KETIKA AKU HARUS MEMILIH, MENGKHITAN PERTAMA KALI
(Diterbitkan dalam buku nya MCM)
Kala itu, aku sedang termangu, menatap dinding-dinding putih yang bisu. Buku yang sejak lama kubaca, tak satu pun mau menempel di kepalaku. Pasien sedang sepi. Tanggal tua barangkali. Hmm… beginilah nasib dokter baru, yang bekerja di klinik tak menentu. Kadang duduk berjam-jam hanya ditemani lalat. Tak jarang pula peluh membanjir saking ramainya kunjungan pasien. Mendadak, kesunyian itu lenyap. Serombongan keluarga tergopoh-gopoh menghampiri ruangan berdinding putih itu, ruang praktek kerjaku.
“Dok, tolong dok, ini anak nangis terus dari tadi. Sakit dok, tolong… kasihan anak ini dok…” ujar perempuan muda didepanku. Matanya menatap pilu bocah yang digendong oleh lelaki disebelahnya. Logat Jawanya begitu kental, pendatang tampaknya. Air mata mengambang di pelupuk mata perempuan itu. Seperti menahan sakit, yang menjalar juga ke relung dadanya. Pasti ibunya, pikirku. “Iya dok, itu kasihan tuh anaknya dok…” ujar salah seorang keluarga pengantar.
“Anaknya kenapa bu, sini-sini tidurin disini bu?” sahutku tenang, sambil meminta perempuan itu membawa anaknya ke ranjang pemeriksaan. Satu tahun bekerja di klinik setiap pagi dan sore cukup membuatku mampu menghadapi situasi semacam ini.
“Ealah dok..dok… yang namanya lagi sial ya begini ini dok. Tadi itu habis pipis sendiri, lagi pake celana, koq tititnya malah kejepit resleting dok… gimana ini dok… Mbok ya tolong dilepas dok, kasian nangis terus kayak gini ini dok…”
“Wah iya pasti khawatir ya bu kalau anaknya nangis terus kayak gini. Coba…sini…sini… dilihat dulu sayang yuk…” Aku menghampiri bocah lelaki itu. Tangisnya semakin keras. Tangis karena takut dan nyeri.
“Takut ya sayang ya, sakit juga ya… dilihat sebentar tititnya ya, nggak diapa-apain koq cuma dilihat…” aku tersenyum sambil berusaha menatap mata bening bocah berusia 5 tahun itu.
Airmatanya tak juga berhenti menetes, namun tidak sederas sebelumnya. Aku melihat keadaan penis anak itu, belum disunat rupanya. Potongan resleting celana tampak menjepit bagian ujung penisnya. Jepitannya begitu kuat. Tak bisa tidak, sebagian kulit penisnya harus digunting untuk melepaskannya. Menggunting kulit berarti harus melakukan anastesi. Kenapa tak disunat saja sekalian. Toh tindakan dan resikonya sama saja dengan disunat. Kesimpulan itulah yang akhirnya muncul di kepalaku.
Deg. Jantungku mulai berdegup lebih kencang. Sunat? Sanggupkah aku melakukannya seorang diri ? Atau haruskah aku merujuknya? Aku memang sudah beberapa kali mengkhitan anak-anak. Tapi aku selalu dibantu oleh dokter seniorku. Aku belum pernah melakukannya seorang diri, tanpa asisten pula. Di klinik ini hanya ada Yono, yang membantu bagian pendaftaran dan masalah obat-obatan. Hmm, kebimbangan menyergapku.
Kalau aku gagal bagaimana? Apa kata dunia? Jangan-jangan malah dituntut. Sekarang kan sedang jaman tuntut-menuntut. Belum lagi ingatan tentang kisah-kisah seniorku yang bernasib sial. Kisah senior yang diburu keluarga pasien lantaran pasiennya meninggal tak lama setelah disuntik. Cerita tentang kakak kelasku yang pasiennya mendadak tak sadar sehabis disuntik. Beragam kisah-kisah sial lainnya mendadak bermunculan di benakku. Dadaku menjadi sesak rasanya. Ah, tapi mereka kan hanya sedang sial. Kalau semua sesuai prosedur, apa yang mau dituntut? . Toh, aku sudah pernah melakukannya. Ya, tapi masalahnya, dulu selalu ada dokter senior yang membantuku dan sekaligus bertanggungjawab bila terjadi sesuatu. Sekarang, aku harus bertindak sendiri, aku pula yang harus menanggung resiko kalau terjadi apa-apa. Wuaduh…bingung…bingung… bagaimana ya?
Tapi, bukankah aku harus segera mengambil keputusan?. Oke… aku harus mempertimbangkannya masak-masak dalam hitungan detik. Kalau aku merujuk bocah ini ketempat lain, aku membuang kesempatan berharga untuk belajar mandiri. Belum tentu aku mendapatkan peluang seperti ini dilain waktu. Apakah aku hendak selalu bergantung pada dokter lain? Alasan selanjutnya, kasihan keluarga ini kalau pulang dengan tangan hampa. Malah mereka harus repot membayar uang konsultasi di tempatku dan membayar lagi di tempat rujukan nanti. Belum lagi masalah waktu, bocah itu sudah menangis sedari tadi. Ah, sebetulnya masalahnya kan cuma satu, aku belum percaya diri untuk melakukannya seorang diri, itu saja. Mmm… bagaimana ya? “Ayo Nes… kamu pasti bisa…there is always the first time Nes…Bismillah aja deh” hatiku berbisik untuk meyakinkan diriku sendiri.
“Ibu, jepiitan resletingnya kuat sekali bu, jadi tititnya harus digunting. Harus dibius dulu daerah sekitar tititnya sebelum digunting. Ibu muslim kan?” Kata-kata itulah yang akhirnya terucap dari mulutku.
“Iya dok, muslim”
“Menurut saya, karena tindakan dan resikonya sama aja dengan disunat, lebih baik sekalian disunat saja bu anaknya. Sekalian sakit bu, daripada nanti anaknya harus ngalami kayak gini lagi. Gimana menurut ibu?”
“Hah disunat dok? Lho, dokter perempuan memangnya bisa nyunat? Lagipula saya belum ada persiapan dok kalau disunat. Orang Jawa kalau sunat kan harus pake acara rame-rame dok.”
“He he, perempuan atau laki-laki kan sama-sama belajarnya waktu kuliah dulu bu” aku geli melihat si ibu yang keheranan dan menjadi sedikit ragu.
“Tapi keputusan tetap ibu yang ambil ya bu, saya kan hanya memberi saran”
“Kalau gitu saya telpon suami saya dulu ya bu dokter”
“Lho itu tadi bukan suaminya ya?”
“Bukan bu dokter, itu adek saya. Suami saya lagi kerja.”
Aku menunggu perempuan itu mengambil keputusan. Hatiku tetap dag dig dug, masih ragu dengan pilihan yang kuambil. “Ya Allah, ini bukan kondisi darurat, anak itu pun baik-baik saja. Aku hanya harus mengkhitan seorang diri pertama kali. Kenapa aku deg-deg an ya Allah. Aku tak tahu, kenapa Kau hadirkan bocah ini kehadapanku. Kalau ini memang jalan dariMu agar aku belajar, mudahkanlah semuanya ya Allah, berilah aku ketenangan.” doa itulah yang akhirnya menenangkan gelisahku.
“Bu dokter, sunat aja deh bu. Kata suami saya acara rame-rame ya dibuat aja besok-besok, kasian anaknya bu. Tapi anak saya nggak apa-apa kan bu kalau disunat?”
“Iya bu, Insya Allah nggak apa-apa. Sunat itu cuma tindakan kecil koq bu, setengah jam juga beres. Tolong aja anaknya dipegang sama om nya nanti ya bu.”
Dengan tak henti-hentinya berdoa memohon ketenangan dan kelancaran, aku memulai proses mengkhitan pertama kali ini. Tanpa ada asisten ataupun penanggung jawab bila terjadi sesuatu.
Tanganku sedikit gemetar ketika jarum suntik berisi Lidocain menembus kulit diatas tulang kemaluan anak itu. Tentu saja dia menangis keras ketika jarum suntik menembus kulitnya. Untung lah anak itu termasuk ‘anak mudah’ tidak mengamuk dan menendang-nendangkan kakinya. Semua itu betul-betul memudahkanku. Lantas, aku melanjutkan proses anastesi di sekitar penisnya. Ah, berhasil juga rupanya. Tak berapa lama, tangisan anak itu berubah, bukan lagi tangis kesakitan. Hanya rengekan kelelahan dan takut.
Perlahan tapi pasti, ketenangan mulai merasuki jiwaku. Pelan-pelan kubersihkan smegma (sekret dari kelenjar sebasea, berwarna putih seperti keju) yang menempel di sekeliling pangkal penis. Dua buah klem aku jepitkan di ujung kemaluan anak lelaki itu. Akhirnya, Bismillah… aku memotong ujung kulit penis anak itu. Aku semakin merasa ringan. Pekerjaanku hampir usai, tinggal mengatasi perdarahan dan menjahit kulit saja.
“Alhamdulillah… sudah selesai. Tiga hari lagi kontrol ya bu…” Hmh… terucap juga kalimat itu akhirnya dari bibirku. Puas rasanya, lega, dan bersyukur tentu saja. Semua berjalan lancar. Dan yang teramat penting bagiku, aku telah memilih, aku juga telah berhasil mengalahkan segala rasa khawatir yang berkeliaran dalam hatiku. Hidup memang terdiri dari serangkaian pilihan. Kemampuan untuk memilih secara sadar dan bertanggungjawab adalah sebuah keahlian yang harus dimiliki oleh setiap manusia. Andai saja aku memilih cara termudah- merujuk anak ini tadi, tentu aku akan kehilangan pengalaman berharga yang telah dihadirkan Allah kepadaku. Sejak saat ini, aku semakin percaya diri untuk mengkhitan. Dan tentu saja, kesadaran itu semakin merasuki relung jiwaku, kesadaran bahwa, hidup adalah sebuah pilihan!
