Yuk “Mojok” di Pojok Baca

Pikiran Rakyat (Minggu, 23 Mei 2004)

http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0504/23/hikmah/lainnya06.htm

mojokPRsmall.jpg

USAI salat magrib berjamaah dan mengaji, Pak Fahmi dan Bu Fahmi melangkah ke salah satu sudut di ruang tengah. Sembari duduk di atas karpet kecil warna-warni, mereka mengambil dan membaca beberapa buku dari rak buku. Kedua anak mereka yang masih bersekolah di sekolah dasar tampak heran melihat tingkah polah kedua orang tuanya. Belakangan ini, setelah selesai salat bersama, orang tua mereka selalu mojok di ruang itu sambil asyik membaca buku. Terkadang mereka membaca buku dalam hening, tak lama kemudian dengan suara keras, setelah itu tertawa bersama sambil menunjuk-nunjuk gambar. “Aneh, ada apa gerangan?” pikir mereka bingung. Rupanya Pak Fahmi dan Bu Fahmi sedang memasang strategi, dan mereka berhasil. Beberapa minggu berselang, kegiatan mojok sambil membaca tadi telah menjadi rutinitas yang menyenangkan bagi keluarga mereka.Manfaat menjadi pecinta buku tidak lagi diragukan. Buku mampu membuat anak menjelajahi dunia tanpa harus keluar dari peraduannya yang sempit. Buku adalah jendela pengetahuan. Para pakar pendidikan bahkan menyebutkan, kegemaran membaca dapat meningkatkan kualitas kehidupan manusia.

Minat baca masyarakat Indonesia yang rendah masih menjadi problema bagi upaya peningkatan kualitas manusia Indonesia. Minat baca tidak dapat begitu saja tercipta, bahkan dengan pencanangan “Hari Buku Nasional ” sekali pun. Kegemaran membaca hanya muncul bila dibiasakan sedari kecil. Orang tua harus berusaha untuk menumbuhkan minat baca anak, seperti yang dilakukan pasangan muda dalam cerita di atas.

Banyak cara yang dapat dilakukan orang tua berkaitan dengan menumbuhkan kegemaran membaca. Secara rutin, anak-anak dapat diajak pergi ke tempat-tempat yang berhubungan dengan buku, misalnya ke toko buku atau meminjam buku di taman bacaan. Menyisihkan uang tabungan untuk membeli buku dan memberi hadiah buku kepada anak juga dapat menjadi pilihan. Tetapi, yang menjadi kunci utama adalah orang tua di rumah. Rumah adalah sekolah pertama bagi anak. Lingkungan sekitar dan guru-guru di sekolah tidak dapat diandalkan untuk menanamkan kegemaran ini. Orang tua selayaknya memunyai cara dan memberikan teladan agar kegiatan membaca dapat dilakukan sejak dini, secara rutin, dan menyenangkan. Mengapa? Karena rutinitas yang dilakukan sejak dini pada akhirnya akan menjadi sebuah habit (kebiasaan).

Pepatah Inggris mengatakan we first make our habits, then our habits make us. Sebuah watak akan muncul, bila kita membentuk kebiasaan terlebih dulu. Artinya, bila orang tua ingin seorang anak memunyai kegemaran membaca, kegiatan membaca inilah yang perlu dibiasakan sejak kecil. Dalam bukunya yang berjudul The 7 Habits of Highly Effective Families, Covey menyebutkan, terdapat sebuah riset yang telah menunjukkan alasan utama mengapa anak-anak tidak mau membaca. Jawabannya adalah karena mereka tidak melihat ayah mereka membaca. Hal ini memperlihatkan bahwa kebiasaan dan teladan merupakan faktor yang teramat penting.

Selain hal di atas, tugas lain orang tua adalah membuat ‘formula’ agar membaca dapat menjadi kebiasaan yang menyenangkan. Bila membaca diidentikan dengan kegiatan yang menyebalkan atau menjadi sebuah paksaan, dalam hitungan menit, anak akan segera menghindar tanpa mau kembali. Sebaliknya, membaca buku bersama penuh canda ceria, membacakan buku di atas pangkuan dengan kasih sayang, perhatian serta cinta yang diberikan orang tua, akan menjadi pengalaman indah yang sangat berkesan bagi anak.

