Aku dan Kenangan Pekerjaanku

KETIKA AKU HARUS MEMILIH, MENGKHITAN PERTAMA KALI
(Diterbitkan dalam buku nya MCM)

Kala itu, aku sedang termangu, menatap dinding-dinding putih yang bisu. Buku yang sejak lama kubaca, tak satu pun mau menempel di kepalaku. Pasien sedang sepi. Tanggal tua barangkali. Hmm… beginilah nasib dokter baru, yang bekerja di klinik tak menentu. Kadang duduk berjam-jam hanya ditemani lalat. Tak jarang pula peluh membanjir saking ramainya kunjungan pasien. Mendadak, kesunyian itu lenyap. Serombongan keluarga tergopoh-gopoh menghampiri ruangan berdinding putih itu, ruang praktek kerjaku.

“Dok, tolong dok, ini anak nangis terus dari tadi. Sakit dok, tolong… kasihan anak ini dok…” ujar perempuan muda didepanku. Matanya menatap pilu bocah yang digendong oleh lelaki disebelahnya. Logat Jawanya begitu kental, pendatang tampaknya. Air mata mengambang di pelupuk mata perempuan itu. Seperti menahan sakit, yang menjalar juga ke relung dadanya. Pasti ibunya, pikirku. “Iya dok, itu kasihan tuh anaknya dok…” ujar salah seorang keluarga pengantar.

“Anaknya kenapa bu, sini-sini tidurin disini bu?” sahutku tenang, sambil meminta perempuan itu membawa anaknya ke ranjang pemeriksaan. Satu tahun bekerja di klinik setiap pagi dan sore cukup membuatku mampu menghadapi situasi semacam ini.

“Ealah dok..dok… yang namanya lagi sial ya begini ini dok. Tadi itu habis pipis sendiri, lagi pake celana, koq tititnya malah kejepit resleting dok… gimana ini dok… Mbok ya tolong dilepas dok, kasian nangis terus kayak gini ini dok…”

“Wah iya pasti khawatir ya bu kalau anaknya nangis terus kayak gini. Coba…sini…sini… dilihat dulu sayang yuk…” Aku menghampiri bocah lelaki itu. Tangisnya semakin keras. Tangis karena takut dan nyeri.

“Takut ya sayang ya, sakit juga ya… dilihat sebentar tititnya ya, nggak diapa-apain koq cuma dilihat…” aku tersenyum sambil berusaha menatap mata bening bocah berusia 5 tahun itu.

Airmatanya tak juga berhenti menetes, namun tidak sederas sebelumnya. Aku melihat keadaan penis anak itu, belum disunat rupanya. Potongan resleting celana tampak menjepit bagian ujung penisnya. Jepitannya begitu kuat. Tak bisa tidak, sebagian kulit penisnya harus digunting untuk melepaskannya. Menggunting kulit berarti harus melakukan anastesi. Kenapa tak disunat saja sekalian. Toh tindakan dan resikonya sama saja dengan disunat. Kesimpulan itulah yang akhirnya muncul di kepalaku.

Deg. Jantungku mulai berdegup lebih kencang. Sunat? Sanggupkah aku melakukannya seorang diri ? Atau haruskah aku merujuknya? Aku memang sudah beberapa kali mengkhitan anak-anak. Tapi aku selalu dibantu oleh dokter seniorku. Aku belum pernah melakukannya seorang diri, tanpa asisten pula. Di klinik ini hanya ada Yono, yang membantu bagian pendaftaran dan masalah obat-obatan. Hmm, kebimbangan menyergapku.

Kalau aku gagal bagaimana? Apa kata dunia? Jangan-jangan malah dituntut. Sekarang kan sedang jaman tuntut-menuntut. Belum lagi ingatan tentang kisah-kisah seniorku yang bernasib sial. Kisah senior yang diburu keluarga pasien lantaran pasiennya meninggal tak lama setelah disuntik. Cerita tentang kakak kelasku yang pasiennya mendadak tak sadar sehabis disuntik. Beragam kisah-kisah sial lainnya mendadak bermunculan di benakku. Dadaku menjadi sesak rasanya. Ah, tapi mereka kan hanya sedang sial. Kalau semua sesuai prosedur, apa yang mau dituntut? . Toh, aku sudah pernah melakukannya. Ya, tapi masalahnya, dulu selalu ada dokter senior yang membantuku dan sekaligus bertanggungjawab bila terjadi sesuatu. Sekarang, aku harus bertindak sendiri, aku pula yang harus menanggung resiko kalau terjadi apa-apa. Wuaduh…bingung…bingung… bagaimana ya?

Tapi, bukankah aku harus segera mengambil keputusan?. Oke… aku harus mempertimbangkannya masak-masak dalam hitungan detik. Kalau aku merujuk bocah ini ketempat lain, aku membuang kesempatan berharga untuk belajar mandiri. Belum tentu aku mendapatkan peluang seperti ini dilain waktu. Apakah aku hendak selalu bergantung pada dokter lain? Alasan selanjutnya, kasihan keluarga ini kalau pulang dengan tangan hampa. Malah mereka harus repot membayar uang konsultasi di tempatku dan membayar lagi di tempat rujukan nanti. Belum lagi masalah waktu, bocah itu sudah menangis sedari tadi. Ah, sebetulnya masalahnya kan cuma satu, aku belum percaya diri untuk melakukannya seorang diri, itu saja. Mmm… bagaimana ya? “Ayo Nes… kamu pasti bisa…there is always the first time Nes…Bismillah aja deh” hatiku berbisik untuk meyakinkan diriku sendiri.

