Lala dan bakat menulisnya

Lala memang berbakat banget menulis, ehm maaf ya terpaksa harus narsis muji anak sendiri he, karena lagi senang dengar cerita lala hari ini. Hari ini Lala cerita di pelajaran budaya (culture), dia dapat tugas untuk menulis 300 kata tentang culture, boleh tentang apa aja. Dan Lala menulis tentang Indonesia. Di kelas lala ada sekitar 26 anak, dan 2 diantaranya yaitu Lala dan Anouk temennya dapat nilai paling tinggi, 9. Nah di sekolah lala, kelas 1 nya ada 6 kelas, kelas 1 A sampai 1 F. Dari semua yang dapat nilai 9 anak kelas 1 ini lalu dipilih lagi 5 tulisan yang bisa masuk dalam schoolkrant atau koran sekolah, dan tulisan Lala kepilih! Yippi! Bravo Lala. Anouk, temen sekelas lala yang tulisannya tentang Meksiko juga kepilih, senang lah mereka berdua pokoknya.

Dan tentu saja, aku sebagai emaknya seneng juga dong. Entah darimana bakat nulisnya itu menurun, sebab emaknya ga bisa dibilang berbakat. Karena si emak kecemplung dalam dunia tulis menulis awalnya bukan karena hobi atau suka, tapi karena kepaksa. Dulunya si emak juga ga hobi baca, baru belakangan aja setelah punya anak (lagi-lagi terpaksa) untuk suka membaca. Bedanya lagi dengan Lala, si emak mulai menulis ketika umurnya sudah cukup tua, dan jangan minta pula si emak nulis fiksi, daya imajinasinya payah, cuma bisa dihitung sepenggal jari. Tapi Lala, sejak umur 9 tahun sudah suka menulis, dan tulisannya langsung keren! Tanpa ada yang mengajari harus begini begitu, Lala bisa menulis tanda baca dengan benar, menggambarkan cerita dengan ‘show’ not tell, dan bisa juga menceritakan karakter tokoh dengan kuat. Imajinasinya, jangan ditanya, dari seekor kucing saja, bisa menjadi cerita yang aneh, lucu dan diluar batas pemikiranku. Ini juga dibuktikan dengan nilai-nilai creative writingnya di sekolah, yang selalu dapat nilai tinggi. Jadi, ga berlebihan lah ya rasanya kalo aku bilang Lala berbakat dalam menulis, ehm maaf sekali lagi, karena ini memang tulisan edisi narsis :D.

Barangkali, lingkungan memang sangat mendukung bakat Lala. Aku sangat rajin membacakannya buku sejak usianya 4 bulan, maklum anak pertama. Jurus 3 M juga selalu kupraktekan, mendongeng, menyanyi dan membaca. Kreatifitasnya cukup tersalurkan karena segala mainan edukatif berusaha dibelikan dan mau berantakin apapun ga pernah dilarang asal dibereskan. Kesukaannya membaca sangat amat tersalurkan juga. Buku-buku tebal Harry Potter, Warrios, Geronimo stilton dan buku lainnya sudah berhasil ditamatkan sejak usianya 8 tahun. Sebetulnya, adiknya juga kuperlakukan sama, bahkan aku membacakannya buku sejak dalam kandungan. Malik masih suka baca, tapi berkurang seiring usia, dan tidak seheboh kakaknya. Melihat buku tebal Harry Potter, Malik langsung berkomentar,”Aik ga mau baca itu, terlalu tebal.” Lalu dipilihnya buku yang lebih tipis dengan banyak gambar, sangat berbeda dengan kakaknya yang tak pernah anti melihat buku setebal apapun. Artinya setiap anak memang unik, perlakuan sama, hasilnya beda. Tapi, Malik cinta mati sama lego, yang membuatnya juga memiliki kelebihan sendiri dalam hal ini.

