Suatu survey pernah dilakukan di Amerika, tentang ‘sepuluh hal yang paling ditakuti orang’ dan ternyata, berbicara di depan umum menduduki tempat paling tinggi bahkan mengalahkan ketakutan karena kematian dan financial problem, wow! Entah benar atau tidak survey ini tapi yang jelas, semua orang pasti pernah merasakan betapa nervous nya ketika harus bicara di depan publik termasuk diriku tentu saja. Alah bisa karena biasa, dan kalau sudah terbiasa tentu lama-lama si nervous bisa hilang dengan sendirinya.
Beberapa hari lalu, mau tak mau setiap orang di kelas ku harus melakukan presentasi tentang United Nations. Dan setelah beberapa temanku presentasi, mereka kerap tanya padaku,”Gimana presentasiku tadi, aku keliatan nervous ga? Tanganku gemeteran ga waktu aku nunjuk pointer?” Wah kupikir teman-temanku udah pada jago-jago dan terbiasa presentasi, tapi ternyata enggak juga. Hampir semua orang tetap mengalami kenervousan itu ternyata. Untungnya saat itu aku cukup calm dan ga merasa nervous, mungkin karena presentasinya ga dinilai dan ini kali kedua aku melakukan presentasi dalam bahasa Inggris. “Presentasi kamu oke koq, kamu bicara dangan pelan dan jelas, kamu keliatan calm and stable,” kata Amna temanku asal Pakistan. Wah syukurlah kalau begitu. Meskipun ini Cuma presentasi ecek-ecek yang ga dinilai, dan persiapanku ga begitu bagus, tapi menambah daftar pengalaman seperti ini tentu akan membuat aku bisa tampil lebih baik kalau lain kali harus presentasi lagi, hopefully. Aku rasa kuncinya memang ada di persiapan dan take your time saat bicara (ga usah buru-buru).
Waktu di Diemen beberapa bulan lalu, aku pernah ikut kelas drama, buat iseng-iseng aja sambil melancarkan bahasa Inggrisku, dan ternyata kelas drama itu cukup membantuku untuk menghilangkan kenervousan. Waktu ikut kelas drama itu aku sempat diminta baca puisi dan melakukan monolog di depan teman-teman yang rata-rata orang Eropa. Pas pertama kali tampil membawakan monolog aku grogi setengah mati, keliatan banget betapa nervousnya aku. Tapi setelah itu aku cukup terbiasa. Salah seorang guruku, seorang artis asal Prancis bernama Vincent memberikan beberapa tips berharga,”Anggap aja kamu cuma bicara pada satu orang, dan ga usah kamu pikir apa tanggapan mereka karena sebetulnya mereka ga akan melihat kenervousan kamu koq kalau kamu siap. Dan yang paling penting juga, take your time! Bicara jelas dan ga cepat-cepat.” Kira-kira begitu percakapan kami di kereta waktu itu.
Dan salah satu hal yang aku suka dalam course ku kali ini adalah memerhatikan bagaimana para dosen-dosenku presentasi dan bicara di depan kami murid-muridnya, juga memerhatikan teman-temanku presentasi tentu saja. Karena sebetulnya salah satu tujuan master ini diharapkan setelah lulus kami bisa presentasi dan menyampaikan message seputar kesehatan dengan baik. Kami memang pernah mendapatkan kuliah presentasi selama satu hari full, tapi menurutku si dosennya malah kurang bisa presentasi di banding dosen-dosen yang lain.
Sampai sejauh ini, dosen favoritku dan favorit kelas kami adalah dokter August Sticht, yang kemarin memberikan presentasi soal ‘Sleeping Sickness’ atau Human African Trypanomiasis akibat Trypanosoma brucei. Saking terpesonanya kami dengan presentasinya, di akhir presentasi beliau yang hampir 3 jam kami semua bertepuk tangan lamaaa sekali dan teman-teman lalu sepakat memberinya predikat ‘Oustanding’ presentation.