Aku jadi ingat pengalaman waktu pertama kali mengkhitan seorang diri. Bermula ketika dua sahabatku menghubungiku menanyakan kesediaan ku untuk membantu mereka mengkhitan 3 orang anak jalanan asuhan mereka. Mendengar permintaan itu aku juga jadi bimbang. Aku memang sudah pernah beberapa kali mengkhitan tapi belum pernah melakukannya seorang diri. Tapi, kebimbangan itu berhasil aku atasi, aku yakinkan diriku sendiri aku bisa melakukannnya.
Di hari “H” hatiku tetap dag dig dug, masih ragu dengan pilihan yang kuambil, pertama kali seorang diri dan langsung 3 orang sekaligus. Aku memandang wajah anak-anak yang akan ku khitan, “ah kasihan memang sudah waktunya mereka harus dikhitan, dua orang berusia 15 thn dan satu orang 16 thn,” sambil terus berdoa memohon kepada Allah kemudahan dan keselamatan. Tanganku juga gemetar ketika akan memulai. Untungnya semua pasienku sudah besar dan tenang, aku merasa jauh lebih mudah ketimbang mengkhitan anak kecil yg biasanya mengamuk dan menendang-nendangkan karena ketakutan.
Pasien pertama dan kedua selesai dengan baik, kemudian giliran pasien terakhir yang usianya 16 thn. Dari saat pertama kali dia berbaring (selama aku melakukan proses anastesi dan membersihkan smegmanya) dia terus memandangi wajahku.. Sesaat aku sudah akan memotong foreskin-nya, dia menangis sambil menggigit bibirnya. Aku sempat berpikir “wah kok ketakutan juga ya.” Kemudian terlintas dalam hatiku “wah gawat kalau dia sampai ngamuk dan nendang-nendang, pasti lebih sulit dipegangin, apalagi hanya dengan tenaga dua orang perempuan sahabatku yg mendampinginya.”
Salah seorang sahabatku mencoba menenangkan dia dengan mengatakan “ga sakit kok, ga lama kok.” Sahabatku yang lain pun bertanya “takut ya, sakit ya?” anak itu menggelengkan kepalanya. Kemudian aku bertanya “kalo ga takut kok kamu nangis ?” Sambil masih nangis sesegukan anak itu menjawab “bu dokter mirip ibu saya, saya sedih inget almarhumah ibu.” Saya sungguh kaget dengan jawaban anak itu. Belum hilang rasa kaget saya anak itu berkata lagi “ma kasih ya bu dokter, sekarang saya bener-bener udah jadi muslim.”
Aku sungguh terharu dengan perkataan anak itu, dan bersyukur tentu saja karena telah Allah beri kesempatan membantu 3 orang anak laki-laki menambah kegenapan mereka sebagai seorang muslim. Aku telah memilih, aku juga telah berhasil mengalahkan kebimbangan dalam hatiku. Andai saja aku memutuskan untuk tidak membantu sahabatku, tentu aku akan kehilangan pengalaman berharga yang telah dihadirkan Allah kepadaku. Sejak saat ini, aku juga semakin percaya diri untuk mengkhitan. Dan tentu saja juga tumbuh kesadaran bahwa, hidup adalah sebuah pilihan!
Fitri
Saya memang bukan seorang dokter tapi orang tua dari bayi yang baru berumur 2 bulan yang harus menghadapi kenyataan anak saya harus dikhitan supaya anak saya itu gak kesakitan lagi kalo kencing hanya perasaan gak tega yang terus datang mbayangin anak umur 2 bulan harus dikhitan
Assalamualaikum WrWb,
Salut buat Bu Dokter, nggak rugi dah berobat ke Bu Dokter, udah cakep pinter lagi :-D
Wassalam
Assalamualikum WrWb,
Wah mumpung ingat neh Bu Dokter, Anak aku yg ke 2 (Fadiah Dini Arifah namanya) sejak baby hingga kini (4Th) matanya kok sering keluar kotoran, kadang aku kasihan sekali tiap bangun tidur pasti matanya ceket hingga harus nunggu beberapa saat agar bisa liat.
Tapi kalo nggak pas…nggak kumat sih bening2 aza matanya, keliatanya sensitif sekali, kalo di ajak ayahnya keluar pake motor dan duduk di depan, pasti deh besoknya keluar kotoran di pojok matanya.
Pernah sih aku bawa ke spesialis mata dan di beri obat tetes ( polifrisin kadang polidex) tapi hasil yg signifikan kok sampe sekarang nggak ada.
Kali aza Bu Dokter Agnes bisa ngebantu neh….
Wassalam
Halo mbak Sri, salam kenal ya, makasih lho udah nyasar ke weblogku :-).
Nama anaknya bagus ya mbak Sri :-). Kalo menurutku sih, selama anaknya baik2 aja, penglihatan nggak terganggu, mata nggak merah (nggak ada radang atau infeksi), belekan gitu nggak masalah mbak. Mungkin saluran air mata di matanya belum berfungsi dengan baik aja mbak. Dulu anakku juga gitu pas bayi. Trus dr berbagai sumber biasanya suruh pijit2 bagian saluran air matanya biar lancar. Nggak perlu dikasih obat apa2. Ternyata alhamdulillah sampe sekarang nggak pernah lagi.
Tapi kalo memang sangat mengganggu dan beleknya banyak sekali sampe usia 4 thn gitu, mungkin perlu ditanya ke dr Spesialis mata, ada sesuatu nggak di saluran air matanya. Cari dokter matanya yg komunikatif dan mau menjelaskan panjang lebar aja mbak, biar ke mbak nya juga lebih jelas gitu :-). Soalnya kan banyak jg dokter yang cuma kasih obat tp nggak kasih tau pasiennya ada apa dengan anaknya ya. Jd pasiennya tetep kebingungan gitu. Moga2 si kecil gpp n ga suka belekan lg ya mbak :-)…
Bu dokter saya udah gede ni,dulu saya disuru khitan tapi ga mau. tapi sekarang2 ini saya kayanya pengen banget tapi malu bu.udah umur 18Thn.klo dikhitan sekarang gpp?malu ga ya ama dokternya.Tapi diri sya sepertinya pengen tuh bu.jadi sebaiknya gimana ya??.minta sarannya
Dear Rudi,
Malu ya wajar banget dong ya, kan udah gede :-). Tapi kan banyak dokter laki-laki Rud, dan alatnya jg udah canggih, ada yang pake laser segala, waktunya lebih singkat. Supaya malunya berkurang :-) kayaknya motivasinya aja diperkuat, banyak baca2 sumber ttg pertingnya khitan, kalo motivasi kuat, insya Allah halangan apapun termasuk si malu itu pasti bisa nyingkir deh :-)
Selamat dikhitan yaa :-)
Assalamualikum WrWb,
dear dokter agnes,
saya mau tanya, kalo secara medis sebaiknya sunat dilakukan pada usia berapa sich?? soalnya aku & suami sempet debat kapan mau sunat putra kami (8 th). suami ingin putra kami segera disunat karena tradisi di keluarganya semua disunat umur 5 th. sementara aku sendiri ga tega putra kami segera disunat. karena tradisi di keluarga ku juga, aku memaksa putra kami disunat nanti waktu dia umur 13-14 thn. suami sich akhirnya terserah aku. tapi aku jadi bingung, bener ga ya secara medis keputusanku untuk menyunatkan putra kami di usia 13-14 th. terima kasih atas tanggapannya.
Wassalam.
Dear mbak Dini,
Kalau secara medis dan anaknya baik-baik aja, sebetulnya nggak ada batasan kapan anak harus disunat. Yang jelas, sunat itu bagus karena menghilangkan kotoran di pangkal penis. Kecuali kalo ada masalah seperti pimosis, anak jd susah kencing dan sering terkena inf saluran kencing, sebaiknya lebih cepat disunat lebih baik.
Tapi kalo secara Islam, dari umur 7 hari jg udah disarankan disunat ya. Hubungannya secara medis ya itu mbak, jd lebih bersih, krn berarti kotorannya/smegma langsung dibuang, nggak sempet numpuk2 dan tambah banyak.
Semoga dikit bantu ya mbak…:-)
Saya dikhitan pada usia 27 tahun, pertama kali saya agak sungkan dan terus terang takut karena nggak kebayang sakitnya seperti apa, tapi karena desakan istri saya yang muslimah akhirnya saya pasrah saja dan bersedia disunat. Pelaksanaan sunat dilakukan oleh seorang dokter dan seorang perawat yang kenalan istri saya (keduanya wanita…waduh malunya), setelah sebelumnya saya diperiksa tensi, operasi sunat dilakukan setelah dilakukan pembiusan lokal. Ternyata rasa sakitnya hanya pada saat disuntik anastesi saja, selebihnya tidak terasa apa-apa, jadi bagi yang mau sunat nggak usah takut-takut deh, asal yang menangani professional dijamin tidak sakit dan cepat sembuhnya (saya sembuh setelah 5 hari lukanya kering)
Assalamualaikum wr wb.
Begini dokter Agnes yang baik,
waktu aku disunat…kejadiannya sih baru 4 bulan yang lalu…usiaku 24 th. Waktu itu aku dinasehati sama mamaku agar mau disunat..akhirnya aku nyerah juga. dokter yang nyunatin aku namanya dokter Ratna( teman ngaji mama)…dibantu ama 2 suster…duh malunnya (maklum perempuan semua)lucunya mama ama dokter Ratna sama2 pake rok motif kotak2 dan suster yang satu..mbak hidayah malah pake terusan kotak2!…
Aku disunat sore hari di rumah dokter Ratna(kebetulan dia buka praktek sunat dirumah) terus terang aku sempat (maaf) terangsang.tapi begitu disuruh baca syahadat, aku langsung pasrah…nggak terangsang dan nggak tegang lagi! .
terus terang aja aku terus terusan dirayu sama mama dan suster Dewi” nggak sakit kok disunat itu”…”nurut aja ya”….pas disuntik…duh sakitnya minta ampun..aku sampai nangis keras dan berontak tapi mama dan mbak dewi dibantu mbak Hidayah megangin aku kuat kuat…aku benar benar nggak nyangka kok sakitnya seperti itu..malu sih aku tapi gimana lagi.
