Marah? Kesal? Dendam dan kecewa berat sama vaccine karena KIPI nya? Jadi bencii banget sama vaksin? Wajar dong, sangat manusiawi, boleh banget koq :). Tapi kalo masih ada sedikit ruang di hati keinginan untuk meredamnya ke arah yang lebih positif, mungkin cuplikan cerita ini bisa membantu:
John Salamone, Korban Vaksin Berhati Samudra
John Salamone namanya. Ia, bukan lelaki biasa. Di tahun 1990, David, anak lelakinya mendapatkan imunisasi polio. Dua minggu setelah divaksin , David tiba-tiba tak bisa membalikkan badan. David hanya mampu menggerakkan kepalanya ke depan dan belakang. Lebih parahnya lagi, David juga tak bisa menggerakkan kedua kakinya. Orangtua mana yang tak remuk hatinya. John sangat kaget. David menjadi lumpuh! Belakangan, kaki yang satu bisa digerakkan, tapi tetap saja, jika berjalan ia seperti pelaut mabuk. Pincang. John hanya bisa terdiam. Terpukul.
Tiga tahun kemudian, penyebab kelumpuhan itu terkuak. David yang sejak lahir sering sakit-sakitan, mengeluh nyeri di badan, dan kerap minum antibiotic, dibawa ke dokter ahli rematologi. Ternyata ia memiliki kelainan imunitas tubuh, cacat bawaan dari lahir. Kelainan itu pulalah yang rupanya mengakibatkan David terkena polio. Ya, David terkena polio akibat oral vaksin polio yang diberikan kepadanya ketika bayi dulu. Kalangan medis sering menyebutnya dengan Vaccine-assosiated Paralysis (VAP), efek samping yang sebetulnya sangat jarang terjadi, hanya mengenai 1 diantara 2,5 juta orang, terutama terjadi pada anak-anak dengan kelainan cacat bawaan kekebalan tubuh seperti David.
Mengetahui semua itu, tentu saja, John dan istrinya semakin terhenyak. Dada mereka seketika sesak. Kemarahan dan kekesalan memuncak. Perasaan sangat bersalah pun mendera. “Kami membawanya ke dokter supaya ia sehat, tapi bukannya sehat, anak kami malah lumpuh karena polio.” Kebanyakan orangtua yang menjadi korban efek samping vaksin seperti John, umumnya akan marah dan menjadi sangat benci imunisasi. Namun, John memang berbeda. Hatinya begitu luas bak samudra. Kemarahan dan kekesalan tidak membuatnya kehilangan nalar. Alih-alih menyalahkan vaksin dan menjadi anti terhadap imunisasi, John malah menjadi pejuang vaccine safety.
Ia tahu betul bahwa dibalik ketidaksempurnaan vaksin, manfaat vaksinasi jauh lebih besar, maka alih-alih membenci vaksinasi, ia malah berusaha membantu pemerintah untuk menambal ‘kebocoran-kebocoran’ yang masih ada pada program vaksinasi. John mengatakan, dengan pengetahuan yang ia punya tentang sejarah imunisasi, ia masih cukup waras untuk bisa berpikir rasional bahwa bagaimanapun imunisasi lebih banyak manfaatnya, imunisasi telah menyelamatkan banyak nyawa. “Saya pro vaksinasi, tapi vaksinasi yang aman,” katanya.
Ia lah orang yang akhirnya membuat pemerintah Amerika Serikat merubah kebijakan soal vaksin polio dari oral menjadi suntikan. Ia lah orang yang paling menderita akibat vaksin, namun masih bisa meredam emosinya dan malah merubahnya ke arah perbaikan yang positif.
Marah? Kesal? Kecewa karena KIPI Vaksin? Boleh banget! Tapi jika masih ada sedikit ruang untuk meredam, mungkin ada baiknya kita belajar dari seorang John Salamone.
(Agnes Tri Harjaningrum, source: buku Deadly Choices nya Dr Paul Offit)
Note: Di Indonesia, vaksin polio oral belum bisa diganti dengan vaksin polio injeksi karena selain mahal, di Indonesia masih ditemukan virus polio liar yang ‘hanya’ mempan dicegah oleh virus polio oral.