Kenangan Jadi Overblijf Juf

Duh, tadi pas jemput Malik di sekolah, tiba-tiba airmataku mau tumpah, hampir aja mbrebes mbrambang mili, (halaah bahasane rek). Hari ini hari terakhir sekolah anak-anak, besok sekolah libur sampe tanggal 20 Agustus. Malik duduk di kelas Pinguin. Biasanya aku jadi overblijf juf ( guru yang jagain anak-anak makan siang di sekolah satu jam saja). Aku megang kelas Zebra yang letaknya bersebrangan dengan kelas Pinguin. Tugas ku biasanya ngajak maen di luar setengah jam. Keliling-keliling kayak satpam. Kalo ada yang nangis atau berantem aku tenangin. Kalo ada yang bajunya kotor aku gantiin. Setelah setengah jam, mereka masuk dan beraktifitas di dalam kelas. Aku harus memotivasi mereka untuk mau makan dan ngabisin makanannya. Kadang aku bacain buku untuk mereka. Lalu aku ngelap meja bekas makanan mereka dan aku sapu-sapu lantai. Setelah mereka duduk rapi in de kring ( lingkaran), juf nya dateng, baru deh aku pergi.

Naa tadi tuh pas aku lagi di depan kelas Malik tiba-tiba Dominique, anak asuhku di kelas Zebra menghampiri aku. “Juf Agneees…!” katanya. Udah gitu dia meluk aku, trus nyium pipiku. Haduuh langsung deh aku terharu banget. Aku gantian peluk dia dan aku bilang sama dia,”Oh Dominique..Ik houd van je (I love u).”
Continue reading “Kenangan Jadi Overblijf Juf”

Mau Aborsi? Pikir Dulu Seribu Kali

Ketut Arik Wiantara membuka praktik aborsi sejak kuliah di Fakultas Kedokteran gigi Universitas Mahasaraswati Bali. Dalam tempo empat tahun, 4.380 janin dikuret dan beberapa wanita kehilangan rahim. Dengan praktik serampangan, tak heran jika ada korban yang meninggal dunia. Sejauh ini, hanya Ni Nyoman, 20 tahun, yang diketahui meninggal di RSUD Wangaya pada 20 Agustus 2004. Wanita malang ini menderita infeksi organ dalam. Pasien lainnya, Ni Nyoman Suini juga menderita infeksi rahim dan usus. Sementara penderitaan Ni Nyoman Wideru dan Ni Putu Astiti lebih hebat lagi. Rahim kedua perempuan ini harus diangkat. Setelah aborsi, kedua wanita ini malah tidak bisa lagi hamil untuk selamanya. Berita dari liputan6.com tanggal 28 Februari 2005 ini membuat bulu kuduk berdiri. Teganya lelaki itu, malangnya perempuan-perempuan itu. Belum lagi kalau mau membicarakan janin-janin tak berdosa itu. Entah perasaan apa lagi yang menyeruak ke dalam benak pembaca.

Aborsi. Hanya sebuah kata, tapi mengandung beragam akibat bagi orang-orang yang berani melakukannya. Dalam istilah kesehatan aborsi didefinisikan sebagai penghentian kehamilan setelah tertanamnya telur (ovum) yang telah dibuahi dalam rahim (uterus), sebelum usia janin (fetus) mencapai 20 minggu. Sedangkan Kamus Umum Bahasa Indonesia (Prof. Dr. JS. Badudu dan Prof. Sutan Mohammad Zain, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996) mendefinisikan abortus sebagai terjadinya keguguran janin; melakukan abortus sebagai melakukan pengguguran (dengan sengaja karena tak menginginkan bakal bayi yang dikandung ).

Alasan yang membuat seseorang melakukan aborsi bisa bermacam-macam, dan tidak hanya dilakukan lantaran hamil diluar nikah. Bagi yang sudah menikah, biasanya aborsi dilakukan karena alasan ekonomi. Anak yang terlalu banyak, takut di PHK, dan alasan belum bekerja kerap menjadi faktor pendorong. Mereka yang hamil di luar nikah, umumnya melakukan aborsi karena kuatir akan dampak sosial seperti putus sekolah/kuliah, malu pada lingkungan sekitar, bingung siapa yang akan mengasuh bayi, atau karena takut terganggu karir masa depannya.