Untungnya setelah kira kira 5 menitan obat biusnya bekerja jadi aku nggak kerasa sakit lagi.lalu sunatan pun dimulai oleh Dokter Ratna dibantu oleh Mbak Hidayah..kira2 45 menitan selesai…pulangnya ku pake sarung dan “petat”…sekitar jam 6 maghrib ..
yang mau aku tanyakan sama dokter Agnes..apa benar dokter perempuan kalau menyunat…hasil sunatannya lebih rapi dibanding sunatannya dokter pria?….
terus…waktu saya tanyakan pada mama ..kok semuannya pakai motif kotak2…jawaban mama “kata Bu Ratna…supaya pasiennya lebih tenang dan nggak takut lihat seragam formal dokter putih putih( menurut saya pribadi…sepertinya pendapat ini ada benarnya…karena saat disunat saya merasa sangat tenang!), apa dokter Agnes semdiri suka mengenakan pakaian(rok,hem) motif kotak kotak? saat praktek/nyunat?
He he, saya senyum-senyum sendiri nih baca pengalamannya Anton, seru juga ya pengalaman di sunat setelah dewasa :-).
Tentang pertanyaannya, apa hasil sunatan dokter perempuan lebih rapi? Wah ini sih ya nggak jamin, mungkin karena perempuan dikenal lebih rapi dan teliti ya jd ada anggapan seperti ini. Tapi sebetulnya sangat tergantung pada banyak faktor, banyak juga koq dokter laki2 yg rapi jahitannya.
Tentang baju, hehe lucu jg pertanyaannya tapi memang betul Anton, kalo pake baju putih, terutama buat anak2 ya, pasti mereka lebih tegang, krn dalam benaknya putih itu identik dengan dokter atau suster yg bakal nyuntik atau ngasih obat dll yg kebanyakan nggak enaknya :-). Jd banyak dokter kalo menghadapi anak2 lebih suka nggak pake baju putihnya. Tapi menurut saya, tentu nggak diganti motif kotak2 dong ya :-), apaaja oke, asal nggak menimbulkan gambaran yg tidak menyenangkan. Cuma kebetulan aja kali pas Anton disunat mereka pada pake baju kotak2.
Semoga yg baca pengalaman Anton dan mas Rudi juga, jd nggak takut disunat yaa.
Makasih lho udah mau berbagi disini :-)
mbak agnes saya mau minta saran ,saya berusia 19 tahun dulu waktu kelas 1 smp di suruh sunat tapi saya takut dan ga jadi tapi sekarang ini saya sadar dan jadi pengen sunat. cuma mau saya ga ketahuan sama orang tua karena malu.jadi gimana sarannya?lebih baik bilang minta sunat apa ga usah dan saya pergi sendiri aja??kira2 berapa sih besar biaya sunat pake laser mbak?mahal ga.berapa lama proses sembuhnya.
Salam kenal
Untuk melakukan khitan adalah pilihan, terutama pada khitan dewasa, untuk melakukan khitanan dewasa sebaiknya memilih dokter pria (saya non muslim tapi saya rasa aturannya sama saja agar menjauhi zinah) kecuali jika terpaksa sekali, saya sendiri adalah perawat, dan seringkali meng-asisteni khitan baik anak-anak maupun orang dewasa dengan berbagai alasan (agama, kesehatan, penyakit)baik dengan dokter pria maupun wanita, syukur sampai hari ini belum pernah terjadi pasien saya mengalami sensasi yang bukan-bukan, ada sich yang tegang pada saat mau dieksekusi, tapi akhirnya dibatalkan dan menunggu lain waktu yang tepat dengan dokter dan perawat pria tentunya. Mbak Agnes btw sudah menerbitkan buku yach (saya baca dijudul utama diatas diterbitkan dalam MCM) congrats and salut dech masih muda sudah berkarya, tapi buku tersebut (MCM) bisa didapatkan dimana?
Mbak Nadya, thanks sudah berbagi pengalaman yaa :-)
Cuma 1 judul ini aja koq Mbak yang diterbitkan, jd itu buku keroyokan. Itu jg nggak sengaja mbak, saya iseng2 ngirim ke yang mau nerbitin, eh ternyata dinyatakan layak buat diterbitkan dgn yang lain. Wah saya jg nggak tau mbak buku itu bisa didapatkan dimana, soalnya saya jauh begini. Judul bukunya saya jg nggak tau mbak hehe, soalnya saya cuma nulis 1 artikel ini sih. Doakan saya segera bikin buku sendiri ya mbak :-)
mbak agnes yang baik saya mau kasih sebuah cerita yang benar2 terjadi di Tarakan seperti yg di ceritakan oleh seseorang. Cerita ini saya tujukan untuk mbak dini.
semoga setelah membaca cerita ini mbak dini mempertimbangkan kembali untuk mengkhitan anaknya sebelum usia aqil-baliq. Karena memang demikian yang diajarkan dalam Islam (kecuali menjadi muallaf di usia dewasa) untuk menghindarkan hal2 yg tdk diinginkan.
ceritanya begini:
Ada cerita menarik di Rumah Sakit di Tarakan, di suatu sore sekitar pukul 17.00 sampai-sampai membuat perawatnya tertawa dan tersipu.
Awalnya, seorang anak laki2 berusia 14 tahunan – sebut saja andi, diantar oleh ibu dan tantenya datang ke RS Tarakan untuk disunat – khitan. Anak itu lalu ditangani oleh seorang perawat perempuan di Instalasi Gawat Darurat (IGD) yang sudah biasa melakukan tindakan khitan ditemani perawat perempuan lain sebagi asistennya. Sebelum dikhitan, karena anak itu sudah aqil-baliq asisten perawat harus mencukur rambut kemaluan anak itu lebih dahulu.
Setelah itu penis anak itu disuntik. Penyuntikan selesai, lalu didiamkan beberapa saat dengan maksud supaya obat penahan sakit bereaksi ke semua bagian yang akan dikhitan. Setelah itu tindakan khitan dilaksanakan. Ujung kulup anak itu dipotong, setelah itu darah yang ke luar dibersihkan.
Pembersihan itu dilakukan dengan hati-hati dan lembut untuk mencegah infeksi. Mungkin karena yang menyunat seorang perempuan dan anak itu sudah aqil balik, sehingga penis anak itu perlahan-lahan semakin membesar (ereksi). Kejadian ini membuat perawat perempuan yang menyunatnya tersipu-malu.
“Saya menyunat orang sudah tidak bisa dihitung lagi, tapi baru kali ini Saya temukan kejadian seperti ini,” kata perawat yang saat itu mengkhitannya.
mbak agnes yang baik, menanggapi cerita anton yang merasa tenang saat disunat karena dokter/perawat mengenakan rok kotak2, saya pribadi hendak membagi sedikit pengalaman saya sebagai dokter yang bertugas di sebuah klinik.
saya sudah sering menyunat pasien baik yang anak2 maupun dewasa( biasanya mualaf). setiap menyunat saya selalu mengenakan baju dinas( baju putih dan rok hitam/putih)..namun saya memperoleh pengalaman yang merubah penampilan saya dalam penyunatan…
saat itu saya kedatangan seorang ibu muda yang mendaftarkan anaknya untuk disunat (usia anaknya 13 tahun)..yang agak janggal..ibu tadi minta agar saat menyunat nanti saya mengenakan rok kotak2, karena anaknya takut bila saya pakai pakaian dinas medis( ibu tadi bercerita sering anaknya berontak bahkan teriak histeris saat akan disunat) …karena saya juga punya beberapa rok motif kotak2 saya pun tidak keberatan.
pada hari yang ditentukan ibu tadi datang dengan anaknya( ibu tadi juga mengenakan rok kotak2)…setelah itu mereka masuk ke dalam ruang praktek saya…rupanya melihat saya dan mbak rima(asisten saya) mengenakan rok kotak2..anak tadi terlihat tdk takut bahkan bisa bercanda…sayapun terheran (belum pernah ada pasien yang saya tangani untuk disunat yang nggak tegang atau takut)….segera setelah dipersilahkan naik ke tempat penyunatan,saya pun mulai penyunatan dg tidak mengalami ‘ perlawanan hebat” dari si anak tadi..syukurlah sunatanya berhasil..!
saya sempat heran..kok bisa hanya dengan kotak2 pasien saya jadi nurut?…setelah saya tanyakan pada teman saya yang psikiater…dia memberi jawaban kalau motif kotak2..itu mempunyai efek “cerah”sehingga mengurangi tekanan stres..karena itu banyak pihak menggunakannya( kantor..sekolah.dll)…dari pengalaman itu saya hingga kini tetap mengenakan rok kotak2 saat menyunat (teman teman saya seperti dr Rima,zubaidah,dewi dan rindi malah ikut2 an di tempat praktek mereka)…bahkan tirai, alas meja,seprei tempat penyunatan…saya ganti dengan motif kotak2
mungkin sekedar info buat mbak agnes…sejak itu saya merasa lebih santai saat menyunat pasien pasien saya…!
demikianlah pengalaman saya,terima kasihsemoga ada gunanya buat semuanya!
Wah, terimakasih sekali nih mbak Ratih buat infonya, saya baru tau lo kalo ternyata ada alasan dari sisi medisnya ya. Ternyata kotak2 memang oye! :-) Ini masukan berharga mbak buat saya kalo udah balik kerja lagi nanti.
