Penaklukan Arogansi Intelektual

Ada fase baru dalam hidupku kini. Studi suamiku hampir usai sudah. Menjelang pulang sama dengan pembengkakan. Ya, apalagi kalau bukan pembengkakan uang. Belum lagi mimpi-mimpiku masih melambai tak mau terbang. Aku ini doyan jalan. Turki, Maroko, Umroh, duh sungguh sayang kalau tempat-tempat itu dilewatkan. Impianku untuk sekolah lagi pun masih terbayang, tentu saja uang pun dibutuhkan. Ongkos pesawat Amsterdam-Jakarta mahalnya bukan kepalang. Apalagi biaya sekolah.Terlepas akan kemanakah Allah hendak membawa kami menetap nantinya, tetap saja kami harus sejenak pulang. Sejak tiba di negeri ini pertengahan tahun 2004, kami belum pernah sekali pun pulang.

Awalnya aku bimbang. Betulkah aku akan mencari biaya tambahan? Kenapa tidak? Anak-anakku sudah cukup besar. Toh kerja part time disini tak membutuhkan waktu seharian. Aku bisa pilih jam kerja saat anakku sekolah atau setelah suamiku pulang. Dua atau 3 jam saja sehari kan lumayan. Aku pun masih bisa menulis dikala luang. Uang yang kudapat tak seberapa memang, tapi ketimbang sama sekali tak ada tambahan, ya jelas lumayan. Apalagi setahun belakangan aku mendapatkan visa yang memperbolehkan aku bekerja. Berapa banyak TKI ilegal yang datang kemari untuk mencari pekerjaan? Aku sungguh beruntung bukan?

Dalam kepalaku, pertanyaan selanjutnya seperti gasing berputar. Kerja apa? Ijasahku dulu, disini sama sekali tak laku. Paling-paling schoonmaken (tukang bersih-bersih), jadi oppas (jaga anak orang) atau kerja kasar lainnya. “Ah, apapunlah, yang penting ada tambahan,” pikirku. Akhirnya aku pun mencoba melamar, jadi opas, jadi schoonmaken, jadi koki, geen problem, aku jadi rajin cari kerjaan.

Kadang aku gamang. Betulkah memilih untuk kerja part time ini sesuai dengan maunya Tuhan? Aku paling takut berjalan diluar ‘ijin’ Tuhan. Aku lakukan doa-doa panjang agar Allah menentukan jalan. Hingga masanya tiba. Pekerjaan itu dihadirkan di depan mata, begitu mudahnya. Pagi hari aku melamar, sorenya aku langsung diminta datang. Aku memang mengiyakan, tapi jangan heran kalau hatiku sempat kembali goyang. “Apa yang kucari? Uang? Berapa banyak sih yang kudapatkan? Bekerja capek-capek berbulan-bulan lalu habis dibawa pulang? Wadaw, rugi amat! Jungkir balik aku bekerja pun biaya sekolah di luar negeri masih saja tak kan mampu kukejar. Toh tanpa bekerja sebenarnya aku dan keluargaku masih bisa makan, juga masih bisa sedikit jalan-jalan. Lalu buat apa? Tukang bersih-bersih lulusan fakultas kedokteran? Haa? Apa nggak malu?Kemana larinya itu si makhluk yang bernama harga diri?”

Pertanyaan-pertanyaan itu bagaikan tupai berlompat-lompatan. Hmm..harga diri? ‘Makhluk’ itu memang seperti singa pongah, yang tak pernah mau kompromi dan tak mau kalah. Ingatanku kembali pada masa-masa sulitku, saat aku harus meninggalkan profesiku untuk sementara waktu. Terlalu banyak pelajaran yang sudah kulewatkan. Mengapa ia, sang ‘makhluk’, harus kembali datang? Apa kata Tuhan kalau aku masih saja tak bisa belajar?

“Go beyond that! Kalau tidak, semua tentu tak ringan,” suamiku bilang. Kalau memang ini dari Tuhan, pasti ada pelajaran lain yang hendak Ia sampaikan. Aku lalu terdiam. “Kemana kita akan pulang? Apa sesungguhnya maunya Tuhan? Apa sejatinya yang harus kita bawa dikala ‘panggilan Tuhan’ datang? Profesi? Titel? dokter SpAK? Jabatan? Bukan?!” Pertanyaan-pertanyaan klise memang. Tapi semua itu berkelebat dalam ingatan. Tuhan, tolong bukakan hati dan pikiran, agar semua menjadi lapang.