Bagaimanakah cara beliau presentasi? Sebetulnya kalau dari pembawaan, aku lebih suka dengan dokter Yap, dokter asal Philipine yang begitu energetik dan penuh semangat saat memberikan presentasi. Presentasi Dokter Yap yang bermata sipit dan berperawakan gemuk ini mengigatkan aku pada ibu Elly Risman, mereka sama-sama bisa membuai pendengar sehingga mata tetap terbuka dan terpesona dengan uraiannya. Mengapa presentasi dokter Yap menarik? Kuncinya ada di intonasi dan cerita. Dokter Yap berbicara penuh semangat, memberikan intonasi di tiap kata penting dan menceritakan cerita-cerita lucu dan menarik. Bahasa tubuhnya pun selalu bergerak dengan tepat. Dia tau kapan harus mengangkat tangan, kapan harus berjalan, kapan harus menunjuk dan lain sebagainya.
Dari beberapa tips presentasi yang kulihat di youtube, kadang orang bingung, kalau lagi presentasi dimana sih kita harus meletakkan tangan kita. Dan setelah memerhatikan teman-teman dan para dosen, kadang ada yang melipat kedua tangan di dada, masukin tangan ke kantong celana, atau melakukan gerakan yang sama itu-itu aja. Dan menurut tips presentasi yang baik sebetulnya hal ini sebaiknya dihindari. Posisi yang baik adalah misalnya berada di belakang podium, berdiri relaks dan tangan di atas meja dan sekali-kali bergerak sesuai kebutuhan, jangan over gerak juga. Kalau lebih berani lagi, berjalan keluar dari podium akan jauh lebih baik. Tapi bukan berarti jalan bolak balik ya. Intinya posisi relax tangan digerakkan sesuai kebutuhan, dan berjalan pun harus ada tujuan.
Outstanding Presentation
Kembali ke dokter ‘Sleeping sickness’ yang berhasil membuat kami tidak tidur, pembawaan presentasi beliau sebetulnya biasa saja. Maksudku, biasa untuk ukuran yang baik tentu saja. Body language dan intonasi suara oke, tapi tidak sebaik dokter Yap. Namun yang membuat out standing adalah cara dia membawakan presentasinya dengan slide-slide dan cerita-cerita sejarah dan pengalaman beliau yang memesona kami semua.
Biasanya, kuliah klasik dari dosen-dosen selalu dimulai dengan pembahasan soal apa itu penyakit X, apa penyebabnya, bagaimana distribusinya di dunia, berapa angka kematiannya, apa gejalanya, bagaimana mendiagnosanya, bagaimana therapinya, bagaimana mencegah dan mengontrol penyakit tersebut. Titik, selesai dan boring. Tapi dokter Sticht sungguh berbeda, mungkin karena di tambah pengalamannya yang kaya karena sebagai dokter MSF di masa silam, beliau betul-betul terjun langsung ke Angola Afrika tempat penyakit sleeping sickness mostly berada.
Kuliahnya dimulai dengan penayangan foto-foto anak-anak maupun orang dewasa berkulit gelap di Afrika yang dibopong dengan tandu atau dying akibat penyakit Sleeping Sickness. Lalu di depan layar monitor muncul kata-kata kira-kira begini,”Penyakit ini seolah hanya milik masa lalu, padahal penyakit ini masih menjadi problem di masa kini dan menjadi salah satu penyakit yang terabaikan, tak dipedulikan oleh dunia.”
Lalu setelah menunjukaan foto-foto sejarah sleeping sickness dari betul-betul gambar hitam putih dan script-script buku kuno, dokter Sticht mulai bercerita kenapa beliau bisa terjun mendalami penyakit ini.