Trimakasih juga krn udah bersedia berbagi ya mbak…
Assalamualaikum wr wb.
salam kenal mbak Agnes. boleh ya saya ikut kasih tanggapan buat mbak dini dan mbak isti.
selain dimensi agama, sunat juga terkait dengan tradisi; sehingga pada usia berapa anak laki-laki disunat juga berbeda-beda. misalnya saja (bukan suatu generalisasi) di daerah mbak agnes (jawa barat/sunda), sudah tradisi anak laki-laki disunat pada usia pra sekolah (< 7 thn). lain halnya dengan orang jawa, anak laki-laki mereka biasa disunat pada usia sekolah (sd - smp, atau ada beberapa kasus tahun pertama di sma) karena pertama, ada kaitannya dengan ritus lingkaran hidup. sunat dianggap masa peralihan seorang anak menjadi pria dewasa, oleh karena itu sering dilakukan ketika memasuki usia sekolah. kedua,sebelum ilmu kedokteran mewarnai kehidupan orang jawa, sunat dilakukan oleh bogem (bengkong/dukun sunat)dengan prosedur yang tradisional. menggunakan sembilu, dll sebagai alat pemotongnya tanpa melalui tindakan pembiusan; menjadikan sunat adalah kejadian yang sangat menyakitkan dan menakutkan. oleh karena itu dilakukan ketika di usia sekolah, dengan anggapan anak sudah lebih siap secara mental. Tradisi ini rupaya terus melekat bahkan ketika ilmu kedokteran sudah semakin canggih, terlepas apakah esensinya diikuti atau sekedar menjalankan kebiasaan. keponakan saya juga beberapa bulan lalu baru saja disunat saat umurnya 14 thn, saya menemaninya saat itu dan apa yg diceritakan mbak isti tidak terjadi pada keponakan saya. Wassalam.
Assalamualaikum wr wb.
Suami saya mualaf dan belum sunat, rencana habis lebaran haji mau menikah. saya bingung suami saya apabila mau disunat anunya tegang terus, padahal sudah disuntik/ diinjeksi tingal disunat/ dipotong anunya dan pada waktu disuntik dia tenang/diam dan tidak meronta dan anunya tidal tegang tapi pas mau di sunat/ dipotong tegang baik oleh dokter wanita atau pria dan berbagai cara baik dari baju maupun dikompres. Saya jadi bingung padahal dia sudah mantap mau disunat, apakah calon suami saya disunat oleh dukun atau Bongem yang katanya proses sunatnya lebih cepat? apakah dolter punya gambar atau cd mengenahi cara / proses khitan baik cara medis (Dokter)maupun cara non medis (bogem), la;au punya tolong di email ke email lami ini.Terima lasih sebelumnya.
Wassalam.
Wa’alaikumsalam…
Buat mbak Hesti makasih ya buat sharingnya :-) insya Allah bermanfaat buat yg baca.
Buat mbak kartika, hmm…lucu jg ya pengalamannya :-) Tapi mbak, krn pendidikan saya adalah pendidikan profesi yg mau tidak mau menuntut untuk mengikuti aturan profesioanal, jd saya nggak bisa kasih advice cara non medis mbak.
Kalo secara medis, saran saya, mungkin mbak bisa dateng ke dokter ahli bedah, bukan dokter umum. Ceritakan masalah mbak,dan barangkali untuk kasus spesial seperti ini dokter bisa mempertimbangkan untuk bius umum/bius epidural. Ini baru mungkin ya mbak, untuk lebih jelasnya, mbak bisa konsultasi sama dokter bedah. Kerugiannya, tentu biaya lebih mahal ya, dan ada efek samping bius semacam ini jg ada. Bius epidural itu lo mbak, bius yg sering dipakai sama ibu2 kalo mau melahirkan.
Jadi, selamat konsultasi ya mbak, moga2 masalahnya segera terselesaikan….
Trimakasih sudah bersedia mampir ke ‘rumah’ku :-)
Assalamualaikum wr wb.
mbak Agnes, saya org Indonesia yg lahir, besar dan tinggal di luar Indonesia selama 25 thn, dan baru tinggal di Indonesia 1 thn. kalau di negara tempat saya tinggal dulu, sunat dilakukan dgn prosedur medis yg ketat. saya ingat waktu abang saya dan bbrp teman saya disunat dulu, pada mereka harus dilakukan pemeriksaan awal (darah dll), persis spt mau dioperasi. dan disunatnya pun di ruang operasi. belakangan saya tahu pemeriksaan itu untuk melihat apakah ada yang membahayakan, seperti hemofili(darah sukar membeku; sbg antisipasi. tp saya kaget ketika di Indonesia, sunat itu dilakukan dgn tanpa ada pemeriksaan awal dan dilakukan dimana saja. dgn tanpa pemeriksaan awal apa tdk khawatir terjadi hal2 yg tdk diinginkan, soalnya teman saya bilang dulu wkt masih kecil ada sepupunya yg meninggal setelah dihitan, pendarahan hebat, belakangan baru ketahuan mengidap hemofili,tapi terlambat. saya lebih kaget lagi dgn sunataan massal, dimana sering sekali kondisi dan peralatan yg darurat (di tenda/ aula/ kelas dsb, peserta dibaringkan di atas meja/ di lantai yang diberi alas dsb) dan disaksikan banyak pasang mata. saya jd berpikir kok tdk ada privasi sama sekali ya mbak, padahal sekalipun mereka masih kecil mrk tetap butuh privasi-kan, lagi pula ada jg peserta yang usianya diatas 12 thn dan mrk perlu dan hrs diberi privasi bukan??? menurut mbak Agnes gimana??? Trimakasih.
Wa’alaikumsalam…
Hai Novie, salam kenal yaa… Iya ya, kalo kita cerita kondisi di Indo sih memang mengkhawatirkan Nov :-) Sebetulnya prosedur sebelum khitan,aturannya persis kayak yg disebut sama Novie. Tapi masalahnya, di Indo kan kebanyakan rakyat miskin kan, biaya untuk pergi ke laboratorium dan periksa darah segala macem selangit Nov. Jgnkan untuk pergi ke laboratorium, untuk sunat aja maunya yg gratisan/massal kan, lha wong buat makan aja susah. So, buat yg gratisan begini, urusan privasi juga udah menjadi faktor nomor kesekian. semua hanya berlaku untuk orang-orang yang berduit kali ya :-)
Jadi, dokter umumnya mengantisipasi dugaan haemofili dengan anamnesa, yaitu sebelum dikhitan, ortunya biasanya ditanya dulu. Anaknya kalo habis jatuh, ada luka berdarah cepet kering apa enggak. Kalo keringnya lama, ato ada masalah dengan pembekuan darah, baru disuruh periksa ke lab. Mestinya aturannya at least begitu Nov. Tapi ya begitulah ya namanya dokter jg manusia, sering khilaf. Mungkin dokter yg nyunat sepupu itu lupa nggak anamnesa dulu ya, jdnya samsek nggak curiga haemofili dan nggak cek darah di lab. So, begitulah jadinya. Sedih jg ya memang dengan kondisi kayak gini :(
Gitu aja sharingku ya Nov. Makasih lho udah mo berbagi cerita disini, semakin mengingatkan aku untuk berhati-hati sebagai dokter :-)
Assalamualaikum wr wb
saya punya cerita kejadian sunat anton pada waktu sepupu saya namanya ari a disunat.
sepupu saya disunat pada umur 23 tahun. dia disunat oleh dokter cewek teman tante saya. tante saya cerita kalau anaknya takut dan tidak mau disunat . padahal dia sudah merayunya tapi gagal. akhirnya teman tante saya bersedia membantu dan membuat rencana untuk menyunat ari. begitu ari habis pulang dari kampus, dia disuruh mandi dan disuruh membersihkan burungnya. setelah mandi dia dipanggil teman tante saya dijelasin bahwa dia mau disunat, awalnya dia kaget dan takut. setelah dijelasin dia akhirnya bersedia disunat, mungkin sudah malu kali ya?. dia dipanggil ke ruang tamu, disuruh mencopot celannya dan disuruh berdiri . dokter menyuruh ari tenang, rilek disuruh nonton bola di TV. Dokter lalu memeriksa penis si ari dan bilang siap ari sambil menyuntik ujung dan batang penis ari 4 kali kalau tidak salah. suntikan pertama ari kesakitan mungkin kaget, tapi suntikan selanjutnya kami tambah bingung ari hanya meringis kesakitan pada waktu ujung jarum suntik menusuk penisnya, pas ditekan dan dijabut suntikan dia diam saja. begitu selesai disuntik dia disuruh masuk kemarnya untuk proses sunat berikutnya yaitu dokter memotong ujung kulupnya dan mengobati luka sunatanya dikamar ari. pada waktu disunat dokter bilang ari diam, tenang tanpa mengaduh kesakitan dan dia bilang ternyata sunat hanya sakit pada waktu disuntik ya? kaya kaget digigit semut saja. 3 hari jahitanya dicabut dan tepat 1 minggu sudah sembuh
Dokter,saya mau tanya kalo sunat laser sembuhnya berapa lama ya? trus apakah disuntik 4 kali juga? yang disuntik apa saja?
Terima kasih
Halo Budi, sunat laser maupun sunat biasa lama sembuhnya sama aja koq asal sesuai prosedur dan nggak ada komplikasi atau keluhan lain. Kalau masalah suntiknya tergantung dokter yang melakukan. Sunat biasa pun sebetulnya nggak mesti 4 kali suntik, ada yang cukup dengan 1 kali didekat tulang kemaluan. Yang jelas meski pake laser pun pasti di suntik anestesi dulu. Disuntiknya apa saja, sekali lagi tergantung dokter nya. Begitu kira-kira. Semoga jelas ya Budi :-)
Mbak Agnes yg baik, aku mo tanya donk. Kalo sunat untuk cewek gimana yach ??? Aku cewek 26 thn, muslim, akan segera nikah. Apakah khitan juga wajib untuk wanita ??? Apanya yg dipotong ??? Manfaatnya apa ??
