“Read a lot, listen a lot, and write a lot,” tips penting dari Natalie Goldberg dalam bukunya ‘ Writing Down the Bones’ itu kucatat dan kurekam baik-baik dalam memoriku.Seorang yang ingin menulis atau menjadi penulis, tidak bisa menganggap sepele ‘listen a lot,’ with all of your body. Sering kita ngobrol ngalor ngidul dengan siapapun atau jalan-jalan ke suatu tempat, tapi kalau kita tak berusaha mendengar dengan seluruh indra kita, banyak hal yang kemudian terabaikan dan terlupa.
Sejak ingat tips itu, aku lalu merenung-renung, apakah aku selama ini sudah melakukannya? Kadang ya kadang tidak, aku sadar, aku harus lebih mengasahnya lagi. Namun soal ‘listen a lot’, aku rasa, sejak aku mulai tertarik dengan dunia tulis menulis, tanpa sadar, ketika ada hal-hal menarik untuk dicatat, otakku sudah langsung ingin merekamnya baik-baik. Kalau aku beruntung, aku akan mencatatnya dalam diariku, lalu hal menarik itu akan menjadi sebuah tulisan, namun kalau tidak tercatat, kejadian menarik itu lalu hanya tinggal kenangan. Herannya, kalau kejadian itu sungguh menarik, kadang meski aku malas mencatat, ada dorongan yang menarik-narikku untuk menulisnya. Meski waktu terus berjalan ditelan kesibukan, beberapa bulan kemudian dorongan itu tiba-tiba muncul lagi. Aku kemudian sangat ingin menuliskannya, merecall semua memory tentangnya dan akhirnya jadilah sebuah tulisan. Aneh memang, tapi itulah yang terjadi barangkali, ketika kita sudah meniatkan dan ‘mengajak’ tubuh kita untuk ‘listen a lot’.
Kemarin, saat di perjalanan pulang dari Zootermer ke Diemen, kawan baikku yang seorang perawat dengan senang hati mengantarkan aku pulang. Sepanjang jalan kami ngobrol banyak hal. Aku lalu bertanya di mana dia bekerja.”Aku kerja di RS St. Lucas, di bagian anak,” Jawabnya. Tiba-tiba saja barisan kata-kata Natalie Goldberg soal ‘listen a lot’ langsung muncul di kepalaku. Seperti seorang bos menyuruh sekretarisnya untuk mencatat, otakku seperti berkata padaku,”Ayo, dengarkan dan catat baik-baik!” Dan inilah hasil ‘Listen a lot’ ku kemarin dengan kawan perawatku itu.
Sejak punya anak, aku sangat concern pada dunia anak-anak. Herannya, kehidupanku di Belanda pun membuat aku bertemu dengan beberapa wanita hebat yang urusannya tak jauh dari seputar anak. Mereka telah menginspirasi aku, mengobarkan semangatku sehingga mimpi-mimpiku yang semula sudah kukubur dalam-dalam kembali bangkit. Karena itu lah pendengaranku menjadi lebih sensitif ketika seseorang menyebut tentang permasalahan seputar anak. Mungkin itu pula sebabnya, saat temanku itu bilang bahwa ia bekerja di bagian anak, aku jadi langsung alert.
Alhamdulillah, anak-anakku belum pernah punya pengalaman dirawat inap di rumah sakit di Belanda, jadi aku tak memiliki gambaran seperti apa perawatan bagi anak-anak sakit di Belanda. Yang kutahu, dulu ketika kaki putriku masuk ke jari-jari sepeda dan perlu di gips, dokter dan perawatnya sangat ramah padanya. Sebelum di gips, perawat menjelaskan padanya apa saja yang akan dilakukan dokter pada kakinya. Lalu, setelah di gips dan pulang, ia boleh memilih hadiah, hadiahnya saat itu adalah boneka rusa yang lucu. Dan setelah perawatan selesai, lalu gips dicopot, anakku pun mendapat diploma gips! Wah tentu saja dia senang bukan kepalang. Oya, saat hendak digips, putriku juga boleh memilih warna gipsnya, ada merah, putih, biru, hijau, sayangnya waktu itu tidak ada pink, jadi putriku pilih warna merah.
