Here I am, writing again! Rajin amat yak, maklum course belum dimulai. Jadi aku bisa pergunakan waktuku untuk explore Bordeaux dan menulis, meskipun ada satu tugas essay yang sampe sekarang belum selesai juga kukerjakan *sigh*. Ya jelas aja nulis diary lebih mengasyikkan buatku daripada nulis essay academic.
Kali ini aku ingin mencatat soal wiskul yang kulakukan siang tadi. Jam satu siang aku janjian sama Nina, Lisa dan seorang teman lelakiku asal Burkina Faso, Africa. Tapi yang nongol lagi-lagi cuma kami cewek-cewek, berikut beberapa orang teman Lisa asal Spain dan French. Sebelum bertemu dengan kawan-kawanku, aku menyusuri pasar di tepi sungai itu sendirian dan aku terbengong-bengong exited melihat aneka seafood dan makanan yang dijajakan, norak dot com deh pokoknya. Aku memang selalu norak kalau melihat sesuatu yang baru yang belum pernah kutemui sebelumnya.
Tempat itu bernama Charthon. Dari Peixoto tram B, halte tram tempat rumahku, tanpa perlu berganti tram, sekira setengah jam perjalanan, aku segara sampai ke tempat ini. Pertama kali melihat aku langsung senang, waah tempatnya asik sekali. Di pinggir sungai Gironde, dibuat jalan setapak besar seperti promenade yang panjang, lalu tampak lah kios-kios berjejeran di promenade itu. Tempat ini seperti pasar tradisional, jadi selain seafood, wine, keju, dijual juga sayur-sayuran dan buah-buahan.
Aku langsung mengeluarkan kamera pocketku dan menjepret sebuah kios yang ramai dikerubungi pengunjung. Hmm jual apaan ya ini kios? Ternyata mereka menjual Huitres, kerang khas Bordeaux yang dimakan mentah-mentah itu. Harganya lumayan mahal rupanya, 1 piring plastik isi 6 atau 7 buah kerang 5,4 euro. Selain kerang itu kita juga diberi 2 potong roti, sekotak kecil mentega, dan potongan jeruk lemon. Karena takut ga doyan aku memutuskan untuk lain kali saja mencobanya.
Lalu aku pun berjalan ke kios lain. Hwaa ada penjual seafood dengan wajan-wajan super besar berjejer-jejer. Di dalam wajan-wajan itu ada satu wajan penuh berisi ‚moule‘ alias kerang hitam yang sepertinya dimasak bumbu karie karena warna kuahnya kuning, lalu ada satu wajan isi calamarie dimasak saus merah, ada nasi paela isi seafood, dan ada sate seafood! Aku langsung naksir berat sama si sate seafood yang isinya udang, 2 cumi, salmon besar-besar ditusuk, diberi paprika dan dipanggang. Harganya memang ga bisa dibilang murah, yang mentah baru murah. Tapi ya sekali-kali lah. Harga seafood yang diwajan-wajan besar tadi sekira 15 -15,5 euro per kilo dan si sate seafood harganya 4,5 euro.
Jalan lagi ke kios lain aku liat ada kios wine yang penuh sama pembeli. Maklum lah Bordeaux kan kota wine, jadi dimana-mana yang dicoba para turis ya wine nya itu. Mataku tak berhenti menatap satu persatu isi kios. Dan aku pasti berhenti untuk mengambil foto makanan yang unik-unik. Kali ini aku ketemu sama kios keju yang juga dirubungi pengunjung. Mulanya aku bingung ini keju ato apaan sih, bentuknya ada yang lonjong, bulet, separuh bulet tapi diatasnya penuh jamur warna hijau mbladus dan dialasin daun-daun kering gitu. Ternyata aku betul, itu keju jamuran! Tapi kata guru bahasa Prancisku, keju ini memang bisa dimakan dan ga masalah, dan memang sengaja dikasih jamur juga kayanya, buktinya orang pada ngantri beli tuh. Wah aku ga tega deh makannya.
Lanjut ah ke kios lain. Dan kali ini aku melihat seorang perempuan menjual roti banquet panjang-panjang khas prancis dengan berbagai macam warna dan rupa. Sebelah sananya lagi ada orang jual roti yang atasnya dilapis-lapis kaya pita, tapi di dalamnya ada isi strawbery atau buah. Aku juga nemu ada orang jualan crepes, semacam pancake tipis banget gitu, tapi isinya daging, kentang terus ditutup kaya kalo ngelipat kertas, dilipat dari semua sisi tapi disisakan bolong di tengahnya supaya isinya keliatan . Sayang kalo yang ini aku ga sempet foto tadi. Memang lain kali kudu pergi lagi ke tempat ini.