Kembali ke soal menulis lala, aku dan suamiku berusaha untuk selalu memotivasi Lala, tapi sampai saat ini belum berhasil juga kelar menulis buku. Projek novelnya akhirnya berakhir di 40 halaman dan belakangan dia sudah tak ingin menyelesaikan. Sogokan uang per lembar halaman, cerita-cerita tentang pentingnya menulis dan lain-lain juga sudah diceritakan, tapi ya kalau anaknya ga mau, masak mau dipaksa. Sekarang lala sudah sibuk dengan dunia SMP yang dia sangat suka. Sampai-sampai dia ga mau diajak pulang ke Indonesia (hiks). Jadi urusan tulis menulis betul-betul kami serahkan padanya, kami hanya bisa terus memotivasinya dan sekali lagi tak bisa memaksa tentu saja. Aku hanya bisa bilang begini:

“La, suatu hari nanti, Lala harus nulis buku. Pasti banyak orang suka sama buku mba Lala.” Dan lala hanya menjawab,”Oke,” seperti biasanya.

Beberapa minggu lalu, ketika sedang mood menulis, lala membuat cerita pendek dalam bahasa belanda, tentang horor. Lala memang suka sama cerita horor. Setelah ditulis, diterjemahkannya pula dalam bahasa Inggris. Ayahnya bilang, kalo lala bisa nulis dalam bahasa Inggris, bakal dikasih 5 euro 1 halaman, wuih banyak banget kan. Tapi Lala mentranslate dan membenarkannya kembali dengan bantuan google translaste, jadi perhalaman Cuma dapat 2 euro. Mungkin saat itu lala lagi butuh pengen beli sesuatu makanya berhasil nulis hanya dalam beberapa jam. Dan inilah tulisan lala waktu itu. Tulisan yang sangat pendek, tapi bercerita, seru dan endingnya…aku sangat suka, unpredictable! Keep writing ya La, semoga ada masanya nanti ketika Lala menghasilkan karya yang bermanfaat buat orang lain. Amin.

Selamat menikmati karya Lala….sayangnya Cuma ada versi bahasa Belanda dan Inggris, Lala belum termotivasi nulis dalam bahasa Indonesia, karena lebih susah buat lala pastinya.

Versi ga asli, bahasa Inggris:

Bloody Red

A hospital. Large, old and scary. This is where my grandfather died. Now my father lies here, his son. He was crashed in a car accident. A car collided with his car. I sat in the backseat of the car, but I did not even got a scratch.
I stood in the parking lot. In the rain. With my mother and my sister, Alex. She held her bunny doll tightly. Her eyes looked scared, frightened and confused. Unlike my mother, who looked like this was the most normal thing in the world.
We walked inside. The narrow hallway was empty, but a strange, pale man sat there. He wore sunglasses and a hat. His lips were bloody red.
After a few steps we were faced with an elevator. My mother pressed the button. With a strange buzzing sound he came to a halt. We stepped inside and I turned around. That man was gone, just as the elevator door closing. Again my mother pressed a button. Again there was a buzzing sound. The elevator door opened. The three of us walked a few corridors. The walls were white, and here it was busier than downstairs. Nurses walked with face masks and carts. Patients sat in waiting rooms waiting for a call. After a while we were at the information desk. I expected that my mother would go to the nurse behind the counter to ask where my father was, but no. She just walked past. Strangely enough, she knew exactly where he was. At one point my mother stopped at a door. She hesitated when she opened the door. It jerked open. There was my father. He lay bleeding on an operating table. There was someone with him, not a doctor, nurse or nurse – not a normal one, at least – but a pale woman. She wore sunglasses and a hat, like the man, who disappeared downstairs. They wore exactly the same hat and sunglasses. This woman had red lips. Bloody red. One second long she bared her teeth. I saw it immediately: canines. Very white canines. Dripping red blood. I looked at my father’s neck and I saw two small holes. Behind me my mother and my sister where running to me, followed by a doctor. I had not even noticed they were gone!
“What in the world is going on?” He shouted.
“T – that woman! S – s -she’s a vampire! “I stammered. I pointed to the surgical bed.
To my surprise, the woman was still there, unlike in scary movies or stuff like that. She looked at us. Though she had sunglasses on, it was still scary.
“So?” Said the doctor. “It isn’t scary at all!”
“Isn’t scary??” Said my mother shocked. “Do not know how unusual this is? Years I’ve been go to in this hospital and there is, to my knowledge no vampire reported! Until today then.
The doctor laughed. “Then you have it all those years wrong, ma’am. In this hospital there are more vampires than normal people.” He bared his teeth.
I was shocked – canines.
The doctor putted a hat on.
“Anyone who dies here, is a vampire …” he grinned. “And everyone who is born here, will come back on his twelfth birthday and will be bitten by a vampire.”