Apapun alasannya, di negara ini aborsi tetap diharamkan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) melarang keras dilakukannya aborsi dengan alasan apapun sebagaimana diatur dalam pasal 283, 299 serta pasal 346 – 349. Apalagi kalau bicara masalah agama. Agama manapun tak ada yang menghalalkan aborsi. Semua orang boleh-boleh saja tak mentaati peraturan agama dan negara. �Peraturan dibuat memang untuk dilanggar bukan?� Begitu kata sebagian orang. Saat dihadapkan pada kenyataan, banyak orang menjadi hilang akal. Namun sebuntu apapun jalan keluar, berpikirlah seribu kali sebelum melakukan aborsi. Karena secara fisik dan kejiwaan, dampak pasca-aborsi sungguh menyeramkan.

Tak percaya? Contoh kasus diatas bisa menjadi bukti, betapa mahalnya harga yang harus dibayar dari sebuah aborsi. Apalagi, aborsi biasanya dilakukan oleh orang-orang yang sama sekali bukan ahli. Aborsi lewat dokter ahli saja sudah mengandung resiko, apalagi bila dilakukan dengan serampangan.
Komplikasi secara fisik akibat aborsi yang paling utama adalah, infeksi, perdarahan hebat, embolisme(tersumbatnya pembuluh darah oleh bekuan darah), rahim yang terkoyak atau bolong, komplikasi anastesi, kejang, luka leher rahim, dan shock endotoxic. Bila kondisinya parah, rahim terpaksa diangkat, bahkan tak jarang nyawa pun harus dikorbankan.

Selain itu, komplikasi tersebut juga berefek jangka panjang bagi wanita yang melakukan aborsi. Wanita yang pernah mengalami infeksi pasca-aborsi, kemungkinan akan mengalami kehamilan ektopik (di luar kandungan) sebanyak 5 hingga 8 kali lebih besar pada kehamilan berikutnya. Wanita ini umumnya juga akan mengalami incompetent cervix (mulut rahim yang lemah) lantaran terjadi pemaksaan membuka mulut rahim saat terjadinya aborsi. Akibatnya mulut rahim tak kuat memegang beban kehamilan, sehingga sering terjadi kelahiran prematur. Terganggunya perkembangan plasenta janin juga kerap terjadi pada wanita hamil dengan riwayat aborsi sebelumnya. Semua komplikasi jangka panjang tersebut pada akhirnya akan menyebabkan banyaknya bayi yang lahir dengan kecacatan dari ibu yang pernah melakukan aborsi.

Masalah kejiwaan lain lagi. Wanita yang melakukan aborsi diam-diam, setelah proses aborsi biasanya akan mengalami Post Abortion Syndrome (PAS) atau sering juga disebut Post Traumatic Stress Syndrome. Gejala yang sering muncul adalah depresi, kehilangan kepercayaan diri, merusak diri sendiri, mengalami gangguan fungsi seksual, bermasalah dalam berhubungan dengan kawan, perubahan kepribadian yang mencolok, serangan kecemasan, perasaan bersalah dan penyesalan yang teramat dalam. Mereka juga sering menangis berkepanjangan, sulit tidur, sering bermimpi buruk, sulit konsentrasi, selalu teringat masa lalu, kehilangan ketertarikan untuk beraktivitas, dan sulit merasa dekat dengan anak-anak yang lahir kemudian.

Diantara trauma kejiwaan tersebut, yang paling dikuatirkan adalah tingkah laku merusak diri sendiri. Akibat benci pada dirinya sendiri, akhirnya mereka menjadi pecandu obat terlarang dan alkohol. Tak sedikit pula yang berangan-angan untuk bunuh diri, bahkan beberapa kali mencoba bunuh diri.
Wanita manapun yang meminta aborsi, mereka umumnya berada dalam kondisi terjepit. Dalam keadaan nekat dan terdesak, akhirnya mereka akan mencari bantuan yang paling terjangkau�paling dekat, palingmurah, paling mudah. Tindakan nekat ini biasanya tidak didukung oleh pengetahuan yang cukup. Sehingga mereka segera mendatangi dukun/para medik/dokter yang tak bertanggung jawab, dan akhirnya malah membahayakan jiwa. Seandainya selamat pun, dampak fisik dan kejiwaan yang berkepanjangan masih mengintai.