Kemudian, Tuhan seperti mengirimkan SMS panjang. “Kadang intelektual perlu sejenak ditaklukkan. Karena ia, sering tak tahu aturan. Atas nama intelektual manusia kerap jadi arogan. Atas nama intelektual manusia kerap melupakan tugas utama dari Tuhan. Lupa? Bahwa sejatinya manusia lahir kedunia bukan untuk mengejar harta, tahta, atau dokter SpAK. Lupa? Bahwa sesungguhnya misi utama manusia turun ke bumi adalah untuk mengenal jati dirinya, mengenal Tuhannya. Bagaimana bisa kenal Tuhan, kalau arogansi masih merajai hati dan pikiran? Bagaimana bisa tunduk pada Tuhan, kalau ego masih saja diberi ‘makan’! Padahal bersama kepahitan kadang Tuhan lebih mudah untuk dikenal. Dalam kerasnya kehidupan, kadang Tuhan seperti merengkuh dalam buaian. Bekerja lah untuk mengenal Tuhan maka segala beban akan menjadi seperti kapas terbang, ringan!”

Dan seperti daun-daun musim gugur yang sukacita beterbangan, sore itu aku melangkah dengan riang. Aku memasuki sebuah rumah sakit besar, rumah sakit impian bagi para calon dokter-dokter tenar. Impianku tiba-tiba melayang. Andai aku berada disini, dengan jas putih kebesaran, tentu aku akan melambung ke awan. Ah pikiran, jangan kau kelabui aku. Aku tahu lagi-lagi kau hanya menyuruhku berangan-angan agar aku tak bisa mengenal Tuhan bukan? Pstt…dengar, namaku dipanggil. Aku ditempatkan di poliklinik anak-anak! Hmm…bukankah tempat ini yang dulu kuidamkan? Mengapa semua serba kebetulan?

“Apa nggak ada orang lain lagi?” tanya seorang perempuan Belanda menyipitkan matanya. “Ya, cari saja yang lain dalam daftar itu.” Stephanie, mandor cantik berdandan seronok bak Birtney Spears, yang berdiri di sebelahku, menyodorkan kertas miliknya. Hmm…rupanya perempuan Belanda itu tak ingin bekerja bersamaku. “Karena kerudungku? karena badanku kecil, tak bisa diandalkan?” batinku. Ah sudahlah…mengapa langkah riangku ke tempat ini harus terhenti hanya gara-gara omongan perempuan itu. Merasa dilecehkan? Terlupa lagi bahwa Tuhan kadang lebih mudah dikenali dalam kepahitan? Ingat! Semua akan ringan kalau si ego tak diberi ‘makan’. Aku bekerja bukan untuk si mevrouw (nyonya). Aku bekerja untuk Tuhan!

Langkahku kembali riang. Aku mendorong gerobak besar berisi alat-alat kebersihan, plastik sampah dan beberapa ember lengkap dengan lap masing-masing. Aku mencoba mengingat-ingat pesan si ‘Birthney’. Lap merah untuk toilet, lap biru untuk wastafel dan lap hijau untuk meja, kursi serta peralatan kantor. “Jangan lupa, kalau ada tumpahan kopi kamu harus mengepelnya dengan kain yang basah. Kamu juga harus membuang semua kotak sampah dan mengganti plastiknya dengan yang baru. Gagang telepon, meja, kursi jangan lupa dilap ya. Begitu juga dengan toilet. Bersihkan tutup atasnya, juga bagian bawah.” Dengan sepatu hak tingginya, si ‘Birthney’ berkeliling menjelaskan ini itu padaku.

Aku mulai menggosok wastafel, melap cermin, meja, kursi, gagang telepon, membuang sampah, menyapu lantai, mengganti tissue yang habis dari satu ruang ke ruang lain, termasuk ruang toilet. Setengah jam kemudian Stephanie mengontrol.”Agnes, kamu harus lebih cepat, masih banyak ruangan yang harus kamu bersihkan!” Glek! Aku melirik jam tanganku. Sedikit panik, karena waktuku hanya tersisa satu jam, sementara belasan ruangan belum aku bersihkan, termasuk ruang tunggu pasien yang luasnya bukan alang kepalang.

Sebetulnya aku hanya harus membersihkan tempat yang sudah bersih. Harus sekinclong apa cermin itu sehingga aku harus menggosoknya lagi? Tapi semua itu tugasku. Tapi waktu pun memburuku. Ini performence pertamaku. Apa jadinya kalau pekerjaanku tak selesai. Lalu aku segera berlari, gosok sana-gosok sini, buang sampah ini, buang sampah itu. Aku berpikir cepat.Tempat-tempat yang sudah sangat bersih tak kusentuh lagi. Keringatku bercucuran. Tanganku mendadak pegal-pegal. Hingga akhirnya jam menunjukkan pukul delapan malam. Phfuih…akhirnya!