“Dulu, ketika saya baru lulus jadi dokter dan sedang jaga di sebuah klinik di Jerman, tiba-tiba datang pada saya seorang pasien, pendeta misionaris berumur 73 tahun. Sang pendeta di evakuasi dari Congo Afrika, mengalami demam naik turun sejak 3 minggu dan kondisi sangat lemah. Biasanya setiap orang yang pulang dari Afrika lalu demam naik turun, rata-rata dokter curiganya ke penyakit malaria. Tapi dari hasil pemeriksaan darah didapatkan nilai haemoglobin 9,1 g/dl, platelets 27.000/miuliter, sedikit gangguan hati dan fungsi ginjal, urine normal namun yang mengherankan, pemeriksaan darah untuk malaria hasilnya negatif! Sang dokter pun kebingungan, lalu mencoba konsul ke boss nya. Sang bos yang tentu saja lebih berpengalaman langsung bilang,“Coba lakukan pemeriksaan fisik dan lihat apakah ada luka-luka, eskar atau tanda-tanda lain di kulitnya.“
Dan betul saja setelah dilakukan pemeriksaan fisik, dokter Sticht menemukan sebuah penampakan yang tak biasa di area lutut pak pendeta. Sebuah luka kehitaman dengan tanda-tanda peradangan berwarna merah di sekitar area kehitaman tampak terlihat dalam slide yang dipertontonkan pada kami.
„Apakah ini? Eschar untuk penyakit Ricketsia?“ tanya dokter Sticht. Dan apa pula ini? Tanyanya sambil menayangkan gambar kulit dengan luka akibat chronic ulcer, erythema migrans, kronik lepra, staphilococus pyoderma dan lain-lain. Setelah ‚berjalan-jalan‘ melihat gambar-gambar kemungkinan diagnosa banding penyakit tersebut, baru beliau kemudian melanjutkan ceritanya. „Ternyata luka si pendeta adalah ‚Tryphanomosal chancre‘ tanda stadium pertama yang bisa kita lihat dari penyakit Sleeping sickness! Dari pemeriksaan fisik dan penemuan ‚chancre‘ ini si bos saya segera menyelamatkan nyawa pak pendeta dengan memberinya antiparasit ‘Eflornithine‘ untuk penyakit ini. Itulah pertama kali saya mengenal dan jatuh cinta pada penyakit ini,“ begitu kata pak dokter.
Wow, kami semua terpesona dibuatnya. Beliau mengenalkan penyakit itu sungguh dengan cara yang tidak biasa. Dibawanya dulu kami pada cerita real, gejalanya lalu pada diagnosa bandingnya, dan penampakan gambar diagnosa sebenarnya, baru akhirnya ketahuan penyakitnya. Tapi itu semua membuat kami tak pernah lupa dan sungguh menempel di kepala.
Paparan selanjutnya tak kalah menarik. Sebelum melangkah melanjutkan penjelasan tentang gejala kronik penyakit Sleeping sleepness misalnya, dokter Sticht menceritakan pengalamannya dan menunjukkan foto seorang wanita yang sedang di test untuk menggambar segi lima, tapi dia malah menggambar garis lurus. Dia pun menunjukkan wajah penderita yang apatis dan menceritakan bagaimana perubahan perilaku wanita ini. Menurut pak dokter, si wanita bahkan bertelanjang ria kemana-mana dan melacurkan dirinya kepada siapa saja, karena penyakit itu telah mengenai sistem syarafnya dan membuatnya mengalami mental apraxia, yang membuatnya menjadi bertingkah laku aneh.
Saat menjelaskan tentang diagnosa, beliau juga memaparkan foto-foto petugas kesehatan sedang menancapkan jarum, melakukan biopsi pada kelenjar limph di bagian atas leher, karena salah satu gejala penyakit ini memang pembesaran kelenjar lymph di post triangle of the neck. Ada juga foto-foto bagaimana team kesehatan di Angola melakukan pemeriksaan darah lalu memperlihatkan jejeran mikroskop-mikroskop tua dan betapa berdedikasinya orang-orang yang dibayar dengan sangat rendah untuk membantu orang-orang di sekitarnya itu. Foto si mahkhluk Trypanosoma yang bergerak-gerak di slide mikroskop juga diperlihatkan.