Kata mamaku, waktu kecil aku belum disunat karena nggak wajib. Apakah sekarang aku harus sunat ??? Apakah Mbak Agnes bisa mengkhitan perempuan ?? Di mana aku bisa menghubungi Mbak ?? Kalo emang harus disunat, aku nggak mau sama dokter cowok.
Dear Enna,
Dari penelitian terbaru sebetulnya sunat buat perempuan lebih banyak efek sampingnya. Dari agama Islam juga kan sunah aja kan, apalagi Enna dah dewasa. Menurutku mending ga usah aja Na. Malah kalo baca-baca bayi-bayi perempuan di Afrika yang disunat aduuh serem-serem efeksampingnya, soalnya yang melakukannya ga jelas. Soo… dont worry be happy, ga usah aja ya say :-) Eh iya selamat merid ya, semoga lancar semuanya :-)
Sebetulnya khitan untuk wanita yg dilakukan secara benar justru bermanfaat. Khitan yg dilakukan dengan benar adalah memotong / membuang kulit penutup klitoris, bukan klitoris itu sendiri.
Manfaatnya sama seperti sunat pada laki2, untuk kebersihan dan kenikmatan seksual yg lebih baik karena glans ( kepala) klitoris menjadi terbuka sama seperti kepala penis laki2 yg sudah disunat.
Jika anda tertarik untuk mengerti lebih lanjut tentang khitan pada wanita yg benar, silakan bergabung di milis ini :
http://groups.yahoo.com/group/khitancewek/
Milis ini mempunyai sekitar 1400 member, juga ada banyak gambar dan foto.
Milis sini dimoderasi dan bebas dari spam dam SARA
Bu Agnes yth,
Putri saya berumur 1 tahun dan belum dikhitan. Suami dan mertua menginginkan supaya putri saya itu segera dikhitan.
Bagaimana sebaiknya bu ??? Apakah efek khitan pada perempuan seburuk itu ??? Saya sendiri juga sudah dikhitan dulu, tapi saya tidak merasakan ada masalah apaun dalam hubungan seksual dengan suami .
Terima kasih bu,
wassalam,
endah
Dear mbak Endah, menarik memang ya membahas sunat pada anak perempuan ini :-). Sebetulnya kalo mau diliat di seluruh dunia kasus ini (istilah medisnya female genital mutilation (FGM)), memang pro dan kontra. Ini berhubung saya belajarnya ya ilmu kedokteran yang mengacu pada Evidance Based Medicine (EBM) ya saya jujur aja bilang yang saya temukan ya mbak :-) Kalo berdasarkan Islam, setau saya juga kan nggak wajib, malah ada yang bilang ini cuma cultural aja. Nah WHO yang jadi kiblatnya kedokteran modern, dan AAP (American Academic pediatric) sudah menyatakan melarang dilakukannya FGM pada perempuan. Kenapa? Karena komplikasinya itu yang bahaya.
Kalo dulu mbak Endah dikhitan dan sekarang fine-fine aja, mungkin jenis khitannya entah tipe yang mana (cuma digores sedikit aja ujung klitorisnya mungkin) jd ga fatal akibatnya. Walopun sebenernya resiko infeksi juga ada. Memang sih yang parah banget itu terutama kasus-kasus di Afrika. Tapi kayaknya mending cari aman aja kali ya mbak, masa depan anak gitu lo :-) Ini saya copy kan komplikasi yang ditimbulkan dlm bahasa inggris tp ya.
The physical complications associated with FGM may be acute or chronic. Early, life-threatening risks include hemorrhage, shock secondary to blood loss or pain, local infection and failure to heal, septicemia, tetanus, trauma to adjacent structures, and urinary retention.13,14 Infibulation (Type III) is often associated with long-term gynecologic or urinary tract difficulties. Common gynecologic problems involve the development of painful subcutaneous dermoid cysts and keloid formation along excised tissue edges. More serious complications include pelvic infection, dysmenorrhea, hematocolpos, painful intercourse, infertility, recurrent urinary tract infection, and urinary calculus formation. Pelvic examination is difficult or impossible for women who have been infibulated, and vaginal childbirth requires an episiotomy to avoid serious vulvar lacerations.
Untuk lengkapnya, mbak baca disini aja ya : http://aappolicy.aappublications.org/cgi/content/full/pediatrics%3b102/1/153
Dan di link ini ada cerita ttg pengalaman perempuan suriname/sudan yang dikhitan http://news.bbc.co.uk/2/hi/health/1171359.stm
Memang sih mbak kebanyakan khitan yang di Indo kayaknya sih nggak kayak yang di afrika. Anak saya jg dulu dikhitan, dan saya lihat cuma digores pake jarum aja, (saat itu saya belum update elmu :-)) Nah kalo saya tau komplikasinya serem kayak gini dulu pasti saya juga milih ga mau khitan anak perempuan saya, kalo saya lo ya :-)
Begitu info yang bisa saya berikan mbak, memang sulit ya mbak kalo udah harus ‘melawan’ arus. Tapi ya begitu lah hidup memang harus memilih hehe. Selanjutnya sila didiskusikan sama suami dan ortunya mbak, keputusan tetap ada ditangan mbak sebagai ortunya kan :-) Semoga terjawab ya…
Agnes
Dear mbak putri,
Maaf ya mbak, masalah khitan pada perempuan ini memang pro dan kontra ya :-) Dan karena ilmu saya berdasarkan EBM (Evidance Based Medicine) dimana keputusan yang diambil oleh para ahli pun sudah berdasarkan penelitian, jadi saya harus bilang apa adanya sesuai ilmu yang saya ketahui saat ini, bahwa saya lebih baik menghindari khitan pada perempuan (seperti yang saya ceritakan sama mbak Endah).
Tentang milis yang mbak tawarkan menarik tampaknya ya :-) Cuma saya lagi mikir gimana melakukan khitan pada wanita yang benar ya soalnya dulu saya nggak pernah diajari, kalaupun ada dokter yang melakukannya, berarti mungkin dokter yang nggak sepakat sama anjuran WHO :-)
Saya menghargai dan berterimakasih sekali atas undangan mbak, tapi boleh kan kita berbeda ya :-) Begitu aja ya mbak, mohon maaf lo kalo ada kata-kata saya yang tidak berkenan.
Agnes
Sedikit sharing pengalaman tentang khitan pada perempuan. Kakak iparku seorang wanita keturunan cina yg menjadi mualaf pada usia 25 thn. Sebelum menikah dengan kakak saya, gadis ini, sebut saja Lina menjalani khitanan terlebih dahulu. Saya sendiri yg mengantar Lina ke tempat praktek bidan untuk khitan.
Saya tidak berani melihat langsung tapi menurut Lina ternyata proses khitan tidak sesakit yg dibayangkan sebelumnya. Pertama2 dibersihkan terus dicukur, lalu dibersihkan lagi dengan alkohol. Bidan lantas memotong sedikit kulit di bagian ( maaf ) klitoris dengan gunting kecil. Setelah 2 minggu Lina sudah bisa memakai jeans dan beraktifitas seperti biasa.
Mbak agnes,
Memang selama ini khitan wanita ditentang WHO karena prakteknya yg sangat merugikan, terutama di Afrika. Saya sendiri tidak setuju jika wanita dipotong klitorisnya. Itu sich bukan khitan / sunat tapi mutilasi.
Sebetulnya khitan wanita secara benar adalah dengan membuang kulit yg menutupi klitoris, dan klitorisnya sendiri sama sekali tidak disentuh. Khitan seperti ini sebetulnya malah bermanfaat bagi wanita ybs, karena klitorisnya menjadi terbuka dan mudah dibersihkan, sama seperti penis laki2 yg sudah disunat. juga lebih mudah mencapai kepuasan seksual karena klitoris yg terbuka lebih mudah dirangsang
Bahkan di negara2 barat, prosedur khitan seperti ini sering dilakukan untuk tujuan2 tsb. Cuma mereka tidak menyebutnya khitan. Biasa disebut clitoral hood removal. Biasanya pada prosedur labiaplasti yg sanagat populer di sana kulit penutup klitoris juga dihilangkan.
Sebagai dokter wanita pasti suatu hari Mbak Agnes akan diminta untuk mengkhitan anak perempuan. Saya tahu sebab seorang teman baik saya adalh seorang dokter wanita. Awal2nya dia menolak mengkhitan anak perempuan. Tapi kemudian orangtua si anak membawa anaknya ke dukun untuk dikhitan secara tradisional dan kurang higenis. Akhirnya dengan pertimbangan lebih baik dikhitan oleh dokter daripada oleh dukun, akhirnya teman saya itu melayai permintaan khitan anak perempuan.
Mbak Agnes ikut milisnya saja Mbak..bebas koq…sekadar buat info dan menambah pengetahuan saja..pasti suatu saat berguna ;)
wassalam,
Putri
wanita dewasa ingin khitan
6- 2006 oleh jona
pak dokter,bisakah wanita dewasa dikhitan?saya wanita berumur 24 tahun,memiliki kulit penutup klitoris yang seringkali ada kotoran berwarna putih,bisakah kulit penutup klitoris tersebut dipotong agar mudah membersihkannya?mohon bantuannya pak dokter
Jawaban:
Kepada jona,
Pengertian dikhitan yang berlaku selama ini adalah â€manipulasi†terhadap klitoris, bukan penutupnya. Dan saat ini hal tersebut tidak dianjurkan dari segi kesehatan. Penutup klitoris masing-masing wanita berbeda, tetapi jika masih dalam batas normal menurut saya tidak perlu ada tindakan apa-apa. Jika anda merasa hal tersebut mengganggu anda konsultasikan ke dokter Obsgyin di kota anda.
Terima kasih
Sumber url :
http://www.solusisehat.net/tanya_jawab.php?id=3725
Komentar Putri :
Artikel tanya jawab di atas adalah copy artikel http://www.solusisehat.net yg dikelola oleh Dr. Boyke Dianugraha. Menurut saya, wanita tsb memiliki masalah kulit penutup klitoris yg terlalu panjang, atau mungkin juga phimosis.
