan lagi huaa… ”

Aku tersentak kaget dan langsung tersadar,aku telah salah bicara.

“Maafin bunda ya la, bunda salah ngomong, lala nggak rakus, lala nggak kaya bawang merah, lala anak baik, biasanya kan lala mau berbagi kan la.”

“Huaa…lala nggak sayang sama bunda, bunda bukan bunda yang baik. Kalo bunda baik, bunda nggak ngomong gitu. Lala anak baik, lala bukan kaya bawang merah huaaa…Lala kembaliin semua, lala nggak mau makan lagi! Huaa…”

Aku tahu, lala tersinggung dan marah sekali. Aku langsung memeluknya. Aku benar-benar tak sengaja mengucapkan kata-kata itu tadi. Aku memang salah. Aku peluk dia erat-erat, dan aku belai-belai rambutnya sambil meneguhkan perasaannya.

“Lala, lala marah sekali ya sama bunda karena bunda bilang lala kaya bawang merah dan rakus”

“Huaaa…iya, lala marah sekali sama bunda. Lala nggak kaya bawang merah bun lala anak baik, huaaa…”

“Iya la, lala anak yang baik sekali, bunda tau, lala pasti tersinggung dan marah sekali karena omongan bunda tadi. Maafin bunda ya sayang, bunda salah ngomong tadi.”

“Huaaa… lala nggak sayang sama bunda, bunda bukan bunda yang baik”

“Lala pasti marah sekali ya sama bunda, sekarang lala lagi nggak sayang ya sama bunda. Maafin bunda ya sayang…”

“Hiks…tapi bunda nggak boleh ngomong kaya gitu lagi, kalo enggak, lala marah sekali sama bunda hiks…”

“Iya sayang, bunda minta maaf, bunda janji nggak akan ngomong gitu lagi, lala anak yang baik sekali, biasanya juga lala mau berbagi sama aik kan. Sekarang lala masih marah sama bunda? banyak atau sedikit?”

“Sedikit bun…hiks…hiks…” Tangis lala mulai mereda

“Alhamdulillah, bunda seneng deh, mbak lala sekarang kalo marah nggak lama-lama lagi, makasih sayang udah mau maafin bunda. Lala masih marah sama bunda sekarang?”

“Enggak bun…” jawab lala sambil masih sesikit sesenggukan.

Hmmh… betul-betul sensitif dia, persis seperti aku. Ya, tapi ini pelajaran berharga juga buatku. Ternyata tidak sia-sia aku ikut pelatihan komunikasi pengasuhan anak dari klub buah hati waktu itu. Setelah diteguhkan perasaannya, anak-anak mudah sekali tenang. Tapi ya aku memang hanya bisa melakukannya ketika kondisiku pun dalam keadaan normal. Jika tidak, wuah, hilang semua teori itu. Tapi mudah-mudahan, setelah kesadaran baru kemarin, kondisi apapun tetap bisa membuatku memberikan yang terbaik. Amin.

Comments are closed.