Cukup melelahkan. Tapi aku bersepeda pulang dengan riang. Rasanya hatiku melayang, ringan. Rumah sakit tempatku bekerja itu memang tak akan membawaku menjadi dokter terkenal. Bagaimana mungkin wong aku cuma bekerja di bagian kebersihan. Tapi ditempat itulah aku merasa semakin mengenal Tuhan. Saat ego kutundukkan, saat kepongahan intelektual tak kubiarkan merajalela dalam diriku, tiba-tiba saja aku bisa bekerja dengan cekatan tanpa beban. Bukankah segala yang membuat hati tentram berasal dari Tuhan? Bukankah hatiku semakin bisa merasakan rahimnya Allah, Arrahman-nya Allah, maha Kuatnya Allah, dan sifat-sifat Allah lainnya? Munculnya rasa-rasa yang tak terkatakan ini, tak terbilang dengan uang. Sungguh, pelajaran emas ini, tak akan kudapatkan di fakultas kedokteran paling bergengsi sekalipun. Kini aku paham, fase baru dalam hidupku ini rupanya membawaku pada satu pesan: kadang arogansi intelektual memang perlu ditaklukkan agar kita bisa semakin mengenal Tuhan!

70 Replies to “Penaklukan Arogansi Intelektual”

  1. Ah.

    Terimakasih Mbak Agnes,

    Mata saya sungguh berkaca-kaca membacanya….

    (semoga diberi-Nya keberkahan dan kemudahan di segala sesuatu…amin!)

  2. Mbak,
    salut dengan kegigihan dan ‘penaklukan diri’ mbak.
    Saya dukung mbak, supaya mbak tetap semangat.

    Tapi saya bertanya-tanya mbak, kalau mbak mau sekolah lagi bukankah banyak peluang beasiswa atau mbak bisa melamar bekerja di universitas misalnya? Atau menjadi paramedik misalnya, meski mungkin harus training dulu sejenak?

    Saya punya pertanyaan ini karena sebentar lagi, saya juga akan mengikuti suami yang bekerja di sana. Sementara di jakarta saya punya pekerjaan yang menjunjung kemampuan diri saya, namun saya memutuskan untuk ikut dengannya.

  3. Deuh erman, makasihnya banyak amat hehe. Sama-sama erman. Aku nggak ingin berhenti nulis, tapi kadang-kadang kondisi mengharuskan aku berhenti, mudah-mudahan hanya sejenak, krn bagaimanapun menulis sudah menjadi bagian dari diriku. Tx jg erman krn dah mampir :-)

  4. Halo Nova…makasih dukungannya ya :-)

    Menjawab pertanyaan Nova, mungkin musti diliat dulu kondisinya ya, tiap org pasti kondisinya beda-beda. Kalo aku :
    – pertama, aku baru bisa ‘lepas’ dari anak-anak setaun belakangan ini. Sejak dateng sampe tahun belakangan anak-anakku masih terlalu kecil untuk ditinggal, sementara penitipan anak mahal sekali disini, jd sejak dtg aku memilih stay at home aja.
    – kedua, peluang beasiswa tergantung jurusannya. Beasiswa yg banyak ke belanda itu klo dptnya dari Indonesia, model stuned dll itu. Itupun biasanya lebih diutamakan dosen/PNS/ LSM. Sedangkan aku tidak termasuk dalam ketiganya dan sebelum aku kesini aku jg ga coba apply krn mikirin anak masih kecil, dan aku sama suami sepakat, suami dulu yg sekolah. Kalo nyari beasiswa disini memang ada jg, misalnya delta, walopun ga banyak jumlahnya, cuma masalahnya untuk subjek yang berhubungan dengan medis klinis jarang banget ada beasiswanya. Paling ada yg non klinis, dan yg sesuai sama minatku disini ga ada.
    -ketiga, soal ngelamar kerja, aku baru dpt visa untuk bisa kerja taun ini, taun sebelumnya aku ga bisa kerja, dan ijasah masa lalu kita di Indo tuh hampir sama sekali ga dilirik klo untuk kerja. Klo aku mau kerja jd dokter, prosedurnya rumit banget. Aku harus lulus ikut les bahasa belanda sama nivo 4 terus ambil ujian negara namanya NT2, setelah itu aku musti ikut kaya ujian persamaan gitu, kalo lulus baru bisa kerja. Tapi masalahnya jarang banget pendatang yg bisa lulus, jd kalo emang mau kerja sebagai dokter harus ngulang sekolah dari tahun ke -2, ada yg bilang jg dari taun ke-4.
    -Keempat, untuk ngelamar kerja di tempat laen, misal jd paramedik, ga bisa cuma ‘sekedar’ training, Syaratnya sama harus lulus NT2, lalu ikut sekolah dari awal lg. Misal mau jd perawat ya harus sekolah perawat dari semester I lagi, dan biaya sekolahnya itu aduhai banget mahalnya kalo buat ukuran kocek aku :-) Begitu jg soal kerja di universitas, tergantung mau kerja apa, bahkan kalo mau jd recepsionis yg dikantor2 itu jg harus ada sekolahnya dulu 2 atau 3 tahun.

