“Sahur..Sahuur! Tok..Tok..Tok..Sahur..Sahur…!” Suara-suara itu kerap membangunkan lelapku dulu. Walaupun kemudian aku tidur lagi dan baru bangun setelah ibuku menggoyang-goyang badanku, namun suara panggilan sahur, yang hampir setiap tahun kudengar itu, seperti paku yang menancap kuat dalam memoriku.
Begitu pula dengan ‘ngabuburit’. Setiap anak yang dibesarkan di Jawa Barat, pasti kenal dengan istilah ini. Ngabuburit selalu asik. Main galah, main kasti, main kartu, main layang-layang, main masak-masakan, semua permainan kami lakukan untuk melupakan sejenak haus dan lapar. Tiba-tiba saja senja sudah menjelang. Tiba-tiba saja adzan maghrib berkumandang. Es cendol, es teler, kolak, cincau, setiap hari berganti di meja makan, menjadi penganan pembuka puasaku.
Belum lagi suasana sholat tarawih bersama. Biarpun di shaf paling belakang suara ribut selalu terdengar, walaupun saat sholat terdengar anak-anak berlarian, tapi ceramah ustadz harus tetap kudengar, supaya bisa mendapat tandatangan. Ah, kenangan-kenangan ramadan itu selalu membuat rindu, dan selalu membuat bulir bening mengambang di mataku.
Kini, ribuan kilometer jarakku dari suasana ramadan semacam itu. Tak ada panggilan sahur. Tak ada bedug berkumandang. Yang ada hanya panggilan adzan ‘palsu’ dari laptop milik suamiku. Mesjid Selwerd, yang penampakannya seperti rumah, cukup jauh dari rumah kami. Disana pun adzan tak boleh terdengar berkumandang keluar. Kalau kami jalan ke pasar, bau wangi patat (kentang goreng) dan kibbeling (nama sejenis ikan) goreng, serta pemandangan orang makan memanja mata kami. Di tempat seperti inilah kini, aku harus mengajarkan anak-anakku berpuasa. Jangan heran kalau kami akan dianggap melakukan child abusing bila anak kami berpuasa di sekolah, bahkan orang dewasa yang berpuasa saja kerap mendapatkan pandangan miring. Walaupun tentu tidak semua orang berpandangan seperti itu. Tapi tetap saja, mengajarkan anak-anak berpuasa disini menjadi hal yang sulit karena lingkungan sangat tidak mendukung. Belum lagi, anak-anak muslim Maroko dan Turki yang banyak tinggal disini pun kebanyakan tidak berpuasa hingga usia baligh.
Garing seperti di padang pasir. Begitulah suasana puasa di negeri ini. Namun aku tak ingin membiarkan anak-anakku selalu seperti berada di padang pasir bila ramadan datang. Aku ingin memori mereka memahat jejak manis tentang ramadan, tentang Tuhan. Dalam ramadhan tahun ini aku mencobanya. Sejak tinggal disini dan belajar sedikit tentang usia tumbuh kembang anak dari bu Adi dan bu Julia (guru-guruku dalam soal parenting), aku mencoba untuk tidak kesusu. “Setiap anak punya usia tumbuh kembang sendiri-sendiri yang kita tidak bisa paksakan lajunya,” begitu kira-kira ilmunya. Yang penting kita sebagai orangtua tetap memasang radar dan siap bertindak saat tanda-tanda kematangan telah terlihat.
Jadi aku membiarkan saja saat Lala belum ingin puasa di usianya yang ke-6. Dan aku hanya mengangguk saat Malik di usianya yang ke 5, selalu bilang,”Bunda, Aik sholatnya satu kali sehari aja.” Itu pun masih pakai diskon lho :-). Bila aku sedang membaca al fatihah di rakaat pertama sholatku, Malik yang ikut sholat di sebelahku pasti mendongak dan berbisik,”Bunda…Aik sholatnya dua rakaat.” Dan setelah dua rakaat, ia pasti segera berlari, kembali berkutat dengan mainannya. Walaupun begitu, Malik selalu berjanji bahwa ia akan sholat dua kali sehari kalau usianya 6 tahun nanti.