Unfortunately I was born here, exactly twelve years ago.

Versi asli bahasa Belanda:

Bloedrood

Een ziekenhuis. Groot, oud, en eng. Dit is de plaats waar mijn opa overleed. Nu ligt mijn vader hier, zijn zoon. Hij is verongelukt tijdens een auto-ongeluk. Een auto botste tegen de zijne aan. Ik zat ook in de auto, maar ik hield er zelfs geen schrammetje aan over.
Ik stond op de parkeerplaats. In de regen. Met mijn moeder en mijn zusje, Alexa. Ze hield haar konijnenknuffeltje stevig tegen haar aangedrukt. Haar ogen keken bang, geschrokken en verward. In tegenstelling tot mijn moeder, die keek alsof het de normaalste zaak van de wereld was.
We liepen naar binnen. De smalle gang was leeg, op een vreemde, bleke man na. Hij droeg een zonnebril en een hoed. Zijn lippen waren bloedrood.
Na een paar stappen stonden we voor een lift. Mijn moeder drukte op het knopje. Met een zoemend gek geluid kwam hij tot stilstand. We stapten naar binnen en ik draaide me om. Die man was weg, net toen de liftdeur dichtging. Weer drukte mijn moeder op een knopje. Weer was er een zoemend geluid. De liftdeur ging open. Met z’n drieën liepen we een paar gangen door. De muren waren wit, en hier was het drukker dan beneden. Zusters liepen met mondkapjes en karretjes heen en weer. Patiënten zaten in wachtkamers te wachten op een oproep. Even later waren we bij de infobalie. Ik verwachtte dat mijn moeder aan de zuster achter de balie zou vragen waar mijn vader lag, maar nee. Ze liep er gewoon langs. Ze wist vreemd genoeg precies waar hij lag. Op een gegeven moment stopte mijn moeder bij een deur. Ze aarzelde even, toen deed ze de deur met een ruk open. Daar lag mijn vader. Bebloed lag hij op een operatietafel. Er was iemand bij hem, geen dokter, zuster of verpleegster – Geen normale, ten minste – Maar een bleke, volwassen vrouw. Ze droeg een zonnebril en een hoed, net als die man, een paar etalages naar beneden. Het waren precies dezelfde hoed en zonnebril. Deze vrouw had ook rode lippen. Bloedrood. Één seconde lang ontblootte ze haar tanden. Ik zag het meteen: hoektanden. Spierwitte hoektanden had ze. Druipend van het rode bloed. Ik keek naar mijn vaders nek- twee kleine gaatjes. Achter mij kwamen mijn moeder en mijn zusje aanrennen, gevolgd door een dokter. Ik had niet eens gemerkt dat ze weg waren!
‘Wat is hier in hemelsnaam aan de hand?!’ Riep hij.
‘D – die vrouw! Z – z- ze is een vampier!’ Stotterde ik. Ik wees naar het operatiebed.
Tot mijn verbazing was die vrouw er nog. Ze keek ons aan. Al had ze een zonnebril op, het was nog steeds eng.
‘Dus?’ Zei de dokter. ‘Zo erg is dat niet!’
‘Niet erg?’ Zei mijn moeder geschokt. ‘Weet u niet hoe abnormaal dit is? Ik kom al jaren in dit ziekenhuis en er is, zover ik weet geen enkele vampier gesignaleerd. Tot vandaag dan.
De dokter lachte. ‘Dan heeft u het jaren mis, mevrouw. Hier komen meer vampiers dan normale mensen.’ Hij ontblootte zijn tanden ook. Ik schrok – hoektanden. Hij zette een hoed op.
‘Iedereen die hier overlijdt, wordt een vampier…’ Hij grijnsde. ‘En iedereen die hier geboren is, komt op z’n twaalfde verjaardag terug en wordt gebeten door een vampier.
Jammer genoeg ben ik hier geboren, precies twaalf jaar geleden.

Versi bahasa Inggris: