Jatuh Hati Sama Vaccinology?

Seminggu ini aku baru menyelesaikan advance vaccinology course. Meskipun hampir setiap hari aku selalu pergi-pagi pulang malam karena jadwal course yang ketat dilanjut group work dari jam setengah lima sampai jam 6 atau 7 malam, tapi aku happy. Ini topic yang aku tunggu-tunggu sejak lama karena untuk thesisku, aku memilih topic vaksin.

Semesta memang sudah mengatur dengan sempurna. Dulu waktu lagi bingung cari-cari sekolah, aku hanya memilih jurusan yang aku familiar, karena aku takut tak bisa mengikuti pelajaran. Setelah sekian lama tak sekolah, hatiku gemetaran saat membaca topit-topik sulit yang aku tidak familiar. Makin lama karena tidak ada pilihan lain, aku membuat banyak kompromi, sampai akhirnya aku memilih jurusan International Health.

Waktu dapat pengumuman beasiswa aku sempat shock karena pihak Erasmus mengganti track ‘chid health’ yang aku minati. Saat melihat track ‘Disease Control’ pilihan mereka dengan segala pelajarannya, aku ketakutan setengah mati, karena semua topiknya sungguh tidak familiar dan tidak aku minati. Tapi tak mungkin menolak tawaran beasiswa yang sudah kuimpikan, akhirnya bismillah kujalani saja dengan harapan pasti ada rencana Allah di balik ini semua. Ternyata seru juga dan betul kata pepatah,’Tak kenal maka tak sayang’. Makin lama aku mulai suka dan menikmati topic-topik yang awalnya seperti alien itu.

Begitu juga yang terjadi dengan topic vaksin, awalnya aku tak terlalu suka, tapi topic ini lah yang paling nyambung dengan dunia ‘chid health’ diantara pilihan topic lainnya di jurusanku. Tak disangka ternyata aku ketemu pembimbing dadakan untuk menulis thesis proposal yang sering melakukan penelitian tentang vaksin, ya sudah klop lah, memang takdirku harus mendalami topic ini tampaknya. Makin di dalami ternyata makin asik juga, apalagi setelah mengikuti course vaccine seminggu ini.

Dalam ruangan kelas, kami duduk bersama dengan para dosen dari berbagai Negara, seperti Belgia, South Africa, London, Geneva dan Berlin tentu saja. Kalau di Indo, mana mungkin aku bisa duduk bersebelahan dengan para profesor selama seminggu sambil bersama-sama berdiskusi dan menikmati kuliah. Yup, selain memberikan kuliah, mereka juga mendengarkan kuliah dari para dosen yang lain. Jadi selama coffee break atau lunch kami pun bisa ngobrol satu meja dengan mereka. Mereka baik-baik banget, ga ada yang arogan atau merasa dirinya profesor sehingga ga mau gabung sama student, hampir semuanya low profile. Beberapa dosen memang hanya datang dan pergi seperti Prof Kim Muholland dari London school of tropical Medicine, karena beliau tampaknya orang yang super sibuk. Jadi beliau hanya datang saat memberikan kuliah 1,5 jam lalu langsung terbang lagi ke London. Waktu aku cari CV beliau di internet, ternyata beliau adalah seorang pediatric dari Australia, banyak melakukan penelitian soal vaksin di negara berkembang dan sekarang menjadi profesor di bidang child health dan vaccinology di London. Hwaa mau banget aku mengikuti jejak beliau. Aku sangat ingin ngobrol dengannya dan minta advise tentang thesisku , tapi sayangnya dia langsung menghilang setelah memberi kuliah.

Aku juga bertemu dengan Profesor Meseus dari Antwerpen yang rupanya sering ke Indonesia dan dulunya adalah pembimbing Prof Cissy, mantan direktur RSHS, waktu prof CIssy research di Belgium. Tentu seneng banget aku bisa ketemu beliau. Orangnya sangat ramah, baik hati, tak pelit membagi ilmu dan selalu bersemangat. Meskipun beliau sudah pensiun tapi rupanya beliau tak bisa meninggalkan dunia penelitian dan mengajar. “Kalau ke Bandung saya selalu tinggal di ‘cimbeuleuit'” katanya menyebut ‘cimbeuleuit’ dengan fasih. Jadi beliau tidak dibayar tapi bekerja karena ‘passion’nya disitu. Yang tak bisa kulupa adalah cerita beliau ketika bertemu dengan seorang profesor spesialis anak di Bandung dan menyapanya,”Prof, gimana itu MMR menyebabkan autism,” kata si prof dari Bandung.”Waduh professor aja ga tau bahwa rumor itu sudah dibantah, saya cuma bisa geleng-geleng kepala jadinya,” kata prof Meseus. Ya ampun malu maluin banget kan. Tapi aku tau banget lah wong memang profesor di Indo jarang update jurnal karena kebanyakan ngurusin antrian pasien koq, jadi ya maklum. Ups maap, sara neh :D

Satu lagi pengajar yang sudah pensiun dan tua banget adalah Prof Francais dari Swiss, umurnya 73 tahun tapi beliau masih ’sharp’ banget meskipun kalau mengajar sambil duduk. Selain beliau ada beberapa orang doktor dari South Afrika, universitas Pretoria, universitas Cape Town dan Limpopo. Bahkan ada juga doktor dari ministry of Health Ghana yang baru selesai mengambil PhD di Antwerpen dan dokter Raj Kumar dari GAVI (lembaga yang suka bantu cari dana vaksinasi untuk negara berkembang).

Kami belajar segala macam soal vaksin mulai dari imunology yang memusingkan, membahas tiap penyakit yang bisa dicegah oleh vaksin, vaccine fears, monitoring dan surveilence vaksin, cold chain dan tak ketinggalan penemuan vaksin baru untuk penyakit TB, dengue, malaria, dan HIV. Tapi belajar banyak sekali bahan dalam satu minggu bukan berarti itu semua menempel di kepalaku, karena saking banyaknya aku rasa akhirnya malah hanya sedikit persen yang menempel di kepalaku hehe.

Namun yang jelas semakin memperdalam, aku jadi makin tahu tentang pentingnya membedakan vaksin untuk public sector dan private sectore berkaitan dengan herd immunity. Karena aku juga belajar soal efficacy, jadi untuk vaksin-vaksin tertentu seperti typhoid dan pneumoccocus yang masih menjadi perdebatan, aku tahu gimana harus bersikap, juga untuk vaksin HPV yang semula aku meragukannya untuk individual. Untuk rotavirus rupanya termasuk vaksin yang oke dan sangat penting bagi balita, sebentar lagi kabarnya bakal masuk ke dalam imunisasi wajib di negara berkembang termasuk Indonesia.

Yang menarik lagi adalah soal penemuan vaksin baru untuk penyakit yang masih menjadi masalah besar. Ternyata untuk TB vaksin, hasilnya cukup menjanjikan dan penelitian yang sekarang sedang di phase III, kalau sukses akan bisa dipasarkan tahun 2020. Lalu vaksin dengue juga tampaknya cukup menjanjikan dan kemungkinan 2015 sudah mulai keluar. Sementara untuk HIV, eficacynya hanya 31 persen dan masih banyak masalah disana, jadi masa depan vaksin HIV sedikit suram kecuali ada temuan temuan lain yang lebih menjanjikan. Untuk malaria, karena ini satu-satunya vaksin anti parasit, jadinya cukup sulit. Tapi tampaknya juga cukup menjanjikan dengan tema-temuan biomolekular dan interaksnya dengan antigen sporozoit. Memusingkan dengerin kuliah soal vaksin malaria ini, tapi juga senang dapat pengetahuan baru.

Course selesai, sekarang tinggal tugas assignment menunggu. Kami harus menulis essay literatur review 5 halaman. Aku rasa aku sudah menemukan topik yang kusuka berkaitan dengan masalah di Indonesia, yup apalagi kalau bukan vaksin IPD untuk penyakit pneumonia yang bermasalah itu. Vaksin IPD menarik untuk dibahas karena di Indonesia penerapannya salah sasaran. Sejak awal ganti topik tesis berkali-kali aku sudah jatuh hati sama permasalahan si vaksin satu ini, vaksin paling ribet yang pernah ada karena mengandung 93 serotype kata dosenku.

Hmm koq aku pake acara jatuh hati sama vaksin ya, padahal mana pernah aku mimpi berkecimpung di dunia vaccinology. Yang jelas semakin mendalami bukan berarti makin pro sama semua jenis vaksin atau anti vaksin, tapi malah bisa tahu kejadian sebenarnya dan memilih dengan hati-hati, itu lah yang aku suka. Let’s see in the future …kemana kejatuh hatian ku ini berujung…aku hanya menjalani.