Mengajarkan anak beribadah dengan menyenangkan, itu yang ingin kulakukan. Sulit sungguh, karena dulu pun aku tak pernah diajarkan cara beribadah dengan menyenangkan. Dalam urusan sholat, demi mengajak sholat dengan cara yang menyenangkan, selain dengan bercerita tentang pentingnya sholat, suamiku pernah pegal-pegal pundaknya karena anak-anakku bergantian naik ke pundaknya saat sholat. Mereka membuat kesepakatan, rakaat pertama, Malik yang naik ke pundak ayah, rakaat kedua, Lala yang naik ke pundak ayah. Lalu rakaat selanjutnya mereka harus sholat dengan tertib. Walaupun kini acara naik pundak saat sholat sudah tak lagi dilakukan, tapi setidaknya, Malik dan lala sudah setia dengan kata-katanya. Malik selalu sholat satu kali sehari di usia yang kelima (walaupun masih pake diskon :-)), dan Lala selalu sholat dua kali sehari di usia yang ketujuh. Tentu itu pun kami harus tetap mengingatkan. Apa yang kami lakukan memang jauh ketinggalan dibandingkan dengan anak-anak lain seusia mereka di Indonesia. Namun dengan hasil seperti itu pun aku sungguh bersyukur. Kami hanya harus konsisten kembali mengingatkan untuk menambah jumlah sholat mereka saat umurnya bertambah nanti. Semoga saja sabar dan konsisten itu selalu menyertai kami.
Soal mengajarkan puasa lain lagi. Beberapa hari sebelum ramadhan, anak-anakku dan suamiku membuat poster tentang ramadhan. Kami juga menghias rumah dengan gantungan warna-warni. Walaupun sederhana tapi cukuplah untuk membuat suasana rumah berbeda. Lala membuat poster dengan gambar kentang dan gelas minum di coret, bertuliskan ‘verboden te eten’ (dilarang makan). Dia juga menggambar sebuah hati besar dengan mahkota yang menunjukkan bahwa puasa itu asik. Sedangkan Malik yang baru belajar menulis, menulis kata-kata ‘Verboden te Eten’ besar-besar di atas kertasnya.
Lala dan Malik mempunyai karakter yang berbeda. Malik bisa menunjukkan determinasi yang kuat, dengan tegas memilih apa yang dia mau, percaya diri dan berani berbeda. Tapi Lala tidak (apalagi di sekolah, dalam lingkungan belanda). Perbuatan Lala kadang cenderung ingin menyenangkan orangtuanya, Lala kerap lamaa sekali membuat keputusan saat harus memilih, gampang berubah kalau aku tidak setuju dan Lala belum berani berbeda. Karena itu untuk tidak membebaninya, aku membuat kesepakatan dengan lala tentang waktu berpuasa yang ia inginkan. Akhirnya kami sepakat, Lala mulai ‘sahur’ saat makan siang di sekolah (jam 12 siang) dan berpuasa hingga maghrib. Sedangkan Malik mulai sahur setelah pulang sekolah jam 3 sore hingga maghrib.
Hari pertama puasa Lala gagal, karena lala diajak main ke rumah temannya. Disana lala diberi permen dan makanan.”Kenapa mbak lala nggak bilang kalo lagi puasa?” Jawaban lala sudah bisa kutebak,”Ik durf niet te zeggen (aku ga berani bilang),” katanya. Bahkan padaku saja dia kerap takut-takut kalau mau bilang sesuatu. Lala pernah kelaperan berat dan ingin membatalkan puasanya. Tapi dia hanya rewel saja. “Bunda tau, mbak lala mau batal kan. Nggak papa mbak, batal aja, mbak lala kan lagi belajar nggak papa sekali-kali batal. ” Lagi-lagi dia bilang,”Ik durf niet te zeggen”. “Bunda bukan monster mbaak, Bunda ini bundanya lala yang sayang sekali sama mbak lala.”…setelah aku bilang begitu baru kemudian lala betul-betul bilang bahwa ia ingin batal.