Bahkan untuk menampilkan terapi pun dokter Sticht mencoba menyuguhkannya dengan berbeda. Beliau menyajikan proses perjalanan bagaimana obat sleeping sickness ditemukan sejak pertama hingga obat apa yang dipakai di masa kini. Foto hitam putih jadul Robert Koch (penemu bakteri Tuberkulosis) saat sedang di Afrika yang juga turut menemukan obat penyakit sleeping sickness bersama asistennya, dokter Paul Erlich (peraih nobel tahun 1908) yang menemukan antibiotik Slavarsan, obat syphilis pertama kali tampak menghiasi layar di depan kami. Lalu saat menunjukkan disadvantages obat Melarsoprol misalnya, ada gambar anak Afrika sedang menangis berurai air mata dengan gigi-gigi meringis kesakitan saat disuntik obat ini. Si obat dalam botol kecil dengan tulisan nama obatnya juga terpampang dalam layar, jadi bukan hanya sekedar penyajian daftar obat yang membosankan. Dokter Sticht juga menyajikan bagaimana dampaknya ketika obat sleeping sickness sempat tidak ada di pasaran tahun 2000. Di depan mata kami tampak majalah-majalah terkenal dengan wajah-wajah artis cantik dan ada tertulis ‘Vaniqa’. Jadi saat obat-obat itu tak ada lagi di pasaran, saat orang-orang di Angola kian menderita, sementara obat itu di Amerika oleh wanita-wanita kaya dipakai untuk menghambat pertumbuhan rambut di wajah sebagai obat kosmetik ‘Vaniqa’ yang mengandung Eflornithine 13,9 %. Betapa kontradiktifnya. Barulah setahun kemudian setelah diprotes, WHO mengadakan lagi obat tersebut, menunjukan betapa terabaikannya penyakit ini.
Tak lupa pula sang dokter menampilkan foto-foto sulitnya perjalanan menembus medan Angola yang becek, jalanan jelek yang membuat distribusi obat sungguh sulit. Yang tak kalah menarik, saat menjelaskan bagaimana mengontrol penyakit, beliau pun menyuguhkan cerita dan foto-foto bagaimana si lalat tsetse, vektor penyakit ini, yang suka pada warna biru dijerat dengan kain berwarna biru. Bahkan ada foto dimana seorang biarawati mengajari ibu-ibu di Angola menjahit kain biru penjerat lalat tsetse, menarik sekali!
Intinya, kami seperti dibawa menuju perjalanan sesungguhnya untuk melawan penyakit sleeping sickness di Angola. Apa penyakit ini, bagaimana gejalanya, apa vektor penyebabnya, bagaimana mendiagnosanya dan bagaimana terapi dan kontrolnya semua dibungkus dalam cerita dan foto-foto nyata yang membuat kami merasa berada disana dan merasakan sendiri betapa bahayanya penyakit ini dan betapa penyakit ini memang terabaikan dan butuh perhatian. Jadi dengan cara penyajian beliau yang sedemikian rupa itu tak heran kalau kami lalu memberikan applaus yang begitu heboh dan memberikan predikat out standing presentation padanya.
Presentasi yang baik adalah…..
Selain dokter Yap dan dokter Sticht aku juga suka pada dokter Weinke, dosen yang memberikan kuliah soal Chagas diseases. Bahasa Inggrisnya sungguh jelas dan bagus, dan beliau menerangkan dengan sangat sistematis dibumbui dengan foto-foto kasus yang menarik. Dokter Wichman yang memberikan kuliah soal penyakit Rabies dan Demam berdarah selalu menjelaskan message dari setiap slide, membuatku paham apa yang penting dari sebuah slide. Selain itu dia juga menjelaskan dengan sangat praktis step by step yang harus dilakukan untuk pasien Rabies. Dokter Schurrmann yang memberi kuliah soal HIV dan Aids juga asyik. Gaya bicaranya yang selalu memberikan intonasi di setiap masalah penting, naik turun dan perumpamaan yang dia buat saat menjelaskan antibodi dengan perumpaan mercedes benz membuat penjelasan yang rumit jadi mudah di mengerti.