Karena itu pepatah �lebih baik mencegah daripada mengobati� sangat layak untuk dituruti. Ketimbang harus nekat aborsi, lebih baik menjauhi penyebab aborsi. Seks bebas yang dilakukan oleh remaja saat ini merupakan penyebab meningkatnya kasus aborsi pada kehamilan di luar nikah. Bagi mereka yang sudah menikah, kasus perselingkuhan diantara suami-istri yang kian marak pun bisa menjadi penyebab aborsi.

Penyebab apapun, termasuk alasan ekonomi, semua berawal dari kesadaran tentang pentingnya agama, bahaya sex bebas dan bahaya aborsi yang telah hilang serta pengetahuan yang kurang. Dengan mengetahui dampak aborsi yang begitu menyeramkan, mudah-mudahan bisa mendongkrak pengetahuan dan kesadaran semua kalangan untuk menjauhi penyebabnya. Setidaknya bila seorang kawan terdesak ingin melakukan aborsi, kita bisa bilang �Mau aborsi? pikir dulu seribu kali�.

Ps: Artikel ini dipublikasikan oleh Pic Bandung

Ibu Bekerja Mencari Solusi (Tanggapan terhadap Artikel ‘Perempuan Apa yang Kau Cari’)

Nesya menghela nafas panjang. Artikel yang baru saja dibacanya membuat hatinya kesal. Batinnya berbisik �Aku memang menitipkan anakku di tempat penitipan anak (TPA). BBM naik, tuntutan jaman semakin gila, salahkah bila aku bekerja? Walau lelah sepulang kerja, aku tetap mencuci popok bau anakku. Aku tetap menemaninya bermain, aku menyuapinya saat di rumah, dan aku mengajarinya banyak hal. Aku menikmati semua itu, karena aku cinta anakku. Salahkah aku? Apakah tak pantas bila aku mendapat sebutan ibu yang peduli pada anaknya?� Sangatlah wajar bila membaca artikel di Suara pembaruan (8/3) berjudul �Perempuan, Apa yang Kau Cari?� membuat sebagian perempuan seperti Nesya menjadi kesal dan tersinggung. Mereka merasa dicurigai sebagai ibu publik yang tidak peduli pada anaknya. Motivasi mereka dalam bekerja diduga sebagai selubung dibalik keegoisan pribadi, kesoktahuan akan nasibnya di masa mendatang, dan sebagai langkah antisipasi agar terhindar dari kekerasan. Mereka merasa dianggap sebagai ibu yang maunya �tahu beres�. Jargon �yang penting kualitas bukan kuantitas� yang dianggap senjata andalan mereka (para ibu publik) pun dipertanyakan.

Sungguh, perasaan semacam itu tidaklah berlebihan. Apalagi tulisan tersebut tidak mengkhususkan ibu publik mana yang sebenarnya dimaksud. Niatan bekerja semua ibu publik�yang dianggap perempuan modern (berpendidikan)�dipertanyakan kejujurannya. Lazimnya sebuah pendapat, ada yang berhak merasa kesal, namun tak sedikit pula perempuan yang tercerahkan ketika menyimak tulisan tersebut. Membacanya membuat kaum perempuan ini memikirkan kembali pilihan yang telah diambilnya untuk bekerja. Mereka merenungkan kembali konsekuensi akibat meninggalkan anak-anaknya dalam pengasuhan orang lain.

Perbedaan pendapat tersebut memunculkan sebuah pertanyaan baru. Boleh-boleh saja mempertanyakan motivasi ibu dalam bekerja. Namun bukankah yang lebih mendasar adalah mencari jalan keluar dari permasalahan? Bukankah mencari solusi bagaimana agar para ibu bekerja semakin peduli pada pengasuhan anaknya lebih dibutuhkan? Karena, bagaimanapun sejarah tak bisa ditolak. Sejak awal abad ke 20, perempuan yang bekerja di ruang publik semakin banyak jumlahnya dan tak dapat dihindari. Di Indonesia, sejak Kartini menuntut persamaan hak dalam pendidikan kaum perempuan, ketika itulah peran ganda perempuan mulai menggeliat.

