Kampanye Bicara Kalimat Positif

Bicara menggunakan kalimat positif sangat penting, begitu kata banyak pakar. Anjuran itu telah lama kudengar, kutulis bahkan kucamkan dalam benakku. “Orangtua yang selalu berbicara positif, akan membantu menumbuhkan harga diri anak. Kata-kata positif memiliki kekuatan untuk membuat anak merasa berguna, merasa senang, memberi harapan dan memupuk jiwa mereka,” tulis Mimi Doe, dalam bukunya ‘Sepuluh Prinsip Spiritual Parenting”.

Prakteknya bagaimana, gampangkah? Wuih jangan ditanya. Susahnya bukan kepalang. Ah masak iya? Lha iya, wong seumur-umur orangtua kita dulu kebanyakan mencekoki kita dengan kalimat negatif je. Wajar sekali kan kalau akhirnya kalimat positif malah menjadi kalimat yang tak terbayangkan dan sangat tidak familiar dengan kehidupan sehari-hari. Tapi bukan berarti hendak menyalahkan orangtua kita dulu lho. Semua pasti ada sebab, jaman dulu barangkali penelitian para ahli belum marak. Orangtua kita pun sesungguhnya telah berbuat yang terbaik bagi anak-anaknya pada masanya. Namun, jaman tentu saja berubah, kalau ada yang terbukti lebih baik, kenapa tidak dicoba?

Belakangan ini aku melakukannya, menggerakkan lagi kampanye bicara kalimat positif dalam keluargaku. Dan hasilnya? Wow, bagiku mencengangkan dan sekaligus membuatku malu hati. Dulu aku pernah mencobanya, tapi hanya tahan beberapa bulan. Kepindahanku ke negeri ini dengan segala dampaknya menguras tenagaku lahir dan batin. Waktu banyak ku habiskan untuk menata diriku sendiri yang memang lebih membutuhkan. Aku menjadi lebih sensitif, gampang sekali naik darah. Padahal dulu aku termasuk ibu yang cukup sabar, walaupun memang masih kalah dibandingkan suamiku. Bagaimana mungkin aku bisa menjadi ibu yang baik, bila aku belum ‘menemukan’ diriku sepenuhnya.

Proses belajar terkadang memang melelahkan dan menyakitkan, tapi tentunya akan berbuah juga. Perlahan aku mulai bangkit, mengontrol emosiku, menata lagi kesabaranku dalam menghadapi anak-anakku. Saatnya tiba, ketika aku mulai tersadarkan lagi untuk menggerakkan bicara positif dalam rumah kami. Entah mengapa, hati dan telingaku kini menjadi tergelitik mendengar Lala yang sering berbicara dengan kalimat negatif. Padahal sebelumnya aku sama sekali tak terpengaruh atau tepatnya mengabaikan saja barangkali. “Aik! Kalo Aik nggak mau berbagi, mbak Lala marah sama Aik!” begitu kira-kira ucapan yang kerap terlontar dari mulutnya. Dan, tentu saja, kalimat ini menular kepada Malik adiknya.

Lho? Kalau Malik tertular dari Lala, mestinya Lala berbicara seperti itu juga tertular dari seseorang dong ya. He he, dari siapa lagi kalau bukan dari orangtuanya. Mestinya begitu kan? Aku bisa saja ngeles bahwa aku tak pernah mengajarkan anak-anakku berbicara seperti itu, seperti halnya aku tak pernah mengajari mereka memukul. Toh akhirnya mereka memukul juga, mencubit juga sebagai respon normalnya anak-anak saat tidak suka. Tapi bagaimanapun, aku akui bahwa tidak selamanya aku bisa mengontrol diri untuk bisa selalu berbicara baik-baik pada mereka.

Seorang ibu juga manusia yang bisa kesal dan marah tentu saja. Namun alangkah mulianya bila si ibu bisa menahan kemarahan dan kekesalannya, mengolahnya dalam hati sehingga tetap menjadi telaga yang meneduhkan bagi anak-anaknya. Ibu yang seperti ini barangkali sudah melakukan jihad terbesar, jihad melawan hawa nafsunya sendiri. Hmm…itu masih menjadi mimpi bagiku. Sekarang? Aku sedang belajar, dan untungnya, anak-anakku mengajariku banyak hal, termasuk dalam kampanye bicara positif ini.