    Jadi begitulah kondisinya di belanda. Kalo emang mau kerja/sekolah disini, menurutku nova mending apply dari Indo. Sebab kalo dtg kesini ngikut suami aja, aga complicated, belum tentu dpt visa kerja. Kalo mau sekolah mostly harus biaya sendiri, kecuali klo mau cari beasiswa dr sini bisa jg sih asal jurusannya cocok aja. Ada jg koq pasangan suami istri yg suaminya ambil S3 lalu istrinya ambil master krn mereka sejurusan, jd profesornya sama. Ya intinya betul2 tergantung sikon masing2 ya.

    Ok deh gitu aja dah panjang ya penjelasanku hehe semoga bermanfaat ya :-)

    agnes

  5. Tentu bermanfaat…mbak salah satu blogger yang saya kagumi dan berterima kasih…
    Terima kasih banyak mbak….untuk sharingnya….
    tetap semangat….dan tetap menulis…saya tunggu terus ceritanya…

  6. dear mbak agnes,

    pertama x mbak & keluarga datang ke groningen sy sudah rajin mengikuti blog mbak namun ini pertama x sy memberikan coment.

    membaca tulisan mbak ini komentar saya…sukurlah mbak, mbak akhirnya naik lagi menuju tahap pencarian makna hidup.

    terutama bila kita sudah berkeluarga, mempunyai tanggungan, semua ego diri akan dikesampingkan. Saat ini sy sudah hidup aman damai dengan pekerjaan alhamdullilah cukup mapan di jakarta. namun 3-4 tahun lalu ketika kembali ke indo dari belanda sy mengalami apa yg mbak alami sekarang ini….

    Tapi nampaknya dalam waktu yg tidak terlalu lama sy akan kembali mengadu nasib ke negeri orang, meninggalkan segala kemapanan di jakarta dan saya sudah mempersiapkan mental dan fisik untuk menghadapi apapun di tempat baru nanti termasuk -seperti istilah mbak- menaklukkan arogansi intelektual didalam diri (saya memegang dua gelas master, satu master lokal dari PTN ngetop di jakarta dan satu master dari belanda)….

    betul sekali kata mbak..apa sih jabatan, gelar dll ukuran dunia itu? Itu memang cukup penting tapi kelak seiring dengan perjalanan kehidupan, kita semakin menyadari bahwa itu bukan segalanya …

    saya juga saat ini kadang2 gamang memikirkan keputusan saya untuk mengadu nasib di negeri orang, memulai hidup dari nol lagi, siap melakukan pekerjaan kasar apapun dan menjadi semakin berat bila kita sebenarnya sudah hidup cukup mapan sebelumnya….

    tapi percayalah mbak…seperti yang sy alami sendiri..setelah kita melewati pengalaman2 seperti ini, akan membuat kita semakin kuat untuk mungkin menghadapi tantangan hidup yg lebih berat dikemudian hari, semakin membuat hidup kita penuh warna dll…..

    salam,

    adi

  7. Terimakasih kembali nova :-) Kabar2in ya klo jadi pindah ikut suami, mana tau kita bisa ketemu darat :-)

  8. Dear adi, makasih banyak sharingnya, semakin menguatkan diriku nih :-)
    Bener ya di, hidup kita jadi penuh warna, aku jg jd ketemu sama banyak orang yang tidak terduga dengan segala latar belakangnya. Aku ketemu sama orang suriname, nigeria, karibian island,maroko, iran, wah macem-macem deh, dengan segala karakternya :-)

    Semoga adi sukses menapaki hidup baru di negeri orang nanti ya, ditunggu ceritanya :-)

