Pikiran Rakyat, Minggu, 28 Maret 2004
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0304/28/hikmah/lainnya02.htm
RAMBUTNYA tampak kusam kemerahan. Matanya yang cekung menatap tanpa gairah. Tubuh kecil dan kurus membuatnya terlihat ringkih. Sesekali digunakannya lengan baju untuk mengusap ingus yang keluar. Batuk- batuk kecil pun kerap terdengar dari mulutnya. Anak lelaki itu berjalan lunglai, bersama seorang ibu yang menggandengnya.Masuk ke dalam ruang praktik dokter, ibunya bercerita ” Anak saya sakit biasa Dok, panas-batuk-pilek. Sekarang, batuknya sudah 3 minggu lebih belum sembuh. Tapi saya bosan, hampir setiap bulan saya ganti dokter. Ririwit pisan budak teh, Dok (mudah sekali sakit anak ini, Dok). Mana makannya susah sekali. Padahal sudah saya beri vitamin dan obat cacing, tapi tetap saja kurus begini.”
Dokter memeriksa dengan teliti, memberi surat pengantar ke laboratorium, dan berpesan agar mereka kembali kontrol. Akhirnya, dokter menyimpulkan, “Ibu, anak ibu kemungkinan menderita tuberculosis (TB) Paru.”
“Hah!?” Kontan si ibu terhenyak.
“Dari mana, Dok? Di keluarga saya mah tidak ada turunan yang begini. Memang bapak tetangga sebelah itu Dok, seperti yang saya ceritakan kemarin, sering batuk-batuk. Katanya punya penyakit bronchitis. Dulu malah pernah batuk darah, sudah bosan berobat tapi belum sembuh juga katanya.”
Dokter pun menjawab, ” Saya memang sering mendengar masyarakat awam menyebut penyakit ini bronchitis, Bu. Padahal sama sekali berbeda. Lagipula, penyakit TB memang tidak diturunkan, tapi menular .”
Setiap tahun dunia diingatkan tentang bahaya TB melalui “TB Day” yang diperingati setiap tanggal 24 Maret. Walaupun pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan untuk menanggulangi penyakit TB, angka kejadian penyakit ini tetap tinggi dan cenderung meningkat.
Kasus di atas sering terjadi di masyarakat. Penderita TB anak yang tidak terdeteksi, atau terlambat diketahui. Selain karena sulitnya dokter mendiagnosa kasus TB pada anak, banyak pula masyarakat yang belum mengetahui seluk beluk penyakit ini. Masih banyak orang yang tidak mengerti bahwa penyakit TB dapat menular. Hal ini menyebabkan sebagian masyarakat tidak waspada ketika mengetahui ada penderita TB dewasa di sekitarnya. Penderita sendiri terkadang malas berobat atau tidak tuntas menyelesaikan pengobatan. Padahal sumber penularan yang paling berbahaya adalah orang dewasa yang positif menderita TB.
Dalam ‘Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis’ yang dikeluarkan Departemen kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI) tahun 2003, diperkirakan terdapat 8 juta kasus baru terjadi di seluruh dunia setiap tahun dan hampir 3 juta orang meninggal sebagai akibat langsung dari penyakit ini. Kasus tuberculosis pada anak terjadi sekira 1,3 juta setiap tahun dan 450.000 di antaranya meninggal dunia. Laporan World Health Organization (WHO), tahun 1997, menyebutkan Indonesia menempati urutan ketiga dunia dalam hal jumlah kasus TB setelah India dan Cina. Pada tahun 1999 WHO memperkirakan, dari setiap 100.000 penduduk Indonesia akan ditemukan 130 penderita baru TB paru dengan bakteri tahan asam (BTA) positif.