Dalam sebuah pelatihan komunikasi pengasuhan anak yang pernah aku ikuti, ada mendapatkan rumusan sederhana yang sering aku terapkan pada anak-anakku. Rumusnya adalah menggunakan ‘Pesan Saya’ atau ‘Mendengar Aktif’ dalam berkomunikasi dengan anak. ‘Pesan saya’ digunakan bila masalah ada di orangtua. Sedangkan ‘Mendengar Aktif’ kita gunakan bila masalah ada pada anak. Rumus ‘Pesan Saya’ dipermudah dengan kalimat seperti ini “Kalau kamu….bunda merasa….akibatnya….” Contoh ‘Pesan Saya’ aku gunakan pada kasus seperti ini: Malik sering sekali naik ke atas meja, artinya masalah ada di aku, orangtuanya, karena bagi Aik, hal itu malah menyenangkan. Jadi untuk kasus ini, aku memakai kalimat ‘Pesan Saya’ . Aku katakan pada Aik, “Aik, kalo Aik naik-naik meja, bunda khawatir Aik jatuh, nanti Aik bisa sakit kakinya.”

Sederhananya begitu, tapi kadang-kadang dalam kondisi lelah dan penat, rumusan yang bagus itu akhirnya terpotong. Alih-alih ingin mengajari anak tentang sebab akibat dan memahami perasaan orang lain, akhirnya malah menjadi ancaman dan perintah. Hal ini justru yang tampaknya sering terjadi. Untung saja kesadaran itu muncul lagi. Kesadaran untuk memperbaiki cara komunikasi diantara kami dan terutama berbicara dengan kalimat positif.

“Aik! Kalo Aik rebut mainan mbak Lala, mbak Lala marah sama Aik! Nanti nggak ada orang yang suka sama Aik!” teriak Lala suatu hari. Lala sedang marah karena mainannya direbut adiknya. Momen yang tepat, pikirku. Aku tengahi mereka dan setelah mereka tenang, aku buat kesepakatan dengan mereka. “Lala dan Aik, sekarang kita mulai bicara pake kalimat positif ya,” kataku sehabis sarapan. “Jadi kalo mbak Lala lagi marah kayak tadi, mbak Lala rubah kalimatnya, coba jadi begini : mbak Lala seneng sekali kalau Aik ngembaliin mainan mbak Lala, pasti nanti Aik disukai temen-temen kalo Aik begitu.”

Hmm… sebetulnya aku juga kebat kebit sendiri, aku saja masih kelimpungan membuat kalimat positif apalagi Lala dan Aik. Tapi ya sudahlah namanya juga usaha hehe. Lalu aku katakan juga pada mereka, “Kalo mbak Lala sama Aik denger ayah bunda bicara pake kalimat negatif, mbak Lala sama Aik tolong ingetin ayah bunda juga ya.” Aku tak berharap banyak, hanya berusaha saja, kalau hasilnya seperti dulu lagi ya sudahlah.

Tapi ternyata, tak disangka, Lala menjadi pengingat setiaku! Dan ajaibnya, dia jadi pintar merangkai kalimat positif. Sesekali memang dia lupa kalau sedang dalam kondisi marah luar biasa, dan aku pun selalu mengingatkannya. Namun obrolan selepas sarapan itu betul-betul diserapnya. Hasilnya? Malah aku yang sering ditegur oleh Lala. Kalau sedang marah, boro-boro ingat mau pakai kalimat apa, yang ada hanyalah perasaan ingin ngomel dan mencurahkan semua kekesalan di hati. Seperti hari ini, suamiku sedang summer school ke Edinburgh. Mau tak mau, semua pekerjaan rumah dan ulah anak-anak harus aku tangani sendiri. Ingatan akan 2 minggu kepergiannya saja sudah membuat hatiku tak karuan, apalagi ditambah mengurus anak-anak dan rumah sendirian. Aku jadi lebih mudah meradang.