Solusi terbaik adalah dengan membuang kulit penutup clitoris itu. Phimosis pada penis aki2 cuma bisa diatasi dengan sunat. phimosis pada klitoris wanita bisa diatasi dengan membuang kulit penutupnya
Dear putri,
Thanks buat inputnya yaa, tapi setau saya hood removal clitoris itu nama lainnya clitoridotomy/hoodectomy, atau termasuk dalam FGM tipe I. Dan dari sumber yang saya baca hoodectomy ini memang boleh dilakukan tapi pada kasus-kasus khusus seperti klitoris yang overgrown atau klitoris yang tidak bisa retracted, termasuk yang pimosis, jadi bukan untuk semua wanita. Yang jelas dunia kedokteran mempertimbangkan risk n benefit, kalo memang tidak perlu/tidak ada keluhan, tindakan sekecil apapun termasuk clitoral hood removal kalo ga ada manfaatnya ga akan dipilih. Tentu akan bermanfaat bagi yang punya masalah dengan klitoris/hub sex, tapi apakah clitoral hood removal bermanfaat buat semua wanita? rasanya saya belum pernah baca penelitian soal ini. Kalo ada penelitian yang terbaru tolong kasih tau saya ya Put.
Di majalah ayah bunda (artikel saya copy dibawah), ada pembahasan yang menyatakan bahwa sunat pada wanita tidak ada manfaatnya. Nah dari situ yang saya tangkep sih maksudnya sunat yg diidentikkan dengan FGM, tapi juga samsek nggak ada anjuran sunat yang diperbolehkan (hood removal clitoris misalnya), jadi saran pemerintah justru agar mengedukasi masyarakat untuk tidak melakukan sunat pada wanita. Kalo memang ada data penelitian bahwa hood removal klitoris memang bagus untuk semua wanita, milisnya putri bikin usulan aja ke depkes supaya bikin penelitian dan woro-woro untuk bikin definisi sunat dan cara sunat yang sesuai dengan kultur di Indo, bermanfaat banget kan biar ga bikin bingung masyarakat :-)
Btw, soal temen dokter wanitanya putri, masing2 orang berhak memilih keputusan apapun kan ya. Kalo saya pribadi, saya bukan tipe yang melakukan sesuatu karena ‘dp ke dukun’ misalnya. Tapi prinsip apa yang saya pegang itulah yang akan saya lakukan. Kalau misalnya FGM itu berbahaya ya saya harus berusaha mengedukasi pasien supaya tidak melakukan FGM, dan saya tidak akan mau melakukannya walaupun pasien maksa. Kalau dia tetep keukeuh ke dukun pada akhirnya bukan tanggung jawab saya lagi, yang jelas saya sudah coba edukasi sebelumnya kan.
Nah kalo memang pasien membutuhkan hood removal klitoris, saya cuma dokter umum, bukan kapabilitas saya untuk melakukannya, apalagi sekarang jaman tuntut menuntut, bisa berabe kalo saya melakukan yang bukan jatah saya. Kalo memang ada masalah di klitorisnya akan saya rujuk ke dokter bedah yang lebih ahli. Kalau saya nggak salah (apalagi di LN termasuk di Belanda sini) dokter umum samsek ga berhak melakukan hood removal klitoris, dan hood removal klitoris pun dilakukan bila ada indikasi/keluhan dari pasien, tapi ya di Indonesia memang ceritanya lain, apa sih yang nggak bisa dilakukan di Indo hehe… Tapi saya baca di link ini : http://www.cbc.ca/story/world/national/2005/06/02/circumcision050602.html
dokter dan paramedis yang melakukan female circumsision di Indonesia bakal di ban lo, wah serem juga ya :-)
Oke, sekali lagi thanks buat inputnya yaa… ini saya copy dari ayahbunda artikel soal melarang sunat pada wanita.
Stop Sunat Anak Perempuan
WASPADA !!!
Beberapa komplikasi yang mungkin timbul akibat tindakan sunat pada perempuan adalah:
• Terjadi risiko perdarahan
• Syok akibat kehilangan darah
• Nyeri
• Infeksi local
• Tetanus
• Trauma dari bagian-bagian seputar alat reproduksi
• Air seni tertahan
• Timbul kista yang nyeri
• Infeksi panggul
• Rasa sakit saat bersenggama
• Masalah infertilitas
• Infeksi saluran kemih berulang
Berbeda dengan anak laki-laki, sunat pada anak perempuan terbukti tidak ada manfaatnya secara medis. Malah merugikan!
Bagi kebanyakan orang di Indonesia, sirkumsisi (lebih dikenal dengan sunat) pada anak laki-laki merupakan peristiwa penting. Ibarat pintu gerbang yang menghubungkan masa kanak-kanak ke masa remaja dan dewasa. Makanya, selalu ada perayaan khusus ketika
melakukannya. Bahkan bagi penganut agama Islam, sunat pada laki-laki diwajibkan.
Sebaliknya, tidak demikian dengan sunat pada anak perempuan. Meski banyak juga yang melakukan, tetapi di Indonesia, sunat pada anak perempuan umumnya tidak “seheboh†anak laki-laki.
Penting Anda tahu, kalangan medis pun kini tidak lagi menganjurkan anak perempuan disunat. Tidak ada manfaatnya Menurut dr. Rini Sekartini, SpA dari Departemen Ilmu
Kesehatan Anak FKUI/RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta, secara media sunat pada anak laki-laki, yaitu berupa pemotongan kulit kepala penis, memang bermanfaat.
Ia menjelaskan, “Lapisan kulit penis terlalu panjang, sehingga sulit dibersihkan. Kalau tidak dibersihkan, kotoran yang biasa disebut smegma akan mengumpul, dan sering menimbulkan infeksi pada penis. Bahkan bisa memicu timbulnya kanker leher rahim pada perempuan yang disetubuhinya. Selain itu secara medis juga membuktikan, bagian
kepala penis peka terhadap rangsangan karena banyak mengandung saraf erotis. Ini membuat kepala penis yang tidak disunat lebih sensitive daripada yang disunat.
Jadi, sunat ternyata juga membantu mencegah terjadinya ejakulasi dini.â€
Di negara lain, misalnya Amerika Serikat, walau masih controversial, mereka juga melakukan sunat pada bayi laki-laku yang baru lahir. Tujuannya, antara lain untuk mengurangi risiko infeksi saluran kemih, penyakit menular seksual, dan pencegahan terhadap kanker penis.
Nah, berbeda dengan anak laki-laki, masih menurut dr.Rini, secara medis sunat pada anak perempuan (female genetical mutilation – FGM) ini, tidak ada manfaatnya. Praktik ‘amputasi’alat kelamin perempuan yang terjadi selama ini pada dasarnya memang tidak terlepas dari nilai kultur masyarakat. Sebagian masyarakat meyakini, perempuan memiliki nafsu seksual lebih tinggi disbanding lelaki. Makanya, menurut mereka, cara
efektif untuk mereduksi nafsu seksual perempuan ini adalah dengan melakukan tindakan sunat,†jelas dr. Rini. Di beberapa komunitas memang ada anggapan, perempuan
tidak berhak menikmati kepuasan sekual sebab dia hanya pelengkap kepuasan seksual
lelaki. “Di luar masalah kultur, yang pasti bila tindakan ini tidak dilakukan dengan hati-hati dan tepat, justru menimbulkan komplikasi, baik akut maupun kronis,†lanjut dr. Rini.
Bentuk Kekerasan
Belakangan ini beberapa organisasi Internasional, seperti Humanitarian National, The World Health Organization (WHO) dan The International Federation of Gynecology and Obstetrics, berpendapat bahwa FGM secara medis tidak diperlukan. Bahkan, The American Collage of Obstretricians and Gynecologist and the College of Physicians and
Surgeons of Ontario, Canada, melarang anggotanya untuk melakukan kegiatan tersebut.
Beberapa ahli juga menyebutkan bahwa FGM adalah tindakan illegal, dan orang yang melakukannya dikatagorikan melakukan tindakan kriminal. Inidianut oleh negara seperti Swedia, Norwegia, Australia dan Inggris. The American Academy of Pediatrics (AAP) pun menganjurkan anggotanya untuk memberikan informasi tentang FGM dan
komplikasinya pada masyarakat. Selain intu, AAP juga minta anggotanya untuk mengenali tanda-tanda fisik dari FGM, waspada terhadap isyu kultur dan etik yang
dikaitkan dengan FGM, serta memberikan penjelasan/edukasi pada pasien yang ingin melakukan FGM, dan mengurangi prosedur medik yang diperlukan untuk mengubah alat genital perempuan.
Bagaimana di Indonesia? Rini menyayangkan data di Indonesia mengenai tindakan sunat
pada anak perempuan tidak banyak. Data yang ada adalah laporan di Somalia (Afrika)
dan populasi Sunda, diperkirakan sekitar 100 juta perempuan menjalani tindakan sunat, dan 4-5 juta diantaranya dilakukan pada bayi perempuan. Sehubungan dengan hal itu, Rini pun menyarankan, sebaiknya dilakukan program edukasi tentang sunat pada anak perempuan ini pada masyarakat. Dalam hal ini tentu saja perlu dipertimbangkan factor
budaya dari masyarakat yang bersangkutan. “Penjelasan secara rinci tentang anatomi genital perempuan dan fungsinya, sangat penting. Begitu juga dampak fisik dan psikologis jangka panjang dari tindakan FGM. Program ini jelas memerlukan kerja
keras, terutama bagi dokter anak atau dokter bedah anak, dan tenaga medis pada umumnya,†katanya. Perlu Anda tahu, pemerintah Indonesia, melalui Kantor
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, mendukung penuh semua usaha
untuk menghapus pelaksanaan sunat pada perempuan, terutama yang merusak organ
reproduksi. Karena, hal ini dianggap sebagai salah satu tindak kekerasan terhadap perempuan. Apalagi, Menteri Kesehatan dr. Siti Fadilah Supari,Sp.JP(K) pun mengungkapkan, sunat perempuan tidak pernah ada dalam standar pelayanan kesehatan.
