Setelah sepuluh hari kembali ke Diemen, dan sibuk tenggelam dalam menganalisa data penelitian yang njelimet, rasanya tetap tak bisa aku diam tanpa menyempatkan mencatat perjalanan turun lapangan mengoleksi data selama di Indonesia. Aku tak ingin semua cerita perjalanan itu hilang, padahal banyak kejadian yang ingin kukenang dan abadikan.
Waktu seperti terbang, 1,5 bulan di Indonesia tak terasa cepat sekali berlalu karena hari-hariku penuh dengan jadwal ini itu termasuk jadwal weekend : reunian dan makan-makan. Dimulai dari urusan perijinan dan masalah etik yang ribet, harus bolak balik, pergi kesana kesini setiap hari, setelah seminggu lewat, akhirnya penelitianku baru bisa dimulai. Itu pun karena salah seorang sahabatku sedang menjabat sebagai kepala puskesmas, sehingga aku bisa mulai wawancara duluan tanpa menunggu surat-surat.
Soal surat-surat
Pengurusan surat dan ijin memang tak ada yang tak ribet. Meski aku sudah minta tolong temanku jauh hari sejak aku di Bordeaux, tetap saja semua urusan kurang lancar kalau aku belum ada di lapangan. Beruntungnya, seminggu setelah kedatangan aku masih bisa presentasi di depan komite etik dari almamaterku untuk mendapatkan ijin penelitian. Karena presentasi ini belum tentu ada setiap bulan. Mestinya aku tidak perlu presentasi, karena penelitianku hanya wawancara, tapi dengan alasan karena dari luar negeri aku diminta presentasi. Duh alasan yang ga mbois blas hehe, tapi ya sudahlah mau bagaimana lagi.
Setelah presentasi, surat pun tak langsung jadi, mana kepotong libur dua hari pulak, duh, aku saat itu agak-agak panic, takut waktu untuk ambil data tidak cukup. Tapi dengan keyakinan bahwa semua akan indah pada waktunya, bismillah, aku pun tetap yakin melangkah.
Lima hari kemudian surat dari komite etik jadi, tapi aku masih belum bisa bergerak, karena untuk ke puskesmas dan rumah sakit umum, harus ada ijin dari Dinas Kesehatan Bandung. Selain itu menurut pembimbing lapanganku, kalau aku mau publish hasil peelitianku, ga cukup hanya dengan surat dari komite etik, aku memang harus minta ijin sospol dan Dinas kesehatan.
Alhasil aku harus mengurus surat lagi ke DInas. Sampai di dinas, ternyata prosedurnya harus membuat surat ijin penelitian dulu dari sospol di merdeka. Ya terpaksa besoknya ke Merdeka untuk urus surat ijin dari sospol. Untungnya di tempat ini surat bisa ditunggu langsung jadi asal bawa foto. Karena aku lupa ga bawa foto, terpaksa aku menggunting foto semasa honey moon sama suamiku, duh si bapak yang gunting aja sampe ga tega ngeguntingnya.”Bener niy neng ga papa digunting.” Haduuuh bener deh pak, ntar aku bisa print lagi daripada musti bolak balik besok hari. Alhasil, meski harus ngorbanin foto honeymoon, surat sospol bisa jadi dalam beberapa jam, alhamdulillah.
Besoknya lagi, aku uruslah surat ke Dinas, tapi sayang disayang, prosesnya agak lama, butuh lebih dari 3 hari. Setelah surat ini jadi, barulah aku bisa masuk ke rumah sakit umum untuk meminta surat ijin lagi dari direktur rumah sakit, yang prosesnya juga makan waktu berhari-hari, alamaak!
Aku pun segera pasang strategi, mengatur jadwal wawancara ke klinik swasta dulu dan ke puskes temanku dulu, dengan surat bisa disusulkan. Beruntung sekali temanku baik hati, langsung mengijinkan aku wawancara di puskesnya, mengatur siapa saja dokter dan perawat yang bakal di wawancara dan juga pasien.
Akhirnya setelah hampir dua minggu mengurus surat-surat, kerja lapangan pun dimulai!