Hal-hal apa yang dapat dijadikan “formula” untuk membentuk kebiasaan membaca secara menyenangkan di rumah? Ema Sukaemah, S.Psi, psikolog yang berkecimpung dalam dunia anak, pada suatu kesempatan menjelaskan, orang tua sebaiknya membuat pojok bacaan atau perpustakaan kecil di rumah. Tak perlu mewah, cukup sediakan karpet atau tikar kecil, rak buku beserta bantal dan pernak-pernik lain yang mendukung. Setiap orang tua dari berbagai kelas ekonomi dapat melakukannya.

“Harga buku-buku bermutu memang belum terjangkau bagi sebagian kalangan. Namun hal ini bukanlah suatu hambatan. Bagi keluarga yang tak sanggup membeli buku-buku bermutu, cukup menyediakan majalah, koran atau buku-buku pinjaman. Dengan kebiasaan orang tua ‘mojok’ di pojok baca, anak akan melihat contoh bahwa orang tuanya suka membaca. Memulai pada anak berusia di atas 5 tahun memang lebih sulit, tetapi anak tak perlu dipaksa. Bila dilakukan dengan cara yang kreatif, sabar dan konsisten, anak pasti akan melirik dan kemudian tertarik. Orang tua dapat mengeraskan bacaan, tertawa melihat gambar, atau membuat skenario dengan pasangan agar anak tertarik datang ke pojok baca. Setelah anak tertarik, orang tua dapat memberikan keleluasaan bagi anak untuk memilih bacaan yang disukai. Berbagi bacaan dan pengalaman yang disukai di pojok baca sambil mengaitkannya dengan buku akan menjadi sebuah acara yang menyenangkan bagi keluarga. Rutinitas seperti ini di pojok baca, setengah sampai satu jam saja sehari akan menumbuhkan minat baca pada anak.” Demikian Ema menuturkan.

Bagi anak yang berusia lebih kecil, untuk menumbuhkan kebiasaan ini situs online childrensworld (childrensworld.com) memberikan saran-saran sebagai berikut. Pertama, orang tua sebaiknya melakukan kebiasaan membaca sejak anak berusia beberapa minggu atau bulan setelah kelahiran. Kedua, selain di pojok baca, buku-buku dapat diletakkan di tempat yang dekat dengan keseharian anak seperti di ruang tidur, kamar mandi, tempat bermain ataupun di dapur. Ketiga, orang tua harus bersuara keras saat membaca buku, majalah maupun koran. Menurut suatu penelitian, membaca dengan suara keras akan meningkatkan penguasaan bahasa pada anak. Selain itu juga agar anak mengetahui bahwa membaca adalah salah satu keahlian . Keempat, membaca sambil duduk di pangkuan ayah atau ibu akan membuat anak merasa nyaman dan dicintai, sehingga menimbulkan memori positif mengenai kegiatan membaca.

Memulai memang bukan perkara mudah. Tetapi demi sebuah bekal berharga di masa datang, mengapa tidak membuat pojok baca di sudut rumah?

Bunda, dari Mana Aku Lahir?

Pikiran Rakyat, Minggu 9 Mei 2004

http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0504/09/hikmah/lainnya01.htm

BundaPRsmall.jpg BundaPR2small.jpg

SEJAK pagi, Lala, si gadis kecil yang kritis dan ceriwis terlihat kesal.
Dari mulut mungilnya keluar ocehan kekesalan kepada tantenya. “Tante … Lala marah sama Bunda!” “Lho, kenapa, La?” tanya Tante Lala yang perutnya sedang membuncit karena hamil. “Lala cuma tanya, tapi Bunda nggak mau jawab. Katanya Lala masih terlalu kecil. Hmh Lala sebel sama Bunda! Padahal Lala kan umurnya 4 tahun Tante, sudah besar. Lala keseel banget!” “Memangnya Lala tanya apa La?” si tante kembali menyahut. “Lala tanya, kenapa perut Tante buncit. Kata Bunda, perut Tante ada adeknya, dulu perut Bunda juga buncit waktu Lala masih dalam perut Bunda. Terus Lala tanya lagi Tante, waktu Lala dalam perut, keluarnya lewat mana Bunda? Eh … Lala malah dimarahin Tante, disuruh diem, nggak boleh tanya-tanya lagi sama Bunda. Pokoknya Lala marah deh Tante!” jawab Lala sambil cemberut.BILA gadis kecil tadi menjelma menjadi seorang remaja, barangkali temannya akan berkomentar, “Kasiaan deh lo …!” Namun, dia hanya seorang gadis kecil berusia 4 tahun yang masih senang bertanya dan menyimpan beragam pertanyaan dalam kepalanya. Pertanyaan serupa sering dilontarkan anak balita seusia Lala. Kebanyakan orang tua menjawab sama, “Kamu masih terlalu kecil, tidak boleh tanya-tanya masalah itu, diam, diam, dan diam”, begitulah jawaban sebagian orang tua. Pada umumnya mereka masih menganggap seksualitas adalah sesuatu yang tabu dan saru untuk dibicarakan.

