Tulisan lama di blog di kutip republika, alhamdulillah…
Minggu, 13 Maret 2011 pukul 08:38:00
Ibarat taksi, internet bisa mengantarkan penggunanya ke mana saja. Ke tempat yang menyediakan informasi positif ataupun sebaliknya. Bagaimana pengguna cilik dan praremaja?
Evawati mengerti kegemaran anaknya main game online . Namun, ia membatasi putra sulungnya untuk main ke warnet. “Sabtu dan Ahad saja, cukup satu jam,” ungkapnya.
Melepas Muhammad Raihan main game online dengan teman sebayanya, Eva tetap memberikan pengawasan. Ia menyambangi semua warnet yang ada di sekitar rumah. Dua warnet diperingatinya agar tidak mengizinkan anak datang di jam sekolah. “Cari uang boleh saja, tetapi jaga lingkungan, dong ,” cetus ibu dua anak ini.
Di warnet lain, Eva menitip pesan agar Raihan tidak diperbolehkan masuk. Pasalnya, di situ banyak pengunjung dewasa yang membuka situs porno. “Raihan hanya boleh pergi ke dua warnet lain, yang pengelolanya serius mengawasi apa yang dibuka anak dan yang khusus game online .”
Tidak hanya itu, Eva juga sempat memantau jalannya permainan perang-perangan kesukaan Raihan. Ia memastikan tidak terselip gambar tak senonoh dalam game tersebut. “Saya juga mengajak Raihan berdialog supaya dia terbentengi.”
Sementara itu, Agnes Tri Harjaningrum membuat kesepakatan dengan putra-putrinya. Sehari-hari, mereka boleh mengatur dua jam waktunya untuk menonton TV atau main internet dan dapat lebih lama di akhir pekan. “Peraturan itu sudah beberapa kali berubah di rumah kami,” tutur penulis Family Traveler ini.
Perubahan peraturan terjadi seiring waktu. Agnes dan suami harus cepat melakukan adaptasi begitu situasi berubah. “Anak-anak tambah besar, saya sekolah di Bordeaux, Prancis, sementara suami dan buah hati kami menetap di Amsterdam, Belanda, dan suami hanya bisa mengawasi sepulang kantor.”
Agnes berusaha membangun kepercayaan pada anandanya. Kendati berjauhan, ia senantiasa menjalin keakraban dengan Malik dan Lala. “Kami juga sepakat untuk tidak ada akses kepada game online yang mengandung kekerasan.” Agnes juga memberikan alternatif aktivitas bagi kedua remaja ciliknya. Terlebih, di Belanda, cuaca buruk sering melanda. “Kami belikan Kinect yang membuat mereka bergerak.”
Agnes dan suami lalu menyediakan peluang untuk Malik mendapatkan lego dan Lala bisa membeli buku. Mereka harus melakukan aktivitas kesukaannya demi mendapatkan dua Euro. “Malik bisa menabung dengan membuat satu halaman komik dan Lala memperoleh nilai yang sama setelah merampungkan tulisan satu halaman.”
Jejaring sosial
Malik dan Lala juga mendapat lampu hijau untuk membuat facebook . Tujuan awalnya, memudahkan komunikasi atau berkirim foto. “Setelah ketagihan main Pet Society, Lala diizinkan bermain lagi dengan batasan waktu dan harus menyelesaikan selembar tulisan,” urai Agnes. Sebagai orang tua, Agnes sadar tidak bisa mensupervisi anak selama 24 jam. Kondisi pun berubah. “Makin gede, makin bisa bantah. Tarik-ulur pun terjadi,” ujarnya.
Ketua Dewan Penasihat Asosiasi Warung Internet Indonesia, Judith MS Lubis, juga mengizinkan anandanya membuat akun facebook dan twitter . Ia menjadikan social media ini sebagai sarana untuk memantau putra-putrinya. Di rumahnya, pukul 22.00 WIB, jaringan internet dimatikan. “Kalau ada yang masih update status atau mengomentari status temannya lewat dari waktu yang disepakati bersama, kan , ketahuan.”
Demikian juga dengan Nurlina Purbo. Ibu yang tengah mengandung anak keenam ini memperbolehkan buah hatinya memiliki akun facebook . “Sebagai ibu, saya bisa memantau sifat, mood , dan apa yang menjadi minat anak saat itu.”
Nurlina juga mengingatkan anak-anak lainnya agar tidak memanfaatkan fasilitas ‘find friend’, tanpa mengenal jelas identitas orangnya. Selain itu, ketika chatting mereka juga tak boleh mengklik ‘join room’. “Banyak orang dengan identitas palsu di sana.”
Pagar terkuat
Software parental memang banyak yang bisa Anda pilih untuk dipasang. Itu akan memagari anak agar tidak terpapar konten pornografi. “Namun, yang utama tetaplah menjaga moralnya,” cetus Nurlina.
Anak-anak, lanjut Nurlina, harus mengerti betul mengapa ada larangan mengakses pornografi. Untuk itu, orang tua harus piawai menyampaikan alasannya. “Jika melarang tanpa memberi dalih yang tepat, anak justru akan timbul rasa ingin tahunya.”
Judith sepakat dengan anjuran tersebut. Terlebih, pornografi bukan hanya sekadar gambar. ” Software parental tidak bisa menyaring sexting (teks porno) dan gambar dari grup, contohnya.”