“Ibu, jepiitan resletingnya kuat sekali bu, jadi tititnya harus digunting. Harus dibius dulu daerah sekitar tititnya sebelum digunting. Ibu muslim kan?” Kata-kata itulah yang akhirnya terucap dari mulutku.

“Iya dok, muslim”

“Menurut saya, karena tindakan dan resikonya sama aja dengan disunat, lebih baik sekalian disunat saja bu anaknya. Sekalian sakit bu, daripada nanti anaknya harus ngalami kayak gini lagi. Gimana menurut ibu?”

“Hah disunat dok? Lho, dokter perempuan memangnya bisa nyunat? Lagipula saya belum ada persiapan dok kalau disunat. Orang Jawa kalau sunat kan harus pake acara rame-rame dok.”

“He he, perempuan atau laki-laki kan sama-sama belajarnya waktu kuliah dulu bu” aku geli melihat si ibu yang keheranan dan menjadi sedikit ragu.

“Tapi keputusan tetap ibu yang ambil ya bu, saya kan hanya memberi saran”

“Kalau gitu saya telpon suami saya dulu ya bu dokter”

“Lho itu tadi bukan suaminya ya?”

“Bukan bu dokter, itu adek saya. Suami saya lagi kerja.”

Aku menunggu perempuan itu mengambil keputusan. Hatiku tetap dag dig dug, masih ragu dengan pilihan yang kuambil. “Ya Allah, ini bukan kondisi darurat, anak itu pun baik-baik saja. Aku hanya harus mengkhitan seorang diri pertama kali. Kenapa aku deg-deg an ya Allah. Aku tak tahu, kenapa Kau hadirkan bocah ini kehadapanku. Kalau ini memang jalan dariMu agar aku belajar, mudahkanlah semuanya ya Allah, berilah aku ketenangan.” doa itulah yang akhirnya menenangkan gelisahku.

“Bu dokter, sunat aja deh bu. Kata suami saya acara rame-rame ya dibuat aja besok-besok, kasian anaknya bu. Tapi anak saya nggak apa-apa kan bu kalau disunat?”

“Iya bu, Insya Allah nggak apa-apa. Sunat itu cuma tindakan kecil koq bu, setengah jam juga beres. Tolong aja anaknya dipegang sama om nya nanti ya bu.”

Dengan tak henti-hentinya berdoa memohon ketenangan dan kelancaran, aku memulai proses mengkhitan pertama kali ini. Tanpa ada asisten ataupun penanggung jawab bila terjadi sesuatu.

Tanganku sedikit gemetar ketika jarum suntik berisi Lidocain menembus kulit diatas tulang kemaluan anak itu. Tentu saja dia menangis keras ketika jarum suntik menembus kulitnya. Untung lah anak itu termasuk ‘anak mudah’ tidak mengamuk dan menendang-nendangkan kakinya. Semua itu betul-betul memudahkanku. Lantas, aku melanjutkan proses anastesi di sekitar penisnya. Ah, berhasil juga rupanya. Tak berapa lama, tangisan anak itu berubah, bukan lagi tangis kesakitan. Hanya rengekan kelelahan dan takut.

Perlahan tapi pasti, ketenangan mulai merasuki jiwaku. Pelan-pelan kubersihkan smegma (sekret dari kelenjar sebasea, berwarna putih seperti keju) yang menempel di sekeliling pangkal penis. Dua buah klem aku jepitkan di ujung kemaluan anak lelaki itu. Akhirnya, Bismillah… aku memotong ujung kulit penis anak itu. Aku semakin merasa ringan. Pekerjaanku hampir usai, tinggal mengatasi perdarahan dan menjahit kulit saja.

“Alhamdulillah… sudah selesai. Tiga hari lagi kontrol ya bu…” Hmh… terucap juga kalimat itu akhirnya dari bibirku. Puas rasanya, lega, dan bersyukur tentu saja. Semua berjalan lancar. Dan yang teramat penting bagiku, aku telah memilih, aku juga telah berhasil mengalahkan segala rasa khawatir yang berkeliaran dalam hatiku. Hidup memang terdiri dari serangkaian pilihan. Kemampuan untuk memilih secara sadar dan bertanggungjawab adalah sebuah keahlian yang harus dimiliki oleh setiap manusia. Andai saja aku memilih cara termudah- merujuk anak ini tadi, tentu aku akan kehilangan pengalaman berharga yang telah dihadirkan Allah kepadaku. Sejak saat ini, aku semakin percaya diri untuk mengkhitan. Dan tentu saja, kesadaran itu semakin merasuki relung jiwaku, kesadaran bahwa, hidup adalah sebuah pilihan!