Anak-anak berkembang. Tentu saja banyak perubahan terjadi ketika aku kembali pulang ke rumah. Si bungsuku sudah seperti pekerja kantoran yang super sibuk dengan jam terjadwal. Menyiapkan sendiri sarapan dan bekal sekolah, lalu berangkat sekolah. Sore harinya tiba-tiba dia sudah muncul sendiri pulang dari sekolah, lalu segera krang kring krang kring rumah bersahutan. Kicauan ramai anak-anak pun terdengar. Kadang mereka nyanyi karaoke bersahut-sahutan, gedebak gedebuk gelutan, kadang jerit-jerit saking kesal, malah suara anak menangis pun kadang terdengar. Begitulah suasana rumahku selalu, di sore hari, karena anak-anakku semakin banyak teman, dan rumah kami menjadi base camp yang selalu penuh kunjungan.
Aku senang, anakku bisa punya banyak teman, tak melulu nongkrongin layar, dan kadang bisa sering main diluar. Sebuah suasana yang bahkan sulit ditemui di kota besar di Indonesia. Anak-anak itu bisa bermain hingga gulita yang datang sangat terlambat di musim panas, jam 10 petang. Tapi tentu saja kami larang kalau bukan hari liburan.
Jadi setiap hari, anak-anakku hanya datang ketika makan malam dan menjelang tidur saja. Dunia kecil mereka telah hilang, tumbuh berkembang menjadi dunia menjelang remaja, yang hanya membutuhkan orangtuanya di kala pagi dan malam.
Hingga suatu malam, ketika cuaca sedang tak bersahabat, waktuku dengan si bungsu bisa lebih banyak. Hanya ada si bungsu, karena kakaknya sedang ikut acara kemping di sekolah. Lalu seperti biasa pembicaraan tingkat tinggi pun dimulai. Dari kejadian tak sengaja karena dia melihat sebuah brosur alat kontrasepsi, hingga akhirnya diskusi panjang. Dan aku terperangah heran melihat pengetahuannya yang semakin dalam. “Baca dari buku, atau liat dari iklan,” katanya. Aku tentu tak bisa menghakimi, kami hidup di dua jaman, aku yang harus paham. Kuambil saja kesempatan untuk lagi-lagi mengingatkan betapa pentingnya menjaga kemaluan, menikah sebelum berhubungan badan dan mencari istri yang baik sepadan. Lucunya tiba-tiba si bungsuku nyeletuk,”Bunda nanti mau kan bantu cariin istri yang baik buat Aik.” Hehe senyumku mengembang. Oh pasti dong sayaang…
Lalu, pertanyaan yang sudah lama tak kuajukan, kukemukakan.
“Ik, sekarang sayangnya Aik ke Allah segimana?”
“Sebesar Allah Bun.”
“Lho koq sebesar Allah?” Aku heran.
„Iya, kann Allah itu besaaar sekali kan, sebesar universum, lebih luas dari universum. Sayangnya Aik sebesar itu Bun.“
„Hoo pinter Aik!“
„Kalo sayang Aik ke bunda segimana?“
“Satu kepala dibawahnya Allah bun.”
Hehe, aku terdiam, sambil senyam senyum melihat sebuah keluguan.
Anakku sudah besar, tapi tentu belum semua berkembang.
“Itu besar sekali Bun, tapi dibawahnya Allah.”
“Iya sayang, makasi ya Nak..bunda juga besaar sekali sayangnya sama Aik.”
“Tapi Bun, gimana Aik bisa sayang sama orang yang ga pernah Aik liat?” (orang= pasti maksudnya Allah batinku). Lagi-lagi sebuah kejujuran, karena dia masih butuh melihat sesuatu yang kongkrit di depan mata.
“Aik bisa merasakan dari dalam hati Aik kan, kalo aik merasa sayang, cinta, itulah Allah yang Aik rasakan. Aik juga bisa liat kan dari apa yang udah dikasih Allah ke Aik.”
“Ya tapi kaki Aik sakit, aik banyak dapat yang ga enak-enak.”
“Kalo Aik selalu liat ke atas, pasti Aik ga akan dapat yang enak-enak. Tapi kalo kita selalu bersyukur dan liat ke bawah, berpikir positif dan ga pernah mengeluh semua jadi enak Ik. Aik inget, video yang bunda kirim waktu itu tentang orang yang ga punya tangan tapi hebat?”
“Iya,” Aik mengangguk sambil terdiam,
“Kalo dia melihat ke atas, dia akan selalu menderita, kenapa aku ga punya tangan sementara orang lain punya, kenapa hidupku begitu miserable dan seterusnya. Tapi dia selalu melihat kebawah Ik. Meski ga punya tangan, masih untung aku masih bisa makan, masih bisa dikasih otak yang pinter, ada orang yang tidur terus karena sakit, yang bodoh dan ga pinter, dst dstnya…”
Aik terdiam. Semoga mencerna semua pelajaran yang sudah lama tidak kuberikan, karena kesibukanku sebagai seorang ibu yang tak ingin tinggal diam dan kesibukannya sebagai anak menjelang remaja yang sedang tumbuh dan berkembang. Teruslah belajar ya sayang…belajar merasakan sayangnya Allah yang begitu besar, belajar mensyukuri hidup yang telah diberikan. Bunda juga masih harus selalu belajar, kita sama-sama harus belajar!