Sumber; majalah Ayahbunda, no.18/1-14 September 2005
dear mbak Agnes & all,
ini ada beberapa link artikel. mungkin bermanfaat.
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/062006/13/0306.htm
http://www.tabloidnova.com/articles.asp?id=12032&no=2
Buat Dian, makasih ya buat linknya :-) Saya baca itu kasusnya khitan laki-laki ya. Sebetulnya kalo khitan laki-laki malah dianjurkan dan bermanfaat banget. Kasus-kasus gagal kayak gitu memang mesti ada tapi 1diantara beberapa ribu pasien mungkin, sangat jarang. Kalo yang di nova karena alergi obat bius, dan satu lagi ga jelas penyebabnya.
Intinya bisa jadi itu human error atau memang idiosinkrasi obat, tapi yang jelas kalo khitan pada laki-laki ga ada masalah, manfaatnya sudah terbukti dan kasus-kasus seperti diatas sangat jarang. Anyway thanks buat linknya ya, bisa membuat para dokter dan paramedis lebih berhati-hati saat mengkhitan :-)
Mbak Agnes,
Ada benarnya apa yg Mbak Agnes katakan, tidak semua peserta khitanan massal adalah orang yang tidak mampu; ada juga yang mau gratisan saja, walaupun tujuan sebenarnya adalah untuk membantu yang tidak mampu. Saya tidak mau mengomentari soal itu, tetapi pelaksanaannya.
Pengalaman saya begini, karena kesulitan ekonomi, 15 thn lalu saya menjadi peserta khitanan massal. Saya tinggal dgn mbak saya, sementara dia hanya buruh garment. Senang akhirnya dikhitan juga sekalipun mungkin terlambat sekali karena saya sudah kelas 3 smp.
Suasananya persis pasar saja, banyak sekali orang yang tidak berkepentingan; bahkan teman2 sekolah saya yang perempuan bisa ikut melihat. Padahal saya butuh privasi, paling tidak tanpa harus ada teman2 perempuan sebaya yang melihat.
Hampir saya membatalkan ikut untung mbak saya yg meyakinkan untuk tetap ikut, soalnya kapan lagi bisa dikhitan. Akhirnya saya ikut juga pas sampai giliran saya, sekalipun harus menahan malu karena dilihat banyak pasang mata. Menurut saya sebaiknya hanya paramedis dan seorang kerabat saja yg boleh ada.
Setelah proses khitan, selesai juga hubungan peserta dengan panitia. Padahal kan butuh kontrol pasca khitan juga. Untung ada bidan yang tinggal didekat kami yang mau membantu kontrol pasca khitan saya waktu itu. Ada baiknya jika ada pelayanan kontrol pasca khitan yang diupayakan oleh panitia.
Oleh karena itu menurut saya seharusnya ada standarisasi agar lebih manusiawi dan sesuai standar medis, bukan sekedar memecahkan rekord berapa banyak anak yang dikhitan.
Berikut saya lampirkan tanya-jawab soal khitanan massal dari KCM.
Amankah Khitan Massal?
Oleh: Dr Samsuridjal Djauzi
Kasus:
“Saya bersama teman-teman baru saja mengadakan kegiatan khitan massal. Karena kegiatan ini dilaksanakan bersamaan dengan masa liburan sekolah, lebih dari lima puluh anak yang ikut dalam khitan massal tersebut. Acara berjalan sukses.
Saya sudah beberapa kali ikut panitia khitan massal, saya merasakan kali ini tim kesehatan bekerja lebih profesional. Sehari sebelum mengadakan khitan massal, mereka memeriksa terlebih dulu anak-anak yang akan dikhitan, menanyakan kesiapan anak-anak tersebut dan memeriksa keadaan fisiknya.
Pada acara khitan massal, tenaga kesehatan yang melaksanakan semuanya dokter meski banyak yang masih muda. Mereka mengarahkan pengaturan ruangan khitan secara baik sehingga tak terlalu banyak orang tak berkepentingan ada di ruangan tersebut. Alat-alat kedokteran yang akan digunakan untuk khitan jumlah mencukupi. Mereka tak bekerja terburu-buru, baik dalam mengkhitan maupun membalut. Semua tampak rapi.
Jika saya bandingkan kegiatan khitan massal kali ini dengan yang sebelumnya, tampak perbedaan nyata sehingga timbul pertanyaan dalam diri saya; apakah kegiatan khitan massal yang biasa dilakukan di negeri kita sudah mempunyai pedoman baku? Ini saya tanyakan karena tampaknya tenaga pelaksana dan peralatan masih beragam. Tenaga pelaksana khitan tidak hanya dokter, tetapi juga perawat. Persiapan dan pemeriksaan lanjutan anak-anak yang dikhitan juga berbeda. Bahkan, ruangan tempat pelaksanaan khitan sering kali disusun seadanya.
Mengingat yang akan dikhitan adalah anak-anak, sudah sewajarnya diatur agar anak-anak terlindung dari kemungkinan kecerobohan atau ketidakterampilan tenaga kesehatan pelaksana khitan. Meski khitan massal umumnya cuma-cuma, tetapi anak-anak berhak mendapat layanan bermutu untuk menghindari komplikasi yang mungkin timbul.
Saya bukan tenaga kesehatan. Karena itu, saya tak memahami aturan kerja dalam layanan kesehatan. Tetapi, saya berharap kegiatan khitan massal yang merupakan kegiatan sosial ini dapat dilaksanakan secara aman. Bagaimana pendapat Dokter?”
(M di B)
Jawaban:
Saya amat setuju dengan pendapat Anda. Setiap layanan kesehatan perlu dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan rasa kemanusiaan. Meski layanan khitan massal merupakan layanan sosial, mutu layanan harus tetap dijamin.
Setiap tahun di Indonesia ribuan anak menjalani khitan oleh dokter, perawat, bahkan masih banyak yang dikhitan oleh tenaga nonmedis.
Pada khitan dilakukan perlukaan alat kelamin yang memungkinkan terjadinya penyulit perdarahan, infeksi, atau kecelakaan sehingga tindakan itu harus dilakukan tenaga terlatih. Tetapi, sesuai kebiasaan kita, ternyata tak semua tenaga yang melakukan khitan ini mendapat latihan yang diperlukan.
Sebagian tenaga nonmedis melakukan khitan secara turun-temurun. Teman-teman perawat melakukannya dengan terampil, tidak semua berdasarkan pelatihan memadai. Dokter muda ikut dalam kegiatan khitan massal dengan kesadaran sosial tinggi, tetapi sebagian belum cukup terampil.
Kita tentu semua ingin agar khitan di negeri kita, baik perorangan maupun massal, dilakukan secara profesional. Karena, jika timbul kecelakaan atau komplikasi, akan mengakibatkan penderitaan pada anak yang dikhitan.
Belum lama ini saya mendapat kabar dari sahabat saya tentang kecelakaan pada khitan massal yang cukup serius. Sudah tentu kita semua harus mencegah kecelakaan atau komplikasi yang mungkin timbul. Sesuai dengan informasi Anda, tampaknya khitan di negeri kita perlu dibuat standarnya. Tenaga yang akan mengkhitan perlu mempunyai kompetensi yang diperlukan. Peralatan kedokteran yang diperlukan perlu disterilisasi dengan benar. Anak yang akan dikhitan dipersiapkan secara fisik maupun psikis. Tindak lanjut untuk memantau hasil khitan dilakukan dengan baik.
Anda menginformasikan khitan kepada anak laki-laki. Patut kita sadari, khitan pada anak perempuan di negeri kita juga cukup berisiko sehingga harus dibuat standar yang melindungi anak-anak perempuan dari kemungkinan kecelakan.
Mengingat kegiatan khitan pada anak laki-laki dan perempuan amat sering dilakukan, adanya pedoman yang Anda anjurkan amat mendesak. Siapa yang akan menyiapkan standar tersebut ? Kita berharap profesi kedokteran di Tanah Air terpanggil meningkatkan mutu layanan khitan ini sehingga keamanan khitan dapat dijamin.
Memang benar di masyarakat kebanyakan khitan dilakukan sesuai kemampuan masyarakat. Tetapi, puskesmas atau dokter praktik swasta dapat berperan membina dan meningkatkan keamanan layanan khitan di masyarakat. Melalui pedoman tersebut, pelaksanaan pengawasan dapat dilakukan dengan baik.
Sebagai dokter saya mengucapkan terima kasih atas kepedulian Anda pada masalah kesehatan. Anda telah menunjukkan masalah kesehatan adalah tanggung jawab kita bersama. Mudah-mudahan profesi kedokteran dapat menindaklanjuti saran Anda sehingga tak ada lagi anak Indonesia menjadi korban kecerobohan atau ketidakmampuan tenaga pengkhitan. Terima kasih. ***
sumber: KCM, Minggu, 30 Juli 2006 – 08:46 wib
Duh ga kebayang malunya ya mas Bowo :-) Sebetulnya kalau saya pribadi, andai rakyat Indonesia mampu, lebih baik nggak usah ada deh khitanan massal, bagaimanapun bahkan setiap anak punya privacy yang harus dihargai. Semoga someday lebih baik deh.
Mas Bowo, makasih sudah berbagi, dan makasih juga buat sumbangan copy artikelnya :-)
Bu Agnes, anak perempuan saya sudah telanjur dikhitan. Gimana ya ???