Kini, perempuan berhak dan bisa memilih hendak menjadi ibu seperti apakah ia. Ibu bekerja, ataukah �ibu 24 jam� (full time mother�FTM), semua sah-sah saja dan menjadi hal yang biasa. Mungkinkah semua kenyataan ini diubah? Faktanya lagi, banyak pula para FTM yang tak peduli pada pengasuhan anaknya. Berapa banyak para FTM yang hari-harinya disibukkan dengan arisan, rumpi sana-rumpi sini, ke salon itu dan ini, sementara pengasuhan anak seluruhnya dilimpahkan pada baby sister. Berapa banyak pula para ibu bekerja yang sepulang kerja tak kenal lelah tetap menyuapi anaknya, bermain bersamanya, dan membacakan buku untuknya. Ibu bekerja seperti ini, yang sangat peduli pada anak-anaknya, juga tak sedikit jumlahnya.

Ibu bekerja ataupun tidak bekerja, bukanlah hal yang menentukan kepedulian seorang ibu pada pengasuhan anak-anaknya. Bekerja atau tidak, bukanlah suatu jaminan seorang ibu telah menjadi ibu yang baik dan berhasil dalam pengasuhan anak-anaknya.

Permasalahan

Walaupun demikian, tak dapat dipungkiri bahwa tempat pengasuhan terbaik bagi anak tetaplah ibu. FTM, tentu saja memiliki peluang lebih banyak untuk memberikan pengasuhan terbaik bagi anak-anaknya. Namun bagi ibu yang memilih untuk bekerja, kesempatan untuk memberikan pengasuhan terbaik ini berkurang. Bahkan secara ekstrim beberapa pihak menyebut bahwa ibu bekerja adalah ibu yang telah tega menelantarkan anak-anaknya. Padahal ibu mana yang tak mencintai anak-anaknya. Masalah ibu bekerja memang menjadi dilema yang tak pernah ada habisnya.

Kesulitan ekonomi, ingin aktualisasi diri, menghindar dari kekerasan, ingin tampak terhormat� dan beragam motivasi lainnya� boleh-boleh saja menjadi alasan ibu bekerja. Tapi, apapun motivasinya, ibu bekerja tetap menghadapi masalah sama. Mereka harus meninggalkan anak-anaknya dalam pengasuhan orang lain. Pengasuh anak (child-care) yang dipilih biasanya adalah kakek-nenek, pembantu, baby sister atau TPA.

Tentu saja memilih pengasuh anak bukan perkara mudah. Akhirnya banyak ibu bekerja yang asal saja memilih pengasuh, dan tidak dapat menjadikannya partner yang baik dalam proses pengasuhan anaknya. Belum lagi tenaga dan pikiran ibu bekerja yang sudah terkuras di tempat kerja. Waktu luang ibu bekerja akhirnya digunakan untuk beristirahat, dan ibu tak lagi menghiraukan anak-anaknya. Selain itu ibu bekerja kerap memiliki perasaan bersalah berlebihan lantaran menitipkan anaknya pada orang lain. Akhirnya perasaan bersalah tersebut malah mengakibatkan cara pengasuhan yang salah�contohnya terlalu memanjakan anak.

Masalah tidak hanya sampai disitu saja. Meninggalkan anak dalam pengasuhan orang lain juga menimbulkan kekhawatiran tentang tumbuh kembangnya di kemudian hari. Bagaimana dengan kecerdasan anak tersebut nantinya? Bagaimana pula dengan kedekatannya dengan orangtua dan tingkah lakunya kelak? Melihat kondisi diatas, ketimbang mempertanyakan keputusan ibu untuk bekerja, akan lebih baik bila membantu mencarikan jalan keluar bagi permasalahan tersebut. Dengan demikian diharapkan ibu bekerja tetap dapat menghasilkan anak yang berkualitas kelak.

Hasil Penelitian

National Institute of Child Health and Human Development (NICHD) di Amerika, telah meneliti masalah ibu bekerja yang menitipkan anaknya pada pengasuhan orang lain . Penelitian yang dilakukan terhadap 1000 keluarga ini ingin mendapatkan gambaran mengenai dampak penitipan tersebut terhadap perkembangan anak. Penelitian ini mewakili kesepakatan 29 orang peneliti ternama. Dengan bekerja sama, mereka terhindar dari bias�seperti bias terhadap pendapat yang mempertahankan bahwa ibu harus bekerja�yang sering terjadi pada penelitian sebelumnya.

Penelitian tersebut menemukan bahwa memberikan pengasuhan anak kepada pengasuh anak selain ibu, seperti kakek-nenek, TPA, pembantu, maupun baby sister, ternyata lebih banyak memberikan dampak negatif, walaupun ditemukan pula dampak positif. Penting dicatat bahwa pengasuh anak yang berkualitas tinggi setidaknya dapat mengurangi dampak negatif tersebut.