Di lain sisi, Judith memantau pornografi bukan satu-satunya ancaman bagi anak. Paham-paham yang menyimpang dari norma juga bertebaran dan mudah diakses. “Seperti kasus remaja Klaten yang membuat bom dengan mempelajarinya dari internet.” ed: nina chairani
Bukan Dunia Nyata
Judith melihat pengusaha warnet hanya memfokuskan perhatiannya pada keuntungan. Mereka merasa tidak memiliki tanggung jawab sosial terhadap anak-anak yang datang. Alhasil, anak usia sekolah bisa bergadang di warnet yang buka 24 jam. “Ini PR bagi orang tua, pengelola warnet, dan pemerintah setempat.”
Sementara itu, di rumah, akses internet juga kadang tanpa batas. Orang tua yang berpunya dan sibuk cenderung menggantikan kehadirannya dengan memberikan gadget pada anaknya. “Fenomena ini menggejala sejak 2009,” ungkap Judith.
Renggangnya hubungan antaranggota keluarga dan keleluasaan memanfaatkan internet membuat anak-anak teralih ke dunia maya. Mereka mencari kenyamanan di sana. “Kondisi seperti inilah yang membuat anak berani berhubungan dengan orang tak dikenal,” ujar ketua Dewan Penasihat Asosiasi Warung Internet Indonesia ini.
Sepanjang tahun 2008 hingga 2010, lanjut Judith, terdapat lebih dari 20 kasus penculikan yang bermula dari hubungan di jejaring sosial. Korbannya anak SMP, SMA, dan perguruan tinggi. “Mayoritas masih SMP dan SMA.”Sebagian besar korban menganggap jejaring sosial seperti facebook sebagai dunia nyata. Mereka seolah masuk ke zona yang sangat nyaman, yang tak ditemukannya di lingkungannya. “Itu sebabnya orang tua harus kembali dekat dengan anak, memegang nilai-nilai tradisional, dan mengajarkan anak etika berinternet,” saran Judith.
Perhatikan Rambunya
Mengakses internet sudah menjadi bagian dari gaya hidup anak. Bahkan, anak SD sekalipun sudah banyak yang menjadi penjelajah dunia maya. Nurlina Purbo, salah seorang pendiri Kelompok Remaja Melek IT (KeRMIT), memaparkan rambu-rambu berinternet yang harus diperhatikan orang tua:
* Sesuaikan pengawasan yang diberikan dengan usia anak.
* Di usia TK, anak hanya sebatas melihat dan menerima penjelasan tentang hal-hal yang ingin diketahuinya. Orang tua harus mencarikan informasi dan membukakan lamannya.
* Pada usia SD dan SMP, anak dapat browsing secara mandiri. Namun, beri batasan apa saja yang boleh dikunjunginya. Orang tua mesti berada di samping anak untuk mendampinginya berselancar di world wide web .
* Bekali anak dengan pegangan moral. Inilah yang akan memagari mereka dari keburukan yang mungkin ditemuinya saat browsing .
* Berikan aturan yang jelas. Pastikan anak memiliki batasan waktu ataupun bujet untuk mengakses internet. Rambu inilah yang dapat mengawal anak yang sudah remaja ketika memanfaatkan internet di kesehariannya.
* Jika diperlukan, pasang parental software . Ada filter Asusila yang direkomendasikan Kementerian Kominfo, Ubuntu Muslim Edition, atau Blankon Sajadah yang bisa Anda unduh secara cuma-cuma. reiny dwinanda ed: nina chairani
Eh, Kepergok!
Suatu hari di bulan April 2010, Aik kecil tampak menatap layar komputer. Sang ayah memergokinya sedang melihat potongan gambar orang tanpa busana selama dua detik. Aik segera menutup link yang dilihatnya dan langsung membuka video lego.
Ayah Aik tak sontak naik darah. Ia malah berpura-pura tidak mengetahui tontonan putra bungsunya. Ia lalu meminta giliran memakai komputer dan menelusuri jejak langkah si delapan tahun di dunia maya. “Rupanya dia melihat berita tentang 100 orang perempuan segala usia yang bertelanjang ria dalam rangka cari dana buat anak-anak autis,” kenang Agnes Tri Harjaningrum, bunda Aik.
Mengetahui kenyataan itu hati Agnes tak keruan. “Hari itu juga, setelah lebih menguasai perasaan, saya ajak Aik ngobrol .” Agnes menanyakan apa yang tadi Aik tonton di komputer. Putranya tak berbohong. “Itu cuma news , Bun, dan itu tangan,” jawabnya.
Masih tak mengerti maksud Aik, Agnes melayangkan pujian atas kejujuran anak keduanya. Lalu, ‘interogasi’ memperjelas tentang tangan berlanjut. “Itu seperti kelamin laki-laki terus dimasukin ke tangan yang lain,” ungkap Aik sambil mempertemukan telunjuk dan ibu jarinya membentuk gambar hati.
Agnes terperanjat mengetahui putranya melihat simbolisasi adegan intim, meski hanya memakai tangan. Ia kemudian membuat kesepakatan agar Aik tidak menonton film biru. “Kalau Aik penasaran, bilang sama ayah bunda. Kita nonton bareng dan Aik bisa tahu apa yang terjadi sama tubuh Aik ketika melihatnya,” urai Agnes diikuti anggukan Aik yang masih SD. reiny dwinanda