‘Batre’ itu Perlu

“Bunda sekarang udah ngga suka marah lagi,” kata Lala pagi tadi. Ayah langsung nyolek-nyolek bunda sambil kedip-kedip mata dan bilang,”Tuh liat, anakmu tuh,” goda ayah. Bunda langsung mesam-mesem deh.

Wuah ternyata…sebagai ibu, kita memang selalu butuh ‘batre’ baru dan butuh suasana baru untuk mengingatkan lagi dan lagi agar kembali ke jalur yang benar dalam urusan parenting. Jatuh bangun dalam pengasuhan rasanya nggak jauh beda sama naik turunnnya iman. Jadi, ‘batre’ itu sangat-sangat membantu untuk kembali bangkit.

Karena ‘roda’ dalam rumahku bulan belakangan ini kembali berputar kencang, aku terbawa arusnya. Bekerja sebagai cleaning service di rumah sakit, walaupun hanya 2,5 jam saja sehari, cukup menguras tenagaku. Walaupun sekarang aku mulai terbiasa, dan malah menganggapnya sebagai suatu kegiatan olahraga, tapi awalnya aku sering sekali pulang dalam keadaan capek. Capek artinya gampang naik darah. Ditambah lagi, sejak beberapa minggu lalu, aku pun kerja pagi di thuiszorg. Kerjaku membersihkan rumah orang-orang tua yang sudah tidak berdaya, sakit karena tua dan tak bisa lagi membersihkan rumahnya. Aku kerja pagi saat anak-anak sekolah, walaupun tidak setiap hari, tapi rupanya fisik aku belum terbiasa. Karena itu lah segala teori parenting gampang sekali lenyap dari kepala. Yang ada, pulang kerumah aku lebih banyak diam dan gampang tersulut.

Akibatnya, Lala, yang sangat pintar membaca bahasa tubuhku, jadi gampang menangis. Walaupun akhirnya kami selalu berpelukan dan bermaaf-maafan, tapi aku sadar, aku sudah ‘out of control’. Dan beruntungnya, tanggal 24 dan 25 November kemarin, Ibu Rustika Thamrin, psikolog dari yayasan Kita dan buah hati datang ke Belanda. Beliau memberikan training “Komunikasi dalam Pengasuhan Anak” untuk ibu-ibu di Amsterdam.

Dulu sekali, sebelum aku datang kemari, aku sudah pernah mengikuti pelatihan ini. Saking kepinginnya bisa ikut training ini sebelum pergi ke Belanda, aku mau bela-belain mengkoordinir acara itu. Aku bekerjasama dengan sekolah Bumi Limas milik mba Luna, mencari peserta, supaya acara bisa berjalan dan ga nombok. Alhamdulillah bisa terkumpul 15 orang untuk memanggil trainer dari yayasan kita dan buah hati Jakarta untuk bicara di Bandung.

Sesampainya di Belanda, aku mencoba mempraktekkan hasil pelatihan itu. Mencoba menghindari 12 gaya populer komunikasi (memerintah, menyindir, menyalahkan, mengancam, meremehkan, membandingkan, mencap, membohongi, mengkritik, menganalisa, menghibur, menasehati) yang sebetulnya tidak baik dampaknya buat anak. Aku pun mencoba untuk mendengar aktif , mendengar anak dengan mata dan hati, menerima mereka apa adanya, mengenali perasaan yang muncul dan memberi nama perasaan tersebut, mencoba ‘piknik’ ke pikiran dan hati anak, dan lain-lain.

Berhasilkah? Hmm…aku ga tahu. Semua proses. Tetap saja kadang aku terlupa. Dalam kondisi capek, marah, sibuk, lagi-lagi telunjuk bermain, lagi-lagi ancaman keluar, lagi-lagi memerintah, menyindir, masih saja kerap kugunakan. Setelah bu Elly Risman datang ke Belanda, dan semangatku kembali bangkit, aku mulai membetulkan lagi cara-cara komunikasi yang salah dengan anakku.

Tapi begitulah…setiap roda kembali berputar kencang, mudah sekali aku kembali terlupa. Mengapa? Aku tahu, karena belasan tahun aku dididik dengan 12 gaya komunikasi yang sudah sangat populer itu, tentu tak mudah untuk merubahnya. Memori itu sudah merekat sangat kuat, sehingga dia akan berloncatan dengan sendirinya ketika diriku sudah ‘out of control’. Beruntung ‘batre’ baru kerap dihadirkan dalam hidupku.

Saat pelatihan, aku kembali diingatkan bahwa anak-anak adalah pembaca body language yang sangat pintar. Bahasa tubuh yang kita tampilkan, 90 % pesannya lebih terbaca oleh anak. Isi pesan hanya 7 % saja sampainya ,sedangkan, suara hanya 3 %. Jadi, senyum yang dipaksakan ke anak, maaf yang hanya basa-basi, sungguh dampaknya nggak baik buat anak.

Aku juga diingatkan lagi, bahwa ‘sungai’ emosi kita tak boleh terbendung terus menerus oleh karung-karung pasir. Kalau itu terjadi, dampaknya biasanya akan terlihat saat usia mid life. “Karena itu banyak orang depresi, bercerai dan lain-lain di usia midlife,” kata bu Tika. Dampak ke anak, anak lah yang biasanya jadi korban emosi kita yang terbendung itu. Anak salah sedikit aja, marah kita hebohnya luar biasa. Dampak lebih jauhnya lagi, anak yang kerap diabaikan perasaannya, yang hubungan komunikasi dengan orangtuanya buruk, tentu akan menjadi anak yang rapuh. Mereka jadi tak bisa berempati, gampang terpengaruh, tak mandiri, tak bertanggungjawab, tak bisa menjadi problem solver dll.