Pengasuhan anak berdampak pada perilaku. Semakin sering anak dititipkan pada pengasuhan orang lain sebelum usianya 4,5 tahun, ternyata akan semakin meningkatkan agresivitas dan ketidakpatuhan anak.

Namun, dampak positif terlihat pada anak yang dititipkan di TPA berkualitas baik. Mereka cenderung memiliki kemampuan berbahasa yang lebih baik. Kemampuan mengingat dan kemampuan memecahkan masalah mereka pun cenderung lebih baik, bahkan bila dibandingkan dengan anak yang diasuh di rumah oleh ibunya. Pengasuh yang mempunyai kualitas pengasuhan yang baik ternyata akan meningkatkan kemampuan akademik anak dan membuat hubungan kedekatan ibu-anak menjadi lebih baik pula.

Adakah waktu yang paling aman untuk mulai menitipkan anak pada pengasuhan orang lain? Menitipkan anak full-time dibawah pengasuhan orang lain kala anak masih bayi akan menimbulkan dampak negatif dalam tingkah laku. Enam bulan pertama kehidupan seorang bayi adalah waktu terpenting untuk tidak memberikan pengasuhan bayi ke tangan orang lain selain ibunya. Sebuah penelitian lain menunjukkan bahwa ibu yang meninggalkan anaknya untuk bekerja lebih dari 30 jam seminggu, saat anak berusia 9 bulan, memberikan hasil test kognitif yang lebih rendah�sewaktu anak ditest pada usia 3 tahun.

Semakin besarnya pengasuhan anak bukan oleh ibunya juga mendorong rendahnya keharmonisan interaksi ibu-anak, munculnya perilaku bermasalah ketika anak menginjak usia dua tahun, dan rendahnya kedekatan hubungan di antara mereka. Ibu hanya dapat belajar peka kepada kebutuhan dan keinginan anak setelah meluangkan waktu yang cukup bersama anak setiap hari. Ibu dan anak tidak dapat membangun ikatan satu sama lain jika mereka saling terpisah. Berbagai dampak negatif, menurut penelitian NICHD, berkurang ketika anak memasuki taman kanak-kanak.

Penelitian tersebut juga berusaha menjawab pertanyaan tentang manfaat TPA bagi keluarga secara keseluruhan. Sudah sejak lama dibuktikan bahwa setiap anggota keluarga tidak berkembang secara vakum namun berkembang melalui interaksi dinamis dengan seluruh anggota keluarga. Pada sebagian keluarga yang mengalami kesulitan ekonomi atau memiliki suasana rumah yang kurang nyaman, tidak jarang anak kurang mendapat perhatian. Dalam situasi seperti ini, menitipkan anak di TPA akan memberi dampak positif. Di sini anak akan mendapat lingkungan dan perhatian yang lebih baik, dan di sisi lain sang ibu bisa bekerja untuk meningkatkan kemampuan ekonomi keluarga.

Solusi

Ketika ibu telah memilih untuk bekerja�apapun motivasinya�resiko yang muncul pun mestinya telah siap dipikul. Hasil penelitian menunjukkan adanya dampak negatif bagi anak yang pengasuhannya dialihkan pada orang lain. Hal ini sering menimbulkan perasaan bersalah pada ibu bekerja. Padahal rasa bersalah merupakan musuh ketentraman. Menurut sejumlah penelitian ketidakstabilan emosi ibu dapat berpengaruh buruk pada anak. Daripada terkungkung dalam perasaan bersalah yang sering timbul, jalan keluar terbaik adalah berusaha meminimalkan dampak buruk tersebut dengan menghunjamkan niat dalam diri untuk menjadi ibu bekerja yang semakin peduli pada pengasuhan anak-anaknya.

Kesadaran ini akan memunculkan komitmen dan tanggung jawab yang kuat pada ibu bekerja. Sehingga ibu bersedia berkorban apapun demi memberikan yang terbaik bagi anaknya, bahkan ketika ibu dalam kondisi lelah luar biasa. Ibu akan selalu proaktif dan menambah pengetahuan seputar pengasuhan anak yang terbaru lewat media apa saja. Karena, melalui pengetahuan yang selalu diperbaharui, komitmen dan tanggung jawab yang terkadang luntur pun akan selalu diperbaharui pula.