Prof. Dr. Cissy B. Kartasasmita SpA, dokter spesialis konsultan penyakit paru anak, dalam makalahnya, ‘Pencegahan Tuberkulosis pada Bayi dan Anak’ ( tahun 2002) menyebutkan, karena sulitnya mendiagnosa TB pada anak, angka kejadian TB anak belum diketahui secara pasti. Namun bila angka kejadian TB dewasa tinggi dapat diperkirakan kejadian TB anak akan tinggi pula. Hal ini terjadi karena setiap orang dewasa dengan basil tahan asam (BTA) positif akan menularkan 10 orang di lingkungannya, terutama anak-anak. Karenanya sangat penting untuk mendeteksi TB pada dewasa dan menelusuri rantai penularannya. Sehingga setiap anak yang mempunyai risiko tertular dapat dideteksi dini dan diberi pencegahan.
Beberapa hal yang diduga berperan pada kenaikan angka kejadian TB antara lain adalah, diagnosis dan pengobatan yang tidak tepat, kepatuhan yang kurang, migrasi penduduk, peningkatan kasus HIV/AIDS, dan strategi DOTS ( Directly Observed Therapy Short-course) yang belum berhasil. Strategi DOTS adalah program yang direkomendasikan oleh WHO. Sejak tahun 1995 program ini dilaksanakan untuk menanggulangi pemberantasan tuberculosis paru di Indonesia.
Apakah tuberculosis itu? Dalam buku Depkes yang sama disebutkan, tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang sebagian besar disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Kuman tersebut masuk ke dalam tubuh manusia melalui udara pernafasan ke dalam paru. Kemudian kuman menyebar dari paru ke bagian tubuh lain melalui system peredaran darah, system saluran limfa, saluran nafas atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. TB dapat terjadi pada semua kelompok umur, baik di paru maupun di luar paru.
Sebagian besar orang yang terinfeksi (80-90%) belum tentu menjadi penderita tuberculosis. Untuk sementara, kuman yang berada dalam tubuh mereka bisa berada dalam keadaan dormant (tidur). Orang yang tidak menjadi sakit tetap mempunyai risiko untuk menderita tuberculosis sepanjang sisa hidupnya. Sedangkan mereka yang menjadi sakit disebut sebagai penderita tuberculosis.
Dalam makalah yang berjudul ‘Diagnosis dan Pengobatan Tuberkulosis pada Bayi dan Anak’ (tahun 2002), dr. Oma Rosmayudi SpA, pengajar di Fakultas Kedokteran Bagian Ilmu Penyakit Anak Universitas Padjajaran, menjelaskan bahwa penyakit TB ditularkan orang dewasa kepada anak-anak, dan tidak dari anak ke dewasa. Sumber penularan yang paling berbahaya adalah penderita TB dewasa dan orang dewasa yang menderita TB paru dengan kavitas (caverne). Kasus seperti ini sangat infeksius dan dapat menularkan penyakit melalui batuk, bersin dan percakapan. Semakin sering dan lama kontak, makin besar pula kemungkinan terjadi penularan. Sumber penularan bagi bayi dan anak yang disebut kontak erat, adalah orangtuanya, orang serumah atau orang yang sering berkunjung.
Hal-hal berikut dapat terjadi pada bayi dan anak yang mempunyai kontak erat dengan penderita TB dewasa. Anak mungkin tidak pernah terkena infeksi, terkena infeksi tetapi tidak sampai menderita penyakit, mengalami infeksi yang kemudian menjadi penyakit, atau mengalami infeksi laten beberapa lama kemudian (akan mengalami penyakit apabila terjadi penurunan daya tahan tubuh). Anak yang rawan tertular TB adalah anak yang berusia dibawah 5 tahun. Bila terinfeksi, mereka mudah terkena penyakit TB, dan cenderung menderita TB berat seperti TB meningitis, TB milier atau penyakit paru berat. Muncul tidaknya infeksi penyakit TB tergantung beberapa faktor seperti daya tahan tubuh (umur,status gizi, penyakit, ada tidaknya kekebalan spesifik) serta jumlah dan virulensi kuman yang sampai ke saluran di paru-paru.