Dear mbak Indah,
Sama mbak, anak perempuan saya juga dulu terlanjur di khitan, karena waktu itu masih gaptek jadi ortu :-). Dan saya juga dulu dikhitan mbak sama ortu saya, alhamdulillah sih ga kenapa-kenapa. Saya pikir karena yang sering dilakukan di Indo kan yang digores aja pake jarum mbak, kayak anak saya dulu juga begitu. Kalo kata ortu jaman dulu yang sudah ya sudah, insya Allah ga akan apa-apa :-). Cuma, buat kedepannya, karena kita udah tau ga ada manfaatnya malah ada resiko, buat apa dilakukan. Jadi buat informasi teman , saudara atau buat anak berikutnya aja mbak :-)
Salam kenal bu Agnes,
Begini bu Agnes,di deket rumah saya ada sebuah RSUD,dan kebetulan saya mempunyai kost-kostan yang kebanyakan dihuni oleh perawat – perawat laki-laki yang bertugas di RSUD tsb.pernah suatu hari secara ga sengaja saya mendengar obrolan diantara mereka,yang pada intinya mereka saling menceritakan pengalaman mereka saat menangani pasien wanita,dimana mereka saling menyebut nama – nama wanita yang sudah mereka lihat alat vitalnya,beberapa diantaranya tetangga saya.Mereka juga menceritakan tugas mereka saat mencukur rambut kemaluan pasien – pasien wanita saat akan dioperasi.Pada saat itu saya sangat terkejut dengan sistem pelayanan kesehatan semacam itu,makanya saya ingin menanyakan apakah memang tidak ada kode etik dlm pelayanan kesehatan dimana pasien wanita hanya boleh diurusi oleh perawat wanita?,sehingga hal ini bisa di salah gunakan oleh pribadi-pribadi yang punya sifat iseng (mumpung ada kesempatan ).Sejauh ini yang saya masalahkan adlah perawat,bukan dokter.Kalo dokter,wanita atau pria menurut saya tidak ada masalah,karena saya percaya dengan profesionalisme dan tanggung jawab dokter yang sangat besar terhadap pasiennya.tapi kalo perawat,dari sisi tanggung jawab saja sudah beda,makanya saya mohon kepada bu Agnes agar bisa menampung masukan dari saya ini,agar saudara – saudara kita tidak ada lagi yang menjadi korban keisengan dari perawat – perawat yang tidak bertanggung jawab.Mungkin bu Agnes bisa mengusulkan hal ini pada menteri kesehatan / instansi terkait agar bisa dibuat aturan yang jelas mengenai hal ini ,terima kasih
Saya setuju sekali dengan usul dewi. Sewaktu teman saya melahirkan, malah dijadikan praktikum bagi sekelompok mahasiswa kedokteran, termasuk yg laki2 juga. Memang tujuannya pendidikan, tapi hal itu dilakukan tanpa persetujuan ybs.
Saya rasa hal itu sangat tidak etis.
Kebetulan adik saya menikah dengan seorang lelaki mualaf. Jadi calon suaminya harus disunat dulu sebelum akad nikah. Dokternya laki2, tapi didampingi oleh 2 perawat wanita yg masih sangat muda. Tentu saja adik saya menyatakan keberatan milik calon suaminya dilihat dan dipegang2 oleh wanita lain. Wong saat itu calon istrinya saja belum pernah melihat koq !
Saya setuju sebaiknya dibuat regulasi tentang hal ini.
Satu lagi yg saya tidak habis pikir. Kenapa kebanyakan dokter kandungan justru laki2 ?????
Wah saya baru tahu begitu ramenya pembahasan soal sunat wanita. Sudah jelas gak wajib masih saja diperdebatkan anehkan . Melakukan yg wajib aja susah kok malah yg tidak wajib.Referensi kita umat muslim jg jangan jauh-jauh, ikuti alquran dan rujukannya hadis yg shahih insyaAllah beres.Saya kira dokter-dokter Islam jg harus lebih memperdalam ilmu kedokteran dari Alquran.
Anak perempuan saya sekarang 10 th tdk pernah saya khitan krn gag wajib dan pada keluarga saya jg sdh sy jelaskan tapi krn tradisi lebih kuat daripada Alquran mereka emoh malah menganggap saya yg “sesat”……….
Dear mbak Dewi salam kenal juga :-)
Makasih sharingnya ya mbak, hmm…dasar lelaki ya mbak hehe. Usulannya bagus mbak,tapi sayangnya saya bukan pejabat yang bisa didengar suaranya, tapi someday kalo ketemu salurannya saya akan sampaikan mbak. sekali makasih ya :-)
Dear mbak Evina, wah…wah memang menyebalkan ya kalo kasusnya seperti adik nya mbak. Ya begitu lah mbak di Indonesia bidang kesehatannya juga masih carut marut, mudah-mudahan suatu saat ada aturan yang bisa tegak soal ini ya.
Tentang dokter kandungan laki-laki, sekolah spesialisasi di bagian kandungan itu berat banget mbak. Kalo perempuan, biasanya suami dan anak jadi korban, hampir ga ada waktu buat keluarga, jadinya rawan perceraian juga, blum lagi musti siap dipanggil kapanpun. Jadi cuma perempuan2 yang mau berkorban hal ini atau yg belum berkeluarga aja yg mau jadi dokter kandungan. Kalo laki-laki kan relatif ga masalah ya, urusan anak diiserahkan ke istri, dan memang kalo laki-laki kerja nyaris 24 jam bahkan seminggu sekali pulang juga udah dimaklum, krn dia tg jawab cari nafkah. Kalo perempuan, harus punya suami, dan keluarga yang betul2 mendukung baru bisa jalan, blum lagi masalah fisik juga harus kuat. Wah pokoknya saya juga salut deh sama perempuan yang mau jadi dokter kandungan atau bagian-bagian berat lainnya.
Iya ya mbak Ewi, kadang manusia emang suka membuat yang susah jadi gampang n yang gampang dibuat susah. Kalo gitu kasih bukti2 penelitian dan artikel-artikel ttg kebijakan di Indonesia aja ke keluarganya mbak, biar nggak dianggap sesat lagi, jadi malah bisa memberikan pencerahan :-). Smoga sukses yaa…
MUI Tak Mempersoalkan “khitan” Bagi Wanita
Banjarmasin (ANTARA News) – Majelis Ulama Indonesia (MUI) nampaknya tak mempersoalkan ketentuan “basunat” (khitan) bagi perempuan, karena hal itu masih dianggap aman dan tak ada persoalan kesehatan terhadap yang bersangkutan.
Seperti dikemukakan Ketua Dewan Pimpinan Pusat MUI, Drs. H. Amidhan,
saat berada di Banjarmasin, basunat bagi bayi perempuan maupun laki-laki sebagaimana dilakukan selama ini nampaknya aman-aman saja, demikian dilaporkan, Selasa.
“Apalagi basunat itu dilakukan bagi seorang Muslim, karena khitan selain membersihkan najis dari alat kelamin atau kemaluan, yang merupakan kewajiban terhadap setiap umat Islam, juga bisa mamacu pertumbuhan anak,” tandasnya di sela-sela Rakor MUI Wilayah IV se Kalimantan.
Ia mengungkapkan khitan bagi bayi perempuan dan laki-laki hukumnya sunnah sejak zaman Nabi Ibrahim alaihi salam (AS) dan terus menerus dilakuan hingga masa nabi terakhir (akhir zaman Muhammad SAW), yang akhirnya menjadi sebuah budaya dan kebiasaan yang tidak bisa ditinggalkan bagi seorang Muslim.
Selama ini hitanan bagi perempuan dan laki-laki tidak ada masalah, dan seandainya ada anggapan hitan akan berakibat merusak, sehingga dilakukan pelarangan, maka hal tersebut perlu pembuktian, baik secara teori kesehatan maupun teori lain serta kenyataan dalam kehidupan sehari-hari.
“Jika ada yang menyatakan hitan dapat merusak atau menghambat reproduksi, saya kira hal itu alasan yang mengada-ada. Sebab pertumbuhan yang signifikan terjadi pada penduduk Indonesia yang mayoritas muslim dan rata-rata sudah di hitan,” katanya.
Ia menegaskan, manfaat hitan sangat besar bagi Muslim maupun muslimah karena khitan menghilangkan najis dari kemaluannya (alat kelamin). Oleh sebab itu, Islam memandang positif terhadap pelaksanaan hitan tersebut asalkan dilakukan dengan baik dan benar.
“Sebab seorang Muslim tidak boleh salat sebelum membersihkan najisnya, dan salah satu cara menghilangkan najis tersebut dengan cara dihitan,” demikian Amidhan.
Pendapat senada dikemukakan H. Syamsuddin Hasan, dari Presidium Majelis Wilayah Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Kalimantan Selatan (Kalsel), seraya menyangsikan ketentuan pelarangan hitan bagi bayi perempuan.
“Jangan-jangan pelarangan itu mengandung misi dari kelompok tertentu yang sengaja mengintrodusir dengan dalih kesehatan, sehingga selama kaum Muslimin tak bersih dari najis karena tak dihitan, maka selama itu pula bagi kaum perempuan bisa tidak sah dalam pelaksanaan shalat,” tandasnya.
Oleh sebab itu, mantan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Banjarmasin tersebut mengimbau semua pihak, terutama umat Islam yang bekerja sebagai tenaga kesehatan, harus mewaspadai dan tidak serta-merta turut mengikuti ketentuan pelarangan khitan.
“Apalagi kalau seorang pejabat yang Muslim tanda kajian yang lebih seksama dan mendalam, ikut-ikutan menginstruksikan hitan tersebut dilarang, maka hal itu akan menjadi na`ib (tidak terpuji) dalam keislaman,” demkian Syamsuddin Hasan. (*)
http://www.antara.co.id/seenws/?id=41063
Bagaimana tanggapan teman2 tentang komentar MUI tidak mempermasalahkan khitan wanita ???
Saya rasa sebaiknya MUI bekerja sama dengan Ikatan Dokter Indonesia untuk membuat prosedur standar khitan bagi wanita. Yg aman dan bermanfaat bagi wanita ybs tentunya
Mungkin Mbak Agnes bisa meneruskan ke IDI ???