Yang paling tidak menarik adalah dosen asal Indonesia (duh maaf nih jujur) yang memberikan materi singkat soal kondisi gizi di Indonesia, masalahnya bukan apa-apa bahasa Inggris beliau sungguh parah,karena beliau memang lebih bisa ngomong bahasa Jerman. Temenku Emiliano asal Argentina malah bilang ‘tanpa bermaksud jahat tapi dosen dari Indonesia dan dosen epidemiologi sebetulnya sangat tidak menarik dan bisa dicarikan yang lebih baik,” kira-kira begitu. Satu lagi yang parah juga adalah dosen epidemiologi, dosen muda dari School of Public Health Berlin. Yang membuat presentasinya boring dan mengantuk karena terlalu banyak teori, tampak ragu saat menjawab, tak ada perubahan intonasi dalam gaya bicaranya, hanya menyampaikan materi saja.
Nah kalau dari teman-temanku, aku paling suka cara presentasinya Adelle, temanku asal UK. Selain karena memang bahasa Inggrisnya yang UK banget dan memudahkan dia bicara tentu saja, tapi dia juga tampak relax dan menggunakan bahasa tubuhnya dengan baik.
Kesimpulannya, dari semua pengalaman diatas plus hasil nonton tips-tips presentasi dari youtube, presentasi yang baik menurutku adalah yang seperti berikut ini:
1. Body Languange: berdiri relax, tidak miring kanan atau kiri, bahasa tubuh tidak kaku dan tahu kapan bergerak sesuai kebutuhan: tidak melipat tangan di depan dada, tidak memasukkan tangan ke kantong celana, tidak melakukan gerakan yang sama berulang-ulang. Kalau berani berjalan, ga cuma di belakang podium itu jauh lebih baik.
2. Cara bicara: take your time: bicara jelas, cukup pelan tak perlu terburu-buru. Perhatikan intonasi suara: nada tinggi atau semakin pelan di tempat-tempat penting misalnya. Yang penting juga diingat, sampaikan message apa di akhir pembicaraan atau bahkan lebih bagus di tiap slide, jadi pendengar pulang tetap ingat dengan message yang kita mau sampaikan.
3. Cerita: Cerita selalu menarik saat presentasi. Dokter Stich yang selalu memulai subtopicnya dengan cerita dan foto bisa dijadikan contoh, bahkan menggambarkan proses pencarian diagnosa dan terapi dari sebuah kisah nyata sungguh tampak real dan mudah dicerna. Cerita dokter Yap yang penuh humor tentang pengalamannya juga asyik. Cerita pengalaman temannya dokter Wichman saat kebagian pasien satu bis harus di suntik pencegahan rabies karena ada kelelawar masuk bis juga menarik dan selalu kuingat slalu jadinya. Intinya cerita selalu menjadi bumbu yang menarik.
4. Slide dalam powerpoint: Ada syarat khusus supaya powerpoint tampak menarik yang bisa dibaca, intinya tulisan ga terlalu panjang dan ga terlalu kecil. Slidenya dokter Stich sungguh bisa dijadikan contoh. Intinya: banyak foto yang related dengan topik, dibumbui foto-foto kertas atau buku sejarah, dan menyajikan step by step diklik baru muncul saat presentasi juga membuat presentasi tambah asyik.
5. Tambahannya buatku pribadi nih: rajin-rajin lah memotret setiap sudut kehidupan yang unik-unik, karena siapa tau kepake buat bikin slide hehe.
Nah itu dia pengalamanku sampai sejauh ini menyaksikan dokter-dokter hebat memberi kuliah. Sengaja kutulis, karena aku merasa aku ga bakat presentasi, dan presentasiku cenderung boring. Aku lebih bisa menulis daripada ngomong. Tapi ga ada yang ga bisa dipelajari bukan? Jadi semoga tips-tips ini bisa kupraktekan juga suatu saat nanti.