Diagnosis, pengobatan dan pencegahan
Mengapa diagnosa pasti TB pada anak sulit ditegakkan?. Diagnosis pasti TB dibuat bila ditemukan basil TB dari bahan yang diambil dari dahak (sputum), bilasan lambung atau jaringan yang terkena penyakit. Tetapi pada anak hal ini sulit dan jarang didapat. Karenanya diagnosis TB pada anak didasarkan atas diagnosis kemungkinan (probability) dari hasil gambaran klinis, gambaran radiologis, uji tuberculin dan pemeriksaan lain yang cocok. Selain itu, anak yang menderita TB tidak banyak menunjukkan gejala dan tanda. Hanya sebagian kecil penderita yang memberikan gejala tidak spesifik seperti demam, sulit makan, penurunan berat badan, batuk dan mengi (sesak nafas).
Konsensus nasional TB anak IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) 2002 membuat alur deteksi dini dan rujukan TB pada anak sebagai berikut. Seorang anak dicurigai menderita TB bila, ada riwayat kontak dengan penderita TB sputum BTA positif, reaksi cepat BCG( timbul kemerahan di lokasi suntikan dalam 3-7 hari setelah imunisasi BCG), berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan kurang yang tidak naik dalam 1 bulan meskipun sudah dengan penanganan gizi, demam lama atau berulang tanpa sebab yang jelas, batuk lebih dari 3 minggu, pembesaran kelenjar limfe superficial yang spesifik, skrolfuloderma, konjungtivitis fliktenularis, tes tuberculin yang positif (> 10 mm), dan gambaran foto rontgen sugestif TB. Bila ditemukan 3 gejala atau lebih, maka seorang anak dianggap menderita TB dan harus mendapatkan obat anti tuberculosis (OAT). Selanjutnya anak diobservasi selama 2 bulan. Bila keadaannya membaik maka OAT diteruskan, tapi bila tetap atau memburuk harus dirujuk ke rumah sakit.
Pengobatan TB pada bayi dan anak pada dasarnya sama dengan TB dewasa. OAT diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah dan dosis yang tepat selama 6-9 bulan supaya kuman dapat dibunuh. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan tahap lanjutan. Tahap intensif dimaksudkan untuk menghentikan proses penyakit. Tahap ini harus dilaksanakan dengan pengawasan ketat untuk mencegah terjadinya kekebalan obat selama 2 bulan. Sedangkan tahap lanjutan dimaksudkan agar semua kuman yang dorman (tidur) terbunuh. Pemberian obat kombinasi lebih sedikit tetapi dalam jangka waktu lebih panjang yaitu 4 bulan. Semua tahap OAT diberikan setiap hari dalam satu dosis sebelum makan pagi.
Mengingat angka kejadian TB yang cenderung meningkat, bagaimanakah cara pencegahan agar anak tidak tertular penyakit ini? Menurut Prof. Cissy dalam makalah yang sama, TB pada bayi dan anak dapat dicegah dengan beberapa cara seperti imunisasi BCG (Bacillus Calmette-Guerin), pengobatan untuk pencegahan (kemoprofilaksis), menghindari kontak dengan penderita TB, mendiagnosis dan mengobati kasus TB dewasa secara tepat, serta dengan menerapkan strategi DOTS .
Cara-cara pencegahan di atas telah dilakukan di Indonesia. Dengan segala keterbatasan yang ada, pemerintah telah melakukan Program pemberantasan tuberculosis paru dan berbagai kebijakan lainnya. Namun semua itu belum memperlihatkan hasil yang nyata. Karenanya peran aktif dokter dan masyarakat akan sangat membantu dalam pemberantasan penyakit ini.
Para dokter diharapkan selalu menambah pengetahuan dan ketrampilan agar dapat mendeteksi serta mendiagnosis penyakit TB pada stadium dini. Sedangkan masyarakat dituntut lebih proaktif dalam meningkatkan pengetahuan dan keingin-tahuan mengenai penyakit ini. Bila pengetahuan masyarakat bertambah, masyarakat akan lebih waspada, sehingga penyakit TB pada anak dapat terdeteksi dan terobati sejak awal.