    Skali lagi makasih banyak buat sharingnya :-)

    agnes

  9. ai dearr..kangeeenn!!!…aku lagi mampir di rumah bentar nih nes..dan balik ke sana lagi tgl 11 ini sampe tengah des..hiks…kapan bisa telponan yaa….btw…aku bangga agnes bisa njalanin dan memutuskan smua ini…:)..sbg sesama pernah kerja “berat”, aku bisa empati bener deh ama nes ini :D…any way…org berhak menilai kita dg perkiraan apa saja, tapi biarkan saja deh, toh hanya Dia yang tahu hati kita..luv u nes….slm sayang buat anak anak yaaa…btw..foto2 di spanien kemarin keren keren lhoo :)

  10. alhamdulillah akhirnya intan menemukan sesuatu dari tulisan2 mba Agnes. Sejak intan nyampe groningen, blon sempet sih ketemu mba Agnes, semoga dalam waktu dekat ya.
    baca tulisan yg ini, intan jadi teringat saat di jepang. Sama seperti yg dirasakan mba agnes, terkadang intan ga ikhlas harus meninggalkan pekerjaan, meninggalkan indonesia dimana orang2 yg intan cintai tinggal, dimana intan harus rela menyandang status unemployee, ga gampang emang ya. Tapi alhamdulillah, intan musti bersyukur, ketemu dengan ibu2 yg seperti mba Agnes, yg memberikan inspirasi untuk intan, untuk berbuat yg lebih baik dan lebih berguna pastinya untuk suami, anak dan orang lain.
    Intan juga pernah merasakan kerja part time sebelum kembali ke indo, jadi penjaga anak di day care. Penghasilan ga seberapa, tapi kepuasan itu yg paling penting. Akhirnya…… aku bisa menghasilkan sesuatu selain jd ibu rumah tangga….
    gak peduli itu kerja kasar ato apa, tapi sungguh doa intan dikabulkan Allah….alhamdulillah
    pokoknya intan seneeeeeeeeeng deh baca2 tulisan mba Agnes….

  11. Ya memang royaltinya lumayan ya, cuma dari buku pertama saya, dr segi materi saya belum terima apapun, ga laku berarti ya hehe. Tapi ada kepuasan batin tersendiri yg ga terbayar dengan uang koq :-)

  12. Hai Iiin kangen juga :-) Wah klo gitu ntar pertengahan desember harus kutelpon neh, kabarin ya klo udah sampe :-). Wah ternyata kita sesama pernah kerja ‘berat’ ya In hehe, tapi hikmahnya memang banyak ya In. Sun sayang jg buat anak2 yaa..luv.

  13. Aiih intan, komennya bikin aku kegeeran aja neh :-) Tx ya say..ntar kita lanjut rumpiannya di rumahku yaa, kita emang musti ketemuan neh, secara tetangga gitu loh :-)

  14. subhanallah betul sekali…banyak hal yang mesti kita taklukkan dalam diri kita supaya bisa lebih kenal Allah…
    umminya asiya skr kuliah sambil parttime juga…

  15. Hebat sekali umminya asiya, sambil ngurus anak, parttime kerja, kuliah juga, wah salut :-) Pasti dukungan suaminya jg oke ya :-) salam buat umminya asiya :-)

  16. pernah denger cerita serupa yg dialami orang tua murid di tempatku bekerja. tapi membaca ini, saya ga bosen, malah lebih seperti di re-fresh. THANKS!

    btw, Britney -nya ko “BritHney”? hihi….

  17. hehehe iya salah tulis ya, mestinya britney, abis bukan penggemarnya seh, jd salah2 tulis deh hehe ngeles mode on. Makasi yaa krn dah mo baca, smoga bermanfaat :-)

  18. Mbak makasih atas sharing cerita ini. Aku tadinya nyasar gara gara nyari resep bakso. Alhamdulillah nemu cerita ini. Bener-bener cerita yang membuatku juga untuk bisa menaklukan arogansi intelektual agar kita bisa semakin mengenal Tuhan! Apapun kata orang, apapun anggapan orang, yang Maha Tahu lebih tahu segalanya. Makasih sharing ceritanya, semoga Allah selalu memberikan berkahNya kepada Mbak dan keluarga, amien.

  19. sama-sama makasih jg chera krn dah mau baca, syukur klo ada manfaatnya, aku jg nulis ini untuk selalu mengingatkan diri sendiri n nih :-)

  20. Hi agnes, masih inget aku tak?? kamu hebat sekali survive di negeri orang.

Comments are closed.