Resep Siomay Bandung

Resep siomay ini aku dapat dari kursus juga waktu di Bandung. Ya sama deh, karena aku gemar sekale sama yang namanya siomay, dan mie baso, jadi ya dibela-belain kursus dah. Rasanya mmm…lumayan lah. Kata yang sudah pernah makan sih enak. Tapi jelas tak seenak yang di Bandung lah ya… Oya kalau bikinnya banyak, lalu dimasukkan freezer, diangetinnya sebaiknya dikukus. Soalnya kalau pakai microwave, rasanya jadi berubah. Tetep enak sih, tapi… berkurang 25 % kali yaa :-) Selamat mencoba…Ini dia resepnya :

Continue reading “Resep Siomay Bandung”

Alamat site teman-teman

http://familiedyka.blogsome.com

http://www.harunyahya.com/indo/m_buku.htm

http://arabesq.com/educate/monthly.html
Selain itu ada juga situs semacam directory dunia islam:http/www.islamfortoday.com

http://dll.coretmoret.web.id/node/135 http://dll.coretmoret.web.id/node/143 modul 2

http://www.syariahonline.com/konsultasi/?act=view&id=6320 ttg KB dlm Islam

http://arifianto.blogspot.com/2004/10/mukaddimah.html, dr Apin, milis sehat

http://www.iqra.org/school/school.html sekolah Islam di Amrik, kurikulum oke

http://www.bundalief.info./home.php sitenya Ita

Rebutan lagi…rebutan lagi…

Rebutan.jpg
Demi keadilan aku rela :-)

Berebut mainan? Rasanya semua anak pasti pernah melakukannya, apalagi kakak beradik yang usianya tak terpaut jauh. Malik dan Lala? Hmm…tentu saja iya, berebut barang sudah menjadi makanan mereka sehari-hari. Bagusnya, mereka jadi belajar berbagi, dan belajar mengendalikan ego masing-masing. Kabarnya masa egosentris yang menjadi ciri anak balita ini, bila tak tertangani dengan baik bisa bahaya akibatnya. Biasanya, orangtua jaman dulu sering mengorbankan anak pertama supaya mengalah kan. Alhasil, kakak jadi pengalah, dan si adik jadi semau gue. Duh, kami sungguh tak mau begitu. Kalau begitu, si kakak jadi terdzolimi kan.

Selama ini aku dan suamiku mengatasi masalah ini dengan membuat kesepakatan tentang kepemilikan barang. Warna pink untuk Lala dan warna biru untuk Malik. Selain itu kami juga selalu mengatakan bahwa Lala perempuan dan Malik laki-laki. Jadi mainan berbau perempuan ya untuk Lala, dan laki-laki untuk Malik. Tapi, selalu saja ada barang lain yang menjadi bahan rebutan. Jadi, tak heran kalau tiada hari tanpa berebut.

Dulu, kami selalu turun tangan membantu kalau mereka sedang berseteru. Tapi sekarang, mereka kami dorong untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri. Biasanya mereka main pingsut, siapa yang menang dia yang duluan pegang mainan itu. Setelah hitungan ke-10, 20 atau 100 sesuai kesepakatan, barulah yang kalah mendapat kesempatan. Kadang berhasil, kadang tetap saja kami harus membantu melerai. Suka duka jadi orangtua deh kalau sudah begini :-) Pusing hehe. Tapi satu hal yang membuat kami yakin, masa ini akan terlewati dengan baik bila kami tetap konsisten. Tapi…kapan ya? Malam ini, lagi-lagi mereka ribut.

“Hua…hua… Aik mau boneka itu, kalo enggak, Aik mau nangis terus, huaa…huaa!”

Duh, tangis Aik keras sekali, padahal ini sudah jam tidur. Perkaranya, apalagi kalau bukan rebutan mainan dengan Lala. Lala punya boneka Eiffel, oleh-oleh dari Paris. Waktu itu kesepakatannya, Malik dapat puzzle Eiffel dan Lala dapat boneka Eiffel. Ternyata… namanya anak-anak, tetap saja rebutan. Lala mau boneka itu dia peluk menjelang tidur. Malik menangis keras lantaran ia pun ingin memeluknya sebelum tidur.