Selain itu, masyarakat dapat membantu melaporkan kasus baru TB dewasa dan memberikan motivasi pada penderita untuk berobat dan tidak bosan meminum obat. Hasilnya, akan semakin banyak penderita dewasa yang sembuh dan tidak lagi menularkan penyakitnya pada anak-anak. Ingat, hembusan nafas setiap penderita TB paru dewasa dapat menular pada sepuluh anak disekitarnya, jangan biarkan! (Agnes Tri Harjaningrum, dokter umum, dan peserta klub penulisan Hardim)
Masuk ke dalam ruang praktik dokter, ibunya bercerita ” Anak saya sakit biasa Dok, panas-batuk-pilek. Sekarang, batuknya sudah 3 minggu lebih belum sembuh. Tapi saya bosan, hampir setiap bulan saya ganti dokter. Ririwit pisan budak teh, Dok (mudah sekali sakit anak ini, Dok). Mana makannya susah sekali. Padahal sudah saya beri vitamin dan obat cacing, tapi tetap saja kurus begini.”
Dokter memeriksa dengan teliti, memberi surat pengantar ke laboratorium, dan berpesan agar mereka kembali kontrol. Akhirnya, dokter menyimpulkan, “Ibu, anak ibu kemungkinan menderita tuberculosis (TB) Paru.”
“Hah!?” Kontan si ibu terhenyak.
“Dari mana, Dok? Di keluarga saya mah tidak ada turunan yang begini. Memang bapak tetangga sebelah itu Dok, seperti yang saya ceritakan kemarin, sering batuk-batuk. Katanya punya penyakit bronchitis. Dulu malah pernah batuk darah, sudah bosan berobat tapi belum sembuh juga katanya.”
Dokter pun menjawab, ” Saya memang sering mendengar masyarakat awam menyebut penyakit ini bronchitis, Bu. Padahal sama sekali berbeda. Lagipula, penyakit TB memang tidak diturunkan, tapi menular .”
Setiap tahun dunia diingatkan tentang bahaya TB melalui “TB Day” yang diperingati setiap tanggal 24 Maret. Walaupun pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan untuk menanggulangi penyakit TB, angka kejadian penyakit ini tetap tinggi dan cenderung meningkat.
Kasus di atas sering terjadi di masyarakat. Penderita TB anak yang tidak terdeteksi, atau terlambat diketahui. Selain karena sulitnya dokter mendiagnosa kasus TB pada anak, banyak pula masyarakat yang belum mengetahui seluk beluk penyakit ini. Masih banyak orang yang tidak mengerti bahwa penyakit TB dapat menular. Hal ini menyebabkan sebagian masyarakat tidak waspada ketika mengetahui ada penderita TB dewasa di sekitarnya. Penderita sendiri terkadang malas berobat atau tidak tuntas menyelesaikan pengobatan. Padahal sumber penularan yang paling berbahaya adalah orang dewasa yang positif menderita TB.
Dalam ‘Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis’ yang dikeluarkan Departemen kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI) tahun 2003, diperkirakan terdapat 8 juta kasus baru terjadi di seluruh dunia setiap tahun dan hampir 3 juta orang meninggal sebagai akibat langsung dari penyakit ini. Kasus tuberculosis pada anak terjadi sekira 1,3 juta setiap tahun dan 450.000 di antaranya meninggal dunia. Laporan World Health Organization (WHO), tahun 1997, menyebutkan Indonesia menempati urutan ketiga dunia dalam hal jumlah kasus TB setelah India dan Cina. Pada tahun 1999 WHO memperkirakan, dari setiap 100.000 penduduk Indonesia akan ditemukan 130 penderita baru TB paru dengan bakteri tahan asam (BTA) positif.
Prof. Dr. Cissy B. Kartasasmita SpA, dokter spesialis konsultan penyakit paru anak, dalam makalahnya, ‘Pencegahan Tuberkulosis pada Bayi dan Anak’ ( tahun 2002) menyebutkan, karena sulitnya mendiagnosa TB pada anak, angka kejadian TB anak belum diketahui secara pasti. Namun bila angka kejadian TB dewasa tinggi dapat diperkirakan kejadian TB anak akan tinggi pula. Hal ini terjadi karena setiap orang dewasa dengan basil tahan asam (BTA) positif akan menularkan 10 orang di lingkungannya, terutama anak-anak. Karenanya sangat penting untuk mendeteksi TB pada dewasa dan menelusuri rantai penularannya. Sehingga setiap anak yang mempunyai risiko tertular dapat dideteksi dini dan diberi pencegahan.