Suka Duka
Katanya, penelitian kualitativ itu saat kerja lapangan tak seribet kuantitativ, hanya bagian analisa yang ribet, tapi nyatanya, ya sami mawon. Aku malah sering pergi pagi pulang malam, kerja dari jam 9 pagi sampe 9 malam atau bahkan 9 am to 11 pm. Gimana enggak, soalnya, aku mengejar responden. Jadi aku janjian wawancara dengan responden dimanapun mereka minta. Jadi aku bisa janjian wawancara jam 8 pagi di rumah sakit dengan dokter anu, di pasteur, lalu siangnya ke ujung cimahi mewawancara ibu di rumahnya, sorenya ke arah dago mewawancara ibu lain di restoran anu, lalu ke rumah ibu Anu di Antapani, dan malamnya mewawancara bidan di rumah sakit ujung berung jam 9 malam! Yup demi mengejar responden, kujabanin juga lah jam 9 malam. Saat itu bagiku responden adalah raja, kalau mereka minta diwawancara malam sekalian pas dines jaga, mana bisa lah kutolak, karena aku pun ingin cepat selesai tepat waktu, ga ingin molor.
Sukanya, aku sangat menikmati mengelilingi kota Bandung dengan segala kemacetannya, rasanya aku semakin mencintai kota tempatku di besarkan itu. Meski macet, tambah panas, tapi kenangan bersama kota itu mengikatku. Belum lagi jajanan dan jenis makanan yang semakin macam-macam, duh ga ku ku!
Hampir setiap hari, saat menyusuri lika liku kota itu, aku seperti memutar film masa kecil dan masa kuliahku. Sering sekali hatiku kasuat-suat inget masa lalu. Ketika melewati jalan Riau, aku selalu membelokkan mobilku, mobil pinjaman dari adik atau kakakku tepatnya, ke arah jalan menuju SMA ku. Melewatinya, tiba-tiba saja sosok seorang gadis berseragam abu-abu, bersepatu bot menjinjing mesin tik setiap minggu melintas di kepalaku. Ya disitulah aku dulu menghabiskan masa SMA ku, dengan kenangan hantu nancy yang sangat terkenal itu. Tak lama, kulewati pula Jalan Jawa, bangunan megah bekas SMP ku terlihat disana, dan hatiku tiba-tiba tergores mengingat semua kenangan masa kecilku, saat berjalan kaki dan naik angkot arah CImahi bersama teman-teman. Duh betapa cepatnya waktu berlalu, sekarang malah anakku yang sudah mau sekolah SMP.
Saat melintasi area mesjid Salman lain lagi, hatiku langsung membiru, merindu suamiku, teringat masa-masa bersamanya dulu ketika kami baru kenal dan masih dalam taraf penjajakan, ehm. Aku juga ingat saat-saat naik kuda bersama dua anakku, ketika mereka masih batita dulu, dan mengunjungi kebun binatang yang tak jauh dari situ. Aku mendadak ingin pulang, memeluk buah hati dan cintaku, rindu itu seketika menyesakkan. Duuh memori…betapa kau menyiksaku!
Itulah segilintir rasa yang muncul saat aku menyusuri kota tempat aku dibesarkan, masih banyak lagi rasa yang sepertinya selalu muncul di setiap jalan yang aku susuri di kota itu. Dan aku menjadi semakin mengenal kotaku, karena aku betul betul melakukan wawancara dari ujung ke ujung. Respondenku tersebar mulai dari cimahi, buah batu, ujung berung, cibaduyut, holis, dago, antapani, pasteur, setiabudi, bumi sariwangi yang diujung dekat polban dengan jalan yang tajamnya minta ampun itu pun kulewati. Pokoknya, jiwa pembalap ku mau tak mau jadi harus muncul kembali.