Puasanya Malik, walaupun hanya dari jam 3 sore, tapi sudah membuat Malik kadang kelabakan. “Mother, I’m hungry,” katanya suatu sore. (malik memang lagi demen ngomong pake bahasa Inggris :-)). “Eh udah jam 6 sore Ik, sebentar lagi udah buka lho, sayang kalo aik batal. Aik main aja biar lupa.” Malik main-main sebentar, tapi kemudian balik lagi.”Ik heb honger Bun (Aku lapar Bun)!” Aku coba ingatkan Malik tentang cerita Abu Bakar dan seorang ibu yang memasak batu.”Aik inget nggak cerita itu. Anak itu kelaparan sama mamanya dibilang sebentar lagi sebentar lagi terus, padahal mamanya masak batu. Anaknya kelaparaan terus ga bisa makan karena mamanya ga punya makan. Aik cuma harus nunggu sebentar lho. Habis itu aik bisa makan semua.” Setelah itu aik kembali main, tapi terus balik lagi dengan kalimata yang sama,”Mother, I’m hungry..” hehehe. Tapi walaupun begitu, Malik betul-betul bertahan tetap puasa hingga adzan maghrib tiba. Iming-iming varasing dan hadiah di akhir ramadhan tampaknya menarik sekali buat Malik sehingga Malik bersemangat belajar puasa.
Satu hal yang selalu ditunggu anak-anak dalam bulan ramadhan kali ini memang varasing (kejutan) setelah berbuka dan sholat maghrib. Awalnya kami membuat ramadan kalender, kotak ramadhan yang dilubangi 30 buah sejumlah hari ramadhan. Ide ini aku dapat dari mba Eva Nukman disini : http://vayenukman.multiply.com/photos/album/18/Der_Ramadhankalender
Anak-anakku sudah membuatnya dengan semangat. Tapi berhubung sibuk, aku baru mengisi tiap lubangnya menjelang berbuka. Awalnya aku mengisi kertas varasing itu dengan sebuah peta yang menunjukkan dimana kejutan itu berada. Mereka memang senang saat menemukan hadiah sebuah cincin senter seharga 25 sent euro, Tapi kemudian lala mengeluh,”te makelijk (terlalu gampang) Bun.” Lala dan Malik ingin kami membuat peta yang sulit atau sandi rahasia untuk menemukan varasingnya. Alhasil, setelah sholat dan berbuka, aku atau suamiku selalu sibuk membuat kode-kode rahasia atau peta untuk menunjukkan dimana si ‘harta karun’ berada. Kadang suamiku membuat tulisan terbalik, kadang dalam bahasa Inggris, kadang dalam soal matematika, dan apa saja sekeluarnya ide di kepala. Tantangan dan hadiah-hadiah seharga tak lebih dari 50 sent euro itu selalu membuat mereka senang.
Beberapa hari lalu, aku kelelahan karena suamiku sedang ke Bulgaria. Aku harus mengurus semuanya sendiri. Lalu aku tak ingin memberi mereka kejutan setelah berbuka,”Bunda capek, kita bobok aja yuk.” Aku sekalian berharap bisa mengajarkan mereka berpuasa bukan hanya karena varasing. Alhasil Malik ngomel-ngomel, Lala awalnya juga ngomel. Tapi setelah kujelaskan bahwa kita berpuasa bukan karena varasing lala langsung paham.”Mbak lala nggak papa bun nggak dapat varasing,mbak lala tetep mau puasa,” katanya. Sedangkan malik masih menuntut agar varasingnya dibuka esok hari. Aku sungguh maklum, begitulah, setiap anak memang memiliki usia tumbuh kembang yang tidak bisa kita paksa lajunya.
Varasing dan hadiah memang kami berikan sebagai sebuah usaha agar ramadhan terpahat manis dalam hati mereka. Bukankah usia mereka memang masih senang dengan tebaran hadiah? Namun kuharap seiring berjalannya waktu dan pengertian-pengertian yang kami berikan, nantinya mereka akan mengerti bahwa puasa mereka mestinya bukan karena hadiah. Kita puasa supaya kita bisa merasakan penderitaan orang lain yang nggak bisa makan . Kita puasa supaya noda-noda di hati kita terhapus satu persatu. “Karena ketika puasa, Mbak lala, setan-setan pada pergi dari hati kita dan cahaya Allah semakin bersinar di hati kita.”
Ya Allah..semoga kelak pahatan jejak ramadhan yang mereka lalui ini, sungguh akan melekat manis di hati mereka dan bisa membuat mereka mengenalMu dan mencintaMu. Amin.
Comments are closed.