Beberapa hal yang diduga berperan pada kenaikan angka kejadian TB antara lain adalah, diagnosis dan pengobatan yang tidak tepat, kepatuhan yang kurang, migrasi penduduk, peningkatan kasus HIV/AIDS, dan strategi DOTS ( Directly Observed Therapy Short-course) yang belum berhasil. Strategi DOTS adalah program yang direkomendasikan oleh WHO. Sejak tahun 1995 program ini dilaksanakan untuk menanggulangi pemberantasan tuberculosis paru di Indonesia.
Apakah tuberculosis itu? Dalam buku Depkes yang sama disebutkan, tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang sebagian besar disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Kuman tersebut masuk ke dalam tubuh manusia melalui udara pernafasan ke dalam paru. Kemudian kuman menyebar dari paru ke bagian tubuh lain melalui system peredaran darah, system saluran limfa, saluran nafas atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. TB dapat terjadi pada semua kelompok umur, baik di paru maupun di luar paru.
Sebagian besar orang yang terinfeksi (80-90%) belum tentu menjadi penderita tuberculosis. Untuk sementara, kuman yang berada dalam tubuh mereka bisa berada dalam keadaan dormant (tidur). Orang yang tidak menjadi sakit tetap mempunyai risiko untuk menderita tuberculosis sepanjang sisa hidupnya. Sedangkan mereka yang menjadi sakit disebut sebagai penderita tuberculosis.
Dalam makalah yang berjudul ‘Diagnosis dan Pengobatan Tuberkulosis pada Bayi dan Anak’ (tahun 2002), dr. Oma Rosmayudi SpA, pengajar di Fakultas Kedokteran Bagian Ilmu Penyakit Anak Universitas Padjajaran, menjelaskan bahwa penyakit TB ditularkan orang dewasa kepada anak-anak, dan tidak dari anak ke dewasa. Sumber penularan yang paling berbahaya adalah penderita TB dewasa dan orang dewasa yang menderita TB paru dengan kavitas (caverne). Kasus seperti ini sangat infeksius dan dapat menularkan penyakit melalui batuk, bersin dan percakapan. Semakin sering dan lama kontak, makin besar pula kemungkinan terjadi penularan. Sumber penularan bagi bayi dan anak yang disebut kontak erat, adalah orangtuanya, orang serumah atau orang yang sering berkunjung.
Hal-hal berikut dapat terjadi pada bayi dan anak yang mempunyai kontak erat dengan penderita TB dewasa. Anak mungkin tidak pernah terkena infeksi, terkena infeksi tetapi tidak sampai menderita penyakit, mengalami infeksi yang kemudian menjadi penyakit, atau mengalami infeksi laten beberapa lama kemudian (akan mengalami penyakit apabila terjadi penurunan daya tahan tubuh). Anak yang rawan tertular TB adalah anak yang berusia dibawah 5 tahun. Bila terinfeksi, mereka mudah terkena penyakit TB, dan cenderung menderita TB berat seperti TB meningitis, TB milier atau penyakit paru berat. Muncul tidaknya infeksi penyakit TB tergantung beberapa faktor seperti daya tahan tubuh (umur,status gizi, penyakit, ada tidaknya kekebalan spesifik) serta jumlah dan virulensi kuman yang sampai ke saluran di paru-paru.
Diagnosis, pengobatan dan pencegahan
Mengapa diagnosa pasti TB pada anak sulit ditegakkan?. Diagnosis pasti TB dibuat bila ditemukan basil TB dari bahan yang diambil dari dahak (sputum), bilasan lambung atau jaringan yang terkena penyakit. Tetapi pada anak hal ini sulit dan jarang didapat. Karenanya diagnosis TB pada anak didasarkan atas diagnosis kemungkinan (probability) dari hasil gambaran klinis, gambaran radiologis, uji tuberculin dan pemeriksaan lain yang cocok. Selain itu, anak yang menderita TB tidak banyak menunjukkan gejala dan tanda. Hanya sebagian kecil penderita yang memberikan gejala tidak spesifik seperti demam, sulit makan, penurunan berat badan, batuk dan mengi (sesak nafas).