Selain makanan-makanan itu, ada juga orang jual couscous, khas timur tengah dengan kuah seperti kari ayam dan sayuran, ada yang jual ayam utuh panggang 7 euroan, ada penjual kentang dan lauk pauk, macem-macem banget lah makanan di tempat ini. Selain makanan, di sebelah ujungnya promenade ini juga ada taman bermain anak-anak. Lalu kulihat banyak juga orang maen sepatu roda atau bersepeda di pinggir sungai ini. Wah aku langsung membayangkan keluargaku pergi ke tempat ini, pasti mereka senang.
Pantes aja setiap temen Lisa yang kutanya tentang bagaimana tinggal di Bordeaux, meraka selalu bilang,“I love this place very much‘. Aku sudah bertanya pada 3 orang Spain atau French tapi yang bukan asli Bordeaux dan jawabannya selalu begitu. Contohnya Beky, teman Marisa yang tadi aku baru kenal. Wanita berambut coklat dan bermata hijau ini aslinya dari kota sekira 2 jam dari Bordeaux. Dia pernah kerja di Paris selama 2 tahun, tapi dia ga suka sama Paris. “Kota itu ga humanis, terlalu crowded, kotor dan ga enak lah. Tapi aku suka sekali sama Bordeaux. Kamu bisa dapetin apa aja disini. Mau ke laut ada, mau ke gunung main ski deket, historical place ada, sungai ada, makanan semua ada. Kamu bisa mendapatkan quality of life kalau tinggal di sini,” terangnya panjang lebar. Hmm..okay… Aku memang setuju dengannya. Mereka bahkan menyarankan aku untuk cari PhD di tempat ini. “Duh kalau yang itu, enggak deh makasih, aku pokoknya udah pengen balik ke negeriku,” jawabku segera.
Setelah aku ketemu teman-temanku, kami segera memesan makanan. Aku memesan sate seafood yang sudah menggoyahkan imanku dari tadi. Nina membeli udang yang dibumbui alkohol dan roti banquet buat dimakan rame-rame. Lisa dan teman-temannya membeli huitres dan tentu saja wine. “Kamu harus coba huitres ini Agnes,” kata Lisa. Tadinya aku ga tega, tapi oke deh kapan lagi. Akhirnya aku dikasih 1 biji huitres sama Lisa. Lisa memeras jeruk lemon diatasnya, lalu mengaduknya dengan pisau plastik. “Gimana cara makannya?” Oh rupanya tinggal diseruput. Okay deh. Bismillah, batinku, kuatir sakit perut karena ini kerang hidup dan mentah. Tapi ternyata rasanya, enaak! Aku suka, apalagi kalau jeruknya ga usah terlalu banyak terus dikasih garem dikit, slruup. Hwaa senangnya aku berhasil makan Huitres khas Bordeaux!
Baru satu jam disana dan selesai makan, cuaca yang hangat dan matahari yang bersinar terang tiba-tiba diguyur hujan. “Ya inilah Bordeaux,” kata teman-teman Marisa. Hmm terpaksa kami segera menyingkir. Dan kami pun mencari cafe yang buka di hari Minggu. Kami masuk ke sebuah cafe yang langit-langitnya dihiasi bendera-bendera dari berbagai negara. Dan teman-temanku membahas soal bendera warna-warni garis-garis kaya pelangi.”Itu bendera untuk kaum gay,” kata Tomi, pria Prancis teman Lisa, seorang pemain rugby yang baik hati. Hoo ada ya bendera khusus untuk kaum gay, baru tahu aku. Inilah untungnya gaul dan sering ngafe bareng teman-teman, dari obrolan-obrolan sering dapat pengetahuan baru. Tapi ya itu, bikin kantong jebol. Mau ga mau aku harus memesan sesuatu, dan akhirnya aku memesan segelas susu coklat kesenanganku. Tiga euro melayang dari kantongku hanya untuk secangkir susu huhuhu. But, it’s okay. Aku senang bisa kenalan sama teman-teman Lisa yang baik-baik, dan Lisa juga senang memperkenalkan aku pada mereka. “Biar mata mereka terbuka, bahwa muslim tuh ga selamanya berpikiran sempit, buktinya kamu bisa sekolah sementara suamimu menjaga anak-anakmu di Amsterdam. Itu selalu membuatku kagum dan heran lho,” kata Lisa selalu mengulang cerita yang sama ke teman-temannya tentang aku. Hehe aku ya senang-senang aja, alhamdulillah kalau kehadiranku dan cerita kehidupanku bisa merubah cara pandang mereka tentang sosok seorang muslimah.
So, that’s for today. ‘Culinaire de Bordeaux’ hari ini membuatku senang karena aku berhasil memakan huitres dan ketemu sama seafood yang sedap, ketemu teman-teman baru lagi, ngobrol ngalor ngidul yang nambah pengetahuan lagi. Slruup… What next? Let’s see…