“Aik, kalau Aik nggak mau beresin baju-baju Aik yang berantakan itu, kita nggak jadi main sekolah-sekolahan ya. Bunda mau ngetik t erus kalo Aik nggak mau beresin! ” sahutku kesal. Tiba-tiba saja Lala langsung bersuara,”Bunda, bunda itu pake kalimat negatif Bun.” Hmh…Ggrh…Oh….entah apalagi yang ada di hati dan kepalaku saat mendengar suara mungilnya, menohok hatiku. Rasanya hati ini masih ingin meluapkan segala kekesalanku, tapi mendengar teguran gadis mungilku yang lugu, oh…mana tahan. Kekesalan itu mau tak mau harus kuendapkan. Malu pada anak sendiri? Ya memang bersitan rasa malu pun muncul, normalnya keegoisan manusia barangkali. Tapi, bukankah mestinya aku bersyukur?

Ya, mestinya aku bersyukur. Ingatan tentang rasa syukur karena telah diingatkan oleh putriku sendiri membuat kalimat maaf dan perbaikan leluasa meluncur dari bibirku. “Oh,iya maafin bunda ya sayang, bunda lagi kesel. Mestinya bunda bilang gini ya, Aik, bunda seneng sekali kalo Aik mau beresin baju-baju Aik. Nanti kita bisa cepet main sekolah-sekolahan deh.” Hmm…walaupun Aik tetap saja melenggang kangkung dengan manisnya, tapi setidaknya pelajaran untuk saling mengingatkan dan memaafkan ini semoga saja masuk kedalam hatinya.

Kejadian semacam ini bukan hanya sekali dua, hampir setiap hari. Lala betul-betul menjadi kontrol yang baik buatku. Kini Lala pun selalu berusaha bicara dengan kalimat positif, dan berpikir dulu sebelum marah-marah kepada Aik. Lain halnya kalau Lala sedang lelah, mengantuk atau marah besar, semua aturan itu lenyap begitu saja dari pikirannya, sama saja lah seperti bunda tadi hehe. Dan Malik, tampaknya juga menyerap semuanya dan ingin seperti Lala, tapi dia belum bisa membedakan mana kalimat positif dan mana negatif. “Aik pasti kelereng-kelereng itu akan senang sekali kalo dikumpulin lagi sama Aik, nanti mereka nggak kedinginan diluar,” ujarku mencoba memintanya membereskan mainan. Tapi tiba-tiba wajah Aik langsung nyureng dan berujar,”Bunda itu pake kalimat negatif! Bunda harus pake kalimat positif bun!” Katanya dengan percaya diri, padahal salah hehe.

Anak-anak memang kadang mencengangkan, aku betul-betul terbantu dan banyak sekali belajar dari mereka. Semoga saja usaha kami kali ini berhasil. Hanya saja, jangan berharap aku bisa sukses memakai kalimat positif ini kala sedang ngambek dengan suamiku. Dia kadang protes, “Ke anak-anak bisa kampanye kalimat positif, lha koq sama aku ndak bisa.” Hmm… kalau ini sih lain soal, “sama siapa lagi aku bisa begitu kalau bukan sama ayah, kan merajuk hehe, nggak seru lagi dong yah kalo kita baekan terus hi hi, asal anak-anak nggak denger aja.” Begitu alasanku kepada suamiku. Kepadanya, aku memang bisa ngeles, malas memakai kalimat positif dengan alasan merajuk, tapi kepada anak-anak? Ah, siapa yang mampu melawan keluguan dari suara dan wajah-wajah mungil mereka. Merekalah malaikat-malaikat kecilku, yang datang dari surga untuk mengajari aku.

13 Replies to “Kampanye Bicara Kalimat Positif”

  1. Istriku sayang, ini adalah bacaan paling indah pagi ini. Sebelum aku mulai masuk kelas, kulahap habis sarapan pagi yang lezat darimu ini. Aku kini merasa lebih tenang belajar, karena engkau dukung dengan perjuangan luar biasa mendidik anak.

