“Sahur..Sahuur! Tok..Tok..Tok..Sahur..Sahur…!” Suara-suara itu kerap membangunkan lelapku dulu. Walaupun kemudian aku tidur lagi dan baru bangun setelah ibuku menggoyang-goyang badanku, namun suara panggilan sahur, yang hampir setiap tahun kudengar itu, seperti paku yang menancap kuat dalam memoriku.
Begitu pula dengan ‘ngabuburit’. Setiap anak yang dibesarkan di Jawa Barat, pasti kenal dengan istilah ini. Ngabuburit selalu asik. Main galah, main kasti, main kartu, main layang-layang, main masak-masakan, semua permainan kami lakukan untuk melupakan sejenak haus dan lapar. Tiba-tiba saja senja sudah menjelang. Tiba-tiba saja adzan maghrib berkumandang. Es cendol, es teler, kolak, cincau, setiap hari berganti di meja makan, menjadi penganan pembuka puasaku.
Belum lagi suasana sholat tarawih bersama. Biarpun di shaf paling belakang suara ribut selalu terdengar, walaupun saat sholat terdengar anak-anak berlarian, tapi ceramah ustadz harus tetap kudengar, supaya bisa mendapat tandatangan. Ah, kenangan-kenangan ramadan itu selalu membuat rindu, dan selalu membuat bulir bening mengambang di mataku. Continue reading “Memahat Jejak Manis Ramadhan”