Konsensus nasional TB anak IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) 2002 membuat alur deteksi dini dan rujukan TB pada anak sebagai berikut. Seorang anak dicurigai menderita TB bila, ada riwayat kontak dengan penderita TB sputum BTA positif, reaksi cepat BCG( timbul kemerahan di lokasi suntikan dalam 3-7 hari setelah imunisasi BCG), berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan kurang yang tidak naik dalam 1 bulan meskipun sudah dengan penanganan gizi, demam lama atau berulang tanpa sebab yang jelas, batuk lebih dari 3 minggu, pembesaran kelenjar limfe superficial yang spesifik, skrolfuloderma, konjungtivitis fliktenularis, tes tuberculin yang positif (> 10 mm), dan gambaran foto rontgen sugestif TB. Bila ditemukan 3 gejala atau lebih, maka seorang anak dianggap menderita TB dan harus mendapatkan obat anti tuberculosis (OAT). Selanjutnya anak diobservasi selama 2 bulan. Bila keadaannya membaik maka OAT diteruskan, tapi bila tetap atau memburuk harus dirujuk ke rumah sakit.
Pengobatan TB pada bayi dan anak pada dasarnya sama dengan TB dewasa. OAT diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah dan dosis yang tepat selama 6-9 bulan supaya kuman dapat dibunuh. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan tahap lanjutan. Tahap intensif dimaksudkan untuk menghentikan proses penyakit. Tahap ini harus dilaksanakan dengan pengawasan ketat untuk mencegah terjadinya kekebalan obat selama 2 bulan. Sedangkan tahap lanjutan dimaksudkan agar semua kuman yang dorman (tidur) terbunuh. Pemberian obat kombinasi lebih sedikit tetapi dalam jangka waktu lebih panjang yaitu 4 bulan. Semua tahap OAT diberikan setiap hari dalam satu dosis sebelum makan pagi.
Mengingat angka kejadian TB yang cenderung meningkat, bagaimanakah cara pencegahan agar anak tidak tertular penyakit ini? Menurut Prof. Cissy dalam makalah yang sama, TB pada bayi dan anak dapat dicegah dengan beberapa cara seperti imunisasi BCG (Bacillus Calmette-Guerin), pengobatan untuk pencegahan (kemoprofilaksis), menghindari kontak dengan penderita TB, mendiagnosis dan mengobati kasus TB dewasa secara tepat, serta dengan menerapkan strategi DOTS .
Cara-cara pencegahan di atas telah dilakukan di Indonesia. Dengan segala keterbatasan yang ada, pemerintah telah melakukan Program pemberantasan tuberculosis paru dan berbagai kebijakan lainnya. Namun semua itu belum memperlihatkan hasil yang nyata. Karenanya peran aktif dokter dan masyarakat akan sangat membantu dalam pemberantasan penyakit ini.
Para dokter diharapkan selalu menambah pengetahuan dan ketrampilan agar dapat mendeteksi serta mendiagnosis penyakit TB pada stadium dini. Sedangkan masyarakat dituntut lebih proaktif dalam meningkatkan pengetahuan dan keingin-tahuan mengenai penyakit ini. Bila pengetahuan masyarakat bertambah, masyarakat akan lebih waspada, sehingga penyakit TB pada anak dapat terdeteksi dan terobati sejak awal.
Selain itu, masyarakat dapat membantu melaporkan kasus baru TB dewasa dan memberikan motivasi pada penderita untuk berobat dan tidak bosan meminum obat. Hasilnya, akan semakin banyak penderita dewasa yang sembuh dan tidak lagi menularkan penyakitnya pada anak-anak. Ingat, hembusan nafas setiap penderita TB paru dewasa dapat menular pada sepuluh anak disekitarnya, jangan biarkan! (Agnes Tri Harjaningrum, dokter umum, dan peserta klub penulisan Hardim)