Padahal, jaman sekarang, pengaruh dari luar, seperti banjir. Kalau kita ga bantu anak untuk mandiri, mempunyai internal motivation dan konsep diri positif, akibatnya bisa berabe. Apakah generasi produk masa lalu harus kembali terulang? Padahal kita tahu sendiri hasilnya seperti apa. Ya seperti kualitas manusia Indonesia kebanyakan yang ada sekarang ini (termasuk diriku tentunya :-)).

Gimana caranya supaya ‘sungai’ bisa lancar mengalir? Karung-karung pasir itu harus disingkirkan, baik orangtua maupun anak. Keluarkan emosi negatif kita sendiri dan dengarkan perasaan anak agar anak juga bisa menyalurkan emosi nya. Marah, asal ga berlebihan, ga masalah. Kalau udah nggak tahan, cukup katakan bahwa kita sedang marah. Kalau perlu ‘Time Out’ dulu, cari waktu buat menenangkan diri sebentar, setelah itu baru lanjutkan pembicaraan dengan anak. Dengan mengeluarkannya, anak akan belajar mengenali perasaannya, peka terhadap perasaan orang lain dan juga belajar memanage emosinya.

Buat aku, yang masih sering terlupa adalah mengungkapkan emosiku sendiri ke anak. Untuk mempermudah mengingat, gunakan ‘Pesan Saya’. Rumusnya begini: Bunda merasa ….kalau….karena….(konsekuensi) Contoh kalimatnya begini,”Bunda ga suka, bunda terganggu kalo aik main-main terus sambil makan, karena …..atau Bunda lama-lama kesal kalau lala dan aik lama sekali pake bajunya karena…bisa terlambat sekolah.” Biasanya yang aku lakukan kalau sedang dalam kondisi capek, aku mengeluarkan kalimat seperti ini: “Ayo makannya cepet, ga usah main2! Ayo cepet pake bajunya nanti telat!”

Dengan cara seperti itu anak tidak belajar bahwa apa yang dilakukannya berdampak buat orang lain. Dia ga tau bahwa mamanya akan kesal, orang lain terganggu dan lain-lain.

Sebaliknya kalau anak sedang bermasalah, kita harus bisa ‘mendengar aktif’. Kuncinya dengan kalimat ini,” Kamu….(perasaan) …karena….(alasan)”. Misal Lala nggak bisa bobo udah malem padahal besok sekolah. Tapi sebenernya dia juga udah kepengen bobo. Biasanya aku bilang gini,” Ayo mba bobo, coba deh merem, besok kalo telat bangun gimana.”

Mestinya kita coba piknik ke dalam dirinya dan bicara dengan kalimat begini,”Mbak lala lagi bersemangat mikirin sesuatu ya, jadi susah bobok.” Gara-gara kemaren aku ngomong begitu lala lansung bilang sendiri,”Mbak lala hari ini ga terlalu capek bun, makanya mbak lala jadi ga bisa bobok.” Terus dipeluk sebentar bobok deh.

Intinya, aku jadi diingatkan kembali untuk respek sama anak, untuk mendengar dengan mata dan hati, menamakan perasaan anak dan mencoba mengembangkan internal motivation dalam diri mereka. Tapi selain itu anak juga harus belajar disiplin. Ini bisa dilakukan dengan rumus ‘pesan saya’ tadi. Wah panjang deh pokoknya ceritanya. Kesimpulannya kalo disiplin dan kasih sayang kita lakukan secara seimbang, ‘pesan saya’ dan ‘mendengar aktif’ kita lakukan secara seimbang, insya Allah…komunikasi kita dengan anak akan terus hangat, anak akan tumbuh menjadi anak yang mandiri, bertanggungjawab, bisa jadi problem solver dan kita akan mudah melewati masa-masa sulit pengasuhan.

Oya pas di Amsterdam aku mengorek-ngorek cerita ibu-ibu yang anaknya udah mulai ABG. “Wuaah bener Nes, isinya beranteem melulu aku sama dia,” kata temenku. “Iya sejak umur 11 tahun dia jadi pendiam, suka rahasia-rahasiaan,” kata temenku yang lain. Pokoknya seru deh, malah katanya lebih seru dari terrible two.

Usia 11-17 thn dalam psikologi memang dikatakan sebagai usia terberat (selain terrible two, dan mid life) dalam fase kehidupan manusia. Terjadi lagi ‘gonjang-ganjing’ dalam tubuh anak remaja, yang bakal membuat ortunya senewen berat. Dan dengan komunikasi yang oke, masa sulit ini akan jauuh lebih mudah untuk dilewati, begitu kata ibu Tika. Sekarang lala udah mau 8 tahun, 3 tahun lagi…hmm..welcome to the jungle! Moga-moga dengan sering-sering mendapat ‘ batre’ aku jadi bisa lebih siap memasuki ‘jungle’ itu.

2 Replies to “‘Batre’ itu Perlu”

  1. assalamu alaikum, salam kenal. Bagus banget postingannya. Pas sama kondisi Aku yang lagi senewen ngurusin si 5 tahun. Kayanya bakal baca semua diary parentingnya nih.

Comments are closed.