Begitu juga saat anak bungsuku (4 tahun usianya kala itu) tangannya kejepit pintu. Sebelum di rontgen, dia boleh memilih sticker dan kertas mewarnai. Setelah selesai di perban (karena alhamdulillah ga ada yang patah), dia boleh memilih hadiah boneka lucu juga. Pokoknya pulang dari rumah sakit, anak-anakku bahagia banget karena mendapat hadiah dari rumah sakit.
Tapi ternyata itu belum seberapa, karena menurut kawanku yang perawat tadi, anak-anak yang di rawat berhari-hari biasanya setelah dirawat bahkan tak mau pulang ke rumah! Haa? Koq bisa? “Ya gimana enggak, wong di rumah sakit semua mainan disediain. Ada Wii, ada play stasion, game komputer, TV dan bahkan setiap setelah mendapat tindakan mereka dapat satu hadiah. Setelah di ambil darah dapat hadiah, setelah dilakukan sonde, diinfus, diambil darah lagi, ya dapat hadiah lagi. Jadi pulang dari rumah sakit, anak-anak itu bisa membawa sekarung hadiah!” Wow! Cuma kata itu yang bisa keluar dari mulutku.
Anak-anak yang sakit itu sangat dimanusiakan. Di setiap ruang kamar bahkan ada 2 orang pedagogish werker (ahli pedagogi) yang khusus menangani masalah psikologis anak. Sebelum di infus misalnya, si pedagogis ini akan memberikan gambar-gambar dan penjelasan pada si anak apa saja yang akan dilakukan dokter nanti padanya.”Kamu akan diinfus. Nanti jarum dan selang ini akan dimasukkan ke tubuhmu, supaya kamu ga dehidrasi. Itu memang sakit, tapi hanya sebentar, tapi tubuh kamu memerlukannya,” begitu kira-kira penjelasan sang ahli pedagogi.
Jadi, anak sama sekali tidak dibohongi. Karena memang disuntik sakit ya akan dibilang sakit. Anak-anak pun pastinya takut ada yang menangis, tapi itu bukan alasan untuk lantas boleh membohongi mereka. Akan lebih menyakitkan bagi mereka bila mereka dibohongi. Jadi mereka tetap diberi penjelasan sebelum dilakukan tindakan. “Dari umur berapa Mba, anak-anak itu diberi penjelasan?” tanyaku penasaran. “Ya sejak mereka bisa ngomong,” jawab si Mba. “Kalau anaknya masih bayi, orangtuanya yang dipanggil dan diberi penjelasan.”
Oya, disini perawat tidak boleh pasang infus, pasang infus adalah pekerjaan dokter. “Di Belanda itu pekerjaan perawat dan dokter lebih jelas, kalau di Indonesia dulu, menurutku ga terlalu jelas pembagiannya,” jelas temanku. Asyiknya lagi, orangtua-orangtua ini diberi pilihan, mau melihat anaknya saat diinfus atau tidak. Dan dokter yang menginfus hanya boleh diberi kesempatan dua kali. Setelah dua kali gagal, harus dokter lain atau supervisornya yang menggantikannya, kasihan kan kalau anak ditusuk-tusuk dan gagal terus.
Hmm…mendengarnya, aku langsung teringat rumah sakit-rumah sakit di Indonesia. Aku dengar, sekarang sudah ada rumah sakit-rumah sakit swasta yang memberikan pelayanan oke, meski bayarnya selangit, dan tentu saja hanya anak-anak kalangan ‘the have’ yang bisa merasakannya. Sementara disini, semua anak mendapatkan perlakuan yang sama, karena setiap warga memang wajib ikut asuransi kesehatan. Jadi kuncinya memang ada di asuransi kesehatan. Tapi kalau ngomongin asuransi kesehatan di Indonesia, kepalaku jadi senut-senut. Aku lebih baik bermimpi, agar suatu saat anak-anak yang sakit di Indonesia juga bisa mendapatkan perlakuan yang layak dari orang dewasa di sekitarnya.
Pesan dari ‘Listen a lot’ ku hari itu memang singkat, tapi membuat semangatku menguat untuk mengejar mimpi-mimpiku. ‘Listen a lot’ dan tetaplah bermimpi, itu lah pelajaran besar bagiku dari obrolanku dengan temanku hari itu. “Bermimpilah karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu,” kata Aray dalam buku Sang Pemimpi. Dan semoga Tuhan berkenan memeluk mimpi-mimpiku.