“Itu kan bonekanya mbak Lala Ik, Aik pegang boneka lain aja ya”

“Enggak! Aik mau yang itu huaa…huaa…” Begitulah Aik, memang sedang masanya tak bisa dilarang atau ditolak. Aku berusaha menenangkannya, meneguhkan perasaannya. Biar saja Aik menangis, supaya dia belajar bahwa tak semua yang diinginkan bisa terkabul saat itu juga. Tapi karena Lala kasihan melihat adiknya menangis terus barangkali, tiba-tiba Lala jadi berbaik hati.

“Bunda, Ik heb good idea (aku punya ide bagus)” katanya sambil bisik-bisik ditelinga bunda.

“Bonekanya dikasih pinjem aja ke Aik sampe Aiknya tidur ya bun, kalo Aiknya udah tidur diambil lagi sama mbak Lala”

“Waduh…mbak Lala baik sekali mau berbagi” sahut bunda surprise. Dan, Aik tentu saja langsung mesam-mesem berhenti menangis.

“Aik, Aik boleh pinjem sampe hondred, tachtig ya (100, 80 hitungan maksudnya) Tapi pinjem ya, ini punya mbak Lala ya, Aik pinjem ” ujar Lala menegaskan.

“Pinjemnya sampe Aik bobo ya mbak Lala, mbak Lala baik sekali”

“Iya bun” Lala menjawab singkat lalu meringkuk dalam selimutnya.

“Aik bilang apa sama mbak Lala?”

“Bedankt (trimakasih)” kata Aik sambil senyum-senyum

Fffhuuihh…lega… akur dah, aku takjub juga dengan kebaikan hati Lala :-). Semenit, dua menit, lima menit berlalu, Aik senang sekali memeluk boneka milik kakaknya. Tapi tiba-tiba…koq ada suara hiks…hiks… Oo.. ternyata ada yang tidak ikhlas hehe.

“Mbak Lala nggak bisa bobo kalo nggak peluk boneka hu…hu…hu…”

“Kalo gitu Lala peluk boneka lain aja ya, Aiknya belum tidur mbak”

“Hua…nggak mau, itu kan bonekanya Lala huaa…Aik harus kembaliin huaa…”

Duorr! Pecah lagi deh kamar. Ribut. Rebutan lagi.

Akhirnya karena sudah larut malam, ayah terpaksa turun tangan. Diambil jalan tengah, “bunda yang pegang bonekanya ditengah, Aik pegang dari kanan dan mbak Lala dari kiri, oke.”

“Huaa.. tapi itu kan bonekanya mbak Lala…huaa…”

“Iya La, adeknya pengen pegang sedikit boleh kan La, Lala pegang yang banyak oke”

Horee berhasil! Tapi dalam hati aku geli sendiri. Lucu melihat Malik memegang ujung boneka dengan tangannya. Lala pun memegang dari arah yang lain. Dan bunda? “Bunda harus pegang yang putihnya” kata Aik.

Oke deh… Jadilah 3 tangan memegangi satu boneka sambil tidur he he. Dasar anak-anak…ada-ada saja…Dan akhirnya mereka pun tertidur…Zzz…zzz…

Yang Tak Hilang dari Perjalanan

Ber3-di-metro.jpg
Di dalam metro

Kami baru turun dari metro di Noisy Champ ketika tiba-tiba seorang anak lelaki negro tersandung dan terjatuh di depan kereta dorong Malik. Kejadian itu begitu cepat dan tentu saja anak-anakku menyaksikan semuanya. Bapak anak berkulit legam itu tiba-tiba datang. Tanpa ba bi bu ia langsung menampar dan menyeret anak itu. Tarikannya teramat kasar diikuti dengan teriakan marah pula. Aku terkesiap. Ada yang tergores di dada ini melihat wajah kesakitan anak itu. Kemarahannya seperti si anak habis mencuri saja, padahal semua tak sengaja. Malik dan Lala hanya bisa melongo, begitu juga aku. Tapi aku tak bisa membiarkan kejadian ini terekam begitu saja di kepala anak-anakku. Continue reading “Yang Tak Hilang dari Perjalanan”