    I love you,

    Ayah@Edinburgh

  2. Mba Agnes….thanks a bunch ya atas tulisannya..
    Lagi2..menambah ide2 saya dalam mendidik anak
    Insya Allah akan daku terapkan

    Salam dari jakarta
    Ara

  3. Ass. bunda.. lagi ditinggal ayah yah? Wah lama sekali yah 2 minggu. Aku ditinggal suami seminggu aja selalu menghitung hari..”tinggal berapa hari lagi yah sendirian”.. gitu.. :). Padahal malah bikin semakin lama yah.
    Tulisannya bagus, Teh. Kadang dalam keseharian memang susah untuk mengontrol diri, apalagi kalo lagi marah dan capek. Udah bagus nggak pernah mukul atau cubit, bisa2 dianggap abusement yah.
    Lala & Malik udah kangen ayah yah.. Lucu yah suratnya. Anak2 memang selalu lucu dan mengesankan. Nadya kalo ditinggal papahnya selalu ngeluh ‘aku miss papah’, padahal kalo udah kumpul sering ribut juga.
    Lala lagi suka Wink yah? Nadya baru aku kenalin, gara2 lihat sepatu temannya ada gambar Wink dan warnanya pink, terus aku cari di internet.. Wink itu apa sih?
    Met wiken yah.

  4. Beste Agnes,

    Seneng sekali baca tulisan2nya, terutama ttg pendidikan anak.
    Aku juga tinggal di Belanda, tepatnya di Zwolle (kampungnya suamiku). Selama hampir 3 thn di sini, aku masih aja semedi di rumah, anakku baru satu, usianya belum genap 2thn. Kalo mo kerja jadi dokter, aku hrs kuliah lagi selama 3 thn krn ijazah dari Indonesia hanya disamakan dg 3 thn pendidikan kedokteran Belanda (aku alumni FKUNAIR-89). Tempat studinya boleh pilih di Utrecht, Amsterdam atau Groningen… semuanya jauh dari Zwolle. Biaya studi, transportasi, buku, dll hrs ditanggung sendiri.. wah..jadi mahal bgt… belom lagi anakku juga hrs dititipkan di kinderopvang selama aku kuliah (ini ngga kalah mahal sama biaya studi). Setelah menimbang2, aku memutuskan utk jadi IRT aja dulu sambil mempelajari sisi lain dari kehidupanku.. belajar masak, ndidik anak, ngatur rumah, sekolah bhs Belanda serta mempelajari budaya dan natur di sini (flora-faunanya). Rasa jenuh dan bosan sesekali mampir… tapi alhamdulillah selalu berhasil aku usir, salah satunya ya surf internet dan baca2 tulisan seperti di blog-nya Agnes ini. Nanti kalo anakku udah masuk peuterspeelzaal, mungkin aku bisa melakukan kegiatan yg lain di luar rumah.
    Terimakasih banyak utk sharing ttg pendidikan anak yg sangat bermanfaat. Aku tunggu episode berikutnya.
    Kalo pas main ke Zwolle, mampir ke rumahku ya…

    Groetjes uit Zwolle,
    Emi

  5. Dear mbak Emi, salam kenal ya mbak…

    Wah senengnya ada temen senasib :-). Padahal beberapa minggu yll aku ke Zwolle mbak ngurus verblijf, pas lg ada anbeiding murah2 bgt ya di centrumnya wah jd ketagihan hehe, ntar kalo kesana lg insya Allah aku kontak mbak Emi deh, jd pgn ngobrol banyak nih. Oh, aku baru tau kalo ternyata biaya lanjutin sekolah kedokteran harus ditanggung sendiri ya mbak, wah nggak kuat, pasti mahal banget dong ya. Oke mbak, pasti mbak Emi bisa berbuat lebih yg lebih banyak deh ya kalo si kecil udah sekolah, ditunggu mbak :-)

    Makasih lo mbak udah mampir ke blog aku, seneng baca sharingnya, ada temen nih daku :-)

  6. Teteh,

    Pulang cuti, banyak kerjaan .. udah rampung ..begitu buka blog Alhamdulillah ada artikel yang langsung nohok hatiku, aku jadi bertanya-tanya apa aku masih mempraktekkan PS & MA di rumah ya ???? he..he… yang jelas jatuh bangun deh kayaknya…. Insya Allah artikel ini membuat aku mau menata ulang niat dan tekadku dalam berkomunikasi dengan anak-anak dirumah. Teteh hatur nuhun…. I miss you so much and selamat berkampanye ya…. semoga menjadi pemenang and kita saling mendo’a kan ya….

    salam sono ti Balikpapan
    ita

    Note : oleh-oleh artikel selama liburan engke ita japri ke email aja ya…

Comments are closed.