Hasil penelitian telah menyebutkan bahwa pengasuh yang memiliki kualitas pengasuhan yang baik dapat meningkatkan kemampuan akademik dan kedekatan antara ibu dan anak. Karena itu, siapapun pengasuh yang dipilih, �mendidik� partner pengasuhan untuk selalu memberikan lingkungan yang kondusif bagi anak akan memberikan dampak yang baik bagi anak. Contohnya, ibu dapat meminta pengasuh untuk membacakan buku bagi anak, mendongeng, berdoa, menjauhkan anak dari tontonan TV yang buruk, berkomunikasi positif, dan beragam pesan lainnya. Selain itu, tidak menitipkan anak sebelum anak berusia 6 atau 9 bulan pada pengasuhan orang lain merupakan tindakan penting yang dapat dilakukan untuk mengurangi pengaruh negatif bagi anak.

Jika ibu memilih TPA sebagai partner pengasuhan anak, ada beberapa syarat TPA yang harus dipertimbangkan, seperti lingkungan yang kondusif bagi perkembangan anak, perbandingan anak dan tenaga pengurus TPA, jumlah anak dalam satu kelompok, tenaga TPA yang terdidik dan terlatih, menu makanan yang benar serta kebersihan TPA tersebut. Dalam Suara Pembaruan (2/3), Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Seto Mulyadi, mengatakan agar orangtua harus menyadari bahwa TPA bukanlah tempat pengalihan tanggung jawab orangtua, tetapi hanya sebuah alternatif jalan keluar. Orangtua yang terpaksa menitipkan anaknya di TPA diharapkan untuk tetap menjaga kualitas komunikasi dengan anak-anaknya.

Pilihan menjadi ibu bekerja memang selalu membawa dilema. Melihat dampak yang ada dari penelitian diatas, dapat dikatakan bahwa keberadaan ibu dalam membesarkan anak-anaknya tetap tidak tergantikan oleh siapapun. Namun jika ibu terpaksa harus bekerja atau memang ingin bekerja, bukan berarti tak ada jalan keluarnya. Dengan mengetahui dampak buruk yang timbul dan solusi yang ada, mudah-mudahan akan membuat ibu bekerja semakin peduli pada pengasuhan anaknya. Sehingga ibu bekerja seperti Nesya tak ragu lagi untuk menyebut dirinya sebagai ibu yang peduli pada anaknya. (Agnes Tri Harjaningrum )

Parenting

http://www.spiritualparenting.com

Buku “10 Prinsip Spiritual Parenting” karya Mimi Doe, merupakan salah satu buku favoritku. Bisa dikatakan sebagai buku yang merubah paradigmaku dalam pengasuhan. Dan situs “Spiritual Parenting” ini bagus sekali sebagai sumper inspirasi pengasuhan, karena selalu diperbaharui. Tapi tentu saja, tetap ada hal-hal yang tidak cocok dan harus dimodifikasi sendiri. Secara keseluruhan, aku tetap acung jempol buat buku dan situsnya, karena semuanya mengajarkan tentang hakikat, pelajaran terpenting bagi orang-orang yang mau memaknai hidup lebih mendalam.


http://wrm-indonesia.org/

Kalau yang ini, situs para ibu-ibu Indonesia yang tersebar di seluruh dunia. Aku juga ikut mailing listnya. Asyik deh ketemu sama para ibu yang pada pinter-pinter. Dan yang lebih bikin aku betah, karena mereka umumnya concern sama masalah pengasuhan anak dan keluarga. So… disinilah aku merasa bertemu dengan ‘sesamaku’.
Silaturahmi Muslimah Indonesia di Belanda

http://www.salamaa.blogspot.com/

Ini juga komunitas ‘sesamaku’. Salamaa ini baru saja berdiri Februari lalu. Walaupun baru tapi para anggota sudah berencana mau kopdar dan belajar masak lho… Seru kan…


Sprice-online, Seputar Dunia Anak dan Pendidikan
http://www.sprice-online.com



Sahabat Nestle
http://www.sahabatnestle.co.id/HOMEV2/main/default/default.asp


Sanggar Origami
http://www.sanggar-origami.com/index.html


Tabloid Nakita
http://www.tabloid-nakita.com/


Dunia Ibu
http://www.dunia-ibu.org/html/tentang_kami.html