Aku juga senang, karena setiap hari, aku bertemu orang orang baru, dan berlatih menghadapi beragam karakter orang orang itu. Menelpon sana menelpon sini, janjian wawancara disana dan disini dengan orang yang belum pernah aku kenal sungguh merupakan tantangan. Kadang ditolak, kadang diinterogasi siapakah aku ini, kadang langsung diminta datang dengan senang hati. Alhamdulillahnya, respondenku rata-rata baik-baik, semua kooperatif, daftar temanku pun bertambah jadinya. Aku melihat kondisi nyata dengan kepalaku sendiri perbedaan antara si A yang gajinya nyaris dua puluh juta hingga si B yang gajinya hanya limaratus ribu saja, nombok sana nombok sini tiap bulan pastinya. Aku belajar, betapa Tuhan memang menciptakan manusia berbeda dengan segala tugas spesifiknya sendiri-sendiri. Aku belajar, betapa kita harus legawa menerima segenap perbedaan pemikiran, tanpa harus menghakimi mana si benar dan si salah. Aku belajar, menyatukan keping-keping puzzle puluhan informasi menjadi hanya segelintir pesan. Aku belajar, banyak hal, dan aku menikmatinya dengan senang.
Sedikit ketidaknyamanan kurasakan ketika aku mau tak mau harus menunjukkan titel dokterku, demi melancarkan proses perijinan dan penelitian. Pelayanan dan respon orang segera berubah, bahkan ada yang membungkuk-bungkuk berjalan hormat di depanku. Duh risih rasanya aku, setelah bertahun-tahun tak pernah lagi merasakan semua itu. Jiwa-jiwa inlander di kalangan bawah, jiwa-jiwa arogansi di kalangan atas berseliweran di depan mataku. Salah panggil jabatan saja aku bisa mati kutu. Dan yang paling mengenaskan adalah mendengar cerita cerita tidak berperikemanusian dalam sistem yang bernama pendidikan. Sungguh, pilu hatiku. Tapi, itu lah sistem yang masih mengakar. Dan aku hanya bisa diam, hanya bisa mendoakan agar suatu saat datang sebuah masa yang bernama perubahan.
Kisah lain yang agak menjengkelkan adalah saat harus janjian dengan para dokter spesialis. Ya aku maklum mereka orang super sibuk yang sepertinya mau kasih waktu wawancara 10 menit saja sudah untung, apalagi setengah jam. Akhirnya aku melebarkan hati untuk bersiap menerima apapun kondisi. Awalnya agak bete tapi lama-lama dinikmati sajalah. Bayangkan, untuk janjian aku harus menunggu satu atau dua jam sebelum ketemu dokter di tempat prakteknya. Setelah hari H wawancara datang, kadang molornya ga keruan. Janjian jam 9 bisa baru selesai jam dua siang. Janjian hari anu bisa batal jadi hari anu. Menunggu dan menunggu, belajar kesabaran, itu yang akhirnya membuatku terbiasa dan tetap menikmati saja semuanya.
Dan tentu saja, enaknya penelitian kualitatif, aku bisa memilih responden, ga harus random, jadi aku pilihlah yang baik baik dan kooperatif berdasarkan info dari teman-teman. Alhamdulillah pilihanku ga salah, semua nya baiiik! Jadi ga perlu buang energi untuk menghadapi orang yang tidak menyenangkan.
Meski capek karena setiap hari pergi pagi pulang malam, menjelang pulang lagi ke Diemen aku senang, karena misiku berhasil. Hambatan-hambatan di awal berlalu, ijin dari sebuah rumah sakit swasta yang tak kunjung keluar akhirnya membuatku malah bekerja lebih cepat setelah ganti rumah sakit. Meskipun tantangan berat lain menanti yaitu menganalisa dan menulis, tapi aku percaya, semua akan indah pada waktunya, itu sudah janji Tuhan dan sering kubuktikan, asal kita yakin dan berusaha maksimal. Dan betul saja, beberapa hari sebelum pulang, semua wawancara sudah kuselesaikan. Transcriber yang kusewa pun bekerja dengan baik dan cukup memuaskan. Banyak pengalaman berkesan ketika mewawancarai beragam orang, bagaimana merubah pertanyaan, bagaimana mengorek jawaban dari orang yang hanya jawab ‚ga tau‘ dan efek parahnya, keinginanku untuk pulang selamanya ke negeriku semakin berkobar.
Oh Indonesia, kamu memang tambah gila di banyak bidang, tapi kenapa ya hatiku tetap selalu ingin pulang. Semoga, ada masanya, ketika jalan hidup sudah ditentukan, aku bisa pulang dan menyumbangkan sedikit perubahan.