Your daily life is your temple and your religion, Kahlil Gibran.
Setiap orang boleh-boleh saja untuk setuju atau antipati dengan kalimat ini. Apalagi jelas-jelas kalimat tersebut ‘hanya’ milik seorang penyair, bukan sebuah hadist maupun ayat-ayat Al Qur’an. Akan tetapi, sebuah ayat Al Qur’an menyebutkan bahwa seekor semut pun terkadang membawa kebenaran. Jadi bisa saja kalimat diatas menyimpan kebenaran bukan? Cerita berikut barangkali bisa sedikit menyingkap betulkah ada kebenaran dalam kalimat sang penyair.Alkisah, di sebuah kota metropolitan ternama, hiduplah seorang lelaki setengah baya yang kaya raya dan sangat mulia akhlaknya. Hal lain yang menjadikannya istimewa adalah karena senyuman yang selalu tersungging di bibirnya.Tentu saja bukan senyuman milik orang gila, sebab si lelaki masih sangat-sangat waras. Lantas, apa pantasnya lelaki ini dijadikan bahan cerita?
Seperti hidup manusia lainnya, perjalanan kehidupan tak pernah sama. Kadangkala dipenuhi tawa dan bahagia, terkadang pula diiringi tangis dan kesedihan. Terlahir di sebuah dusun terpencil dengan orangtua yang miskin, membuatnya ingin mencicipi kemewahan dunia. Dikaruniai otak yang terbilang lumayan, dikejarnya mimpi melanjutkan studi di kota besar. Berjuang melawan saingan, diraihnya pula impian meneruskan studi di negeri orang. Sepulang dari tanah orang, hidupnya bagai dalam genggaman. Bekerja menjadi pemimpin sebuah perusahaan besar, berapapun uang yang diperlukan tak lagi menjadi hambatan.
Ada pepatah yang bilang, ‘semakin tinggi pohon, semakin kencang angin bertiup’, begitu pula kehidupan membawanya. Hidup memang tak lagi kekurangan, namun harga yang harus dibayar pun semakin mahal. Hitam kelamnya dunia bisnis dan persaingan terkadang memusingkan kepalanya setiap hari. Dihina, dicaci dan dibenci oleh lawan menjadi makanannya sehari-hari. Kawan yang menentramkan pun banyak pula dijumpai, namun ulah lawan bisnis ataupun bawahan yang menjengkelkan selalu hadir dalam kehidupannya setiap hari.
Klise memang, cerita biasa mungkin. Namun ternyata, dia lelaki luar biasa. Silih bergantinya masalah yang timbul setiap hari, selalu dilaluinya dengan senyuman. Bukan senyuman palsu karena paksaan, tetapi senyuman tulus dari lubuk hatinya yang juga selalu tersenyum. Kesedihan, kekesalan dan kemarahan yang datang, kegalauan ketika beragam masalah muncul, terkadang memang memporak-porandakan hati dan pikiran. Tetapi semua ‘lumpur’ itu tetap berhasil membuatnya serasa hidup dalam istana. Rasa sedih, rasa marah, kecewa, benci, dendam dan semua rasa negatif yang muncul dihatinya, selalu bisa diolah dan ‘dijinakkan’ sehingga yang muncul hanyalah sebuah senyuman dan kata-kata penuh kedamaian.Tak pernah dibiarkannya si ‘lumpur’ berlama-lama bertengger dalam hatinya. Tidak pernah pula terlontar ucapan dan tingkah laku yang menjengkelkan. Hatinya selalu damai, selalu tentram apapun ‘lumpur’ yang datang. Dia memang istimewa karena telah berhasil membangun istana dalam lumpur di hatinya.
Dia, si lelaki tengah baya, selalu mengingat dan melakukan pesan guru mengajinya di langgar desa dulu. ” Hiduplah seperti Rosulullah nak, ketika berkali-kali diludahi seorang yahudi, sewaktu ditinggal Khodijah-istri yang teramat dicintainya, saat gundah dan gelisah datang melihat tingkah laku umat-umat dan musuhnya, sebagai manusia biasa, rasa sedih, kesal, kecewa, marah, benci,dan berbagai rasa pasti berkunjung juga di hatinya. Namun hatinya laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan dan mengubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan. Hati adalah wadah, kalbu adalah tempat untuk menampung segalanya. Jihad terbesar adalah melawan hawa nafsu mu sendiri, nafsu yang setiap hari mengembara di hatimu, Nak. Ketika kau telah berhasil merubah semua ‘lumpur’ dan segala kepahitan yang muncul di hatimu menjadi kedamaian dan kebahagiaan, dikala itulah kau telah berhasil mengalahkan nafsumu sendiri.”
Kehidupan manusia, siapapun dia, mulai dari abang becak, mahasiswa, direktur sampai artis kenamaan , dalam kesehariannya pasti selalu berjumpa dengan masalah. Ketika itu terjadi, rasa marah, kecewa, kesal, sedih dan beragam rasa ‘lumpur’ lainnya selalu berkunjung ke hati manusia manapun. Bukan hanya seminggu sekali, atau sebulan sekali rasa itu datang, tetapi setiap hari. Manusia yang berhasil meredamnya, merubah semua pahit menjadi bahagia laksana telaga, dialah manusia yang sedang beribadah, berjuang melawan hawa nafsunya sendiri.
Tak perlu jauh-jauh ingin pergi haji jika memang belum mampu, tak usah pergi ke medan perang di Afghanistan kalau memang tak mungkin, tak perlu jua menyesal ketika belum bisa menyantuni anak yatim. Karena sesungguhnya ibadah besar ada dipelupuk mata. Sepele mungkin, sederhana tampaknya, tetapi melaksanakannya tak semudah membalikkan telapak tangan. Mengolah kesal saat dimarahi atasan, menjinakkan marah ketika anak di rumah berlaku menjengkelkan, dan mengatasi berbagai gundah gelisah yang muncul di hati menjadi sebuah nikmat adalah sebuah perjuangan. Sehari-hari meredam diri, menjinakkan hati dari semua ‘lumpur’ yang datang adalah sebuah jihad akbar. ‘Your daily life is your temple and your religion’ menyimpan sebuah kebenaran ketika manusia berhasil melakukannya, membangun istana dalam lumpur di kehidupan sehari-hari.
Wallahualam bissawab.