Padahal, di zaman yang ‘gila’ seperti ini, di mana kasus perkosaan dan sodomi pada anak meningkat sangat tajam, pendidikan seks sejak dini sangat diperlukan. Belum lagi masalah seks bebas di kalangan remaja yang semakin merajalela. Dengan kondisi seperti itu orang tua mana yang tidak cemas dan waswas melepas anaknya berangkat remaja.

Penelitian di pelbagai negara menemukan bahwa anak remaja akan terhindar dari keterlibatan dengan seks bebas, jika mereka dapat membicarakannya masalah seks dengan orang tua. Artinya, orang tua harus menjadi pendidik seksualitas bagi anak-anaknya. Hal ini hanya dapat dilakukan bila sejak dini, orang tua telah memberikan pendidikan seks untuk mereka.

Dalam sebuah seminar mengenai ‘Bicara Seks kepada Anak’, Elly Risman, S.Psi, seorang psikolog yang bertindak sebagai pembicara, menjelaskan bahwa orang tua memikul tanggung jawab sebagai pendidik seksualitas bagi anak-anaknya. Orang tua tidak dapat ‘mengekspor’ tanggung jawab ini kepada guru di sekolah atau lingkungan sekitar. Ini adalah tanggung jawab bersama, ayah dan ibu, sebagai pasangan yang telah diberi amanat oleh Tuhan. Masing-masing memunyai porsi untuk menjelaskan masalah seks pada anak. Sebagai contoh, ayahlah yang harus menjelaskan tentang mimpi basah kepada anak lelakinya menjelang akil balig. Sedangkan ibu bertugas membeberkan apa itu menstruasi kepada anak gadisnya yang beranjak remaja.

Selanjutnya Elly menerangkan tentang hal-hal yang harus dilakukan orang tua. “Landasan paling penting bagi orang tua dalam masalah ini adalah agama. Jadikanlah agama sebagai pedoman, karena panduan pendidikan seks pada anak sudah terangkum dalam ajaran agama. Orang tua harus meningkatkan pengetahuan dan keterampilan agar dapat menerangkan dan menjawab pertanyaan anak. Selain itu, orang tua harus memutuskan masa lalu dan keluar dari tabu-saru yang selama ini membelenggu.”

Bagaimanakah kiat dasar mengasuh seksualitas? Elly mengungkapkan, pendidikan ini tidak mungkin dilakukan secara ‘borongan’, tetapi harus ‘dicicil’ sedini mungkin. Orang tua harus proaktif, terlibat penuh dan tidak menunggu anak bertanya. Contohnya, ketika sedang memandikan balita, orang tua dapat sekaligus memberitahukan tentang tumbuhnya rambut lain di bagian tubuhnya. Ibu dapat berkata “Nanti kalau adek sudah besar, akan tumbuh rambut di ketiak dan di kemaluan adek.” Atau orang tua dapat menjelaskan tentang perlunya menjaga kemaluan dan bagian penting tubuhnya. “Dek, bagian dada sampai lutut adalah bagian penting tubuhmu, tidak boleh ada orang yang memegang kecuali ayah dan bunda ya.” Penjelasan ini penting untuk menghindari kasus perkosaan balita yang terutama sering dilakukan oleh kerabat dekat anak. Untuk ‘mencicil’nya orang tua harus waspada pada setiap tahap perkembangan anak. Orang tua harus paham, hal-hal apa saja yang perlu diketahui anak balita tentang seksualitas, bagaimana dengan anak usia 7-9 tahun dan bagaimana dengan remaja. Orang tua harus berada selangkah lebih maju dari anak, karena lingkungan telah membuat mereka sangat kritis dan cerdas dalam masalah ini.

Langkah-langkah praktis untuk menjelaskan tentang seks diterangkan Elly sebagai berikut. Bagi yang beragama Islam, pergunakanlah term Alquran. Ajarkan anak menyebut kemaluan laki-laki dan kemaluan perempuan seperti dalam Alquran, bukan ‘burung’ atau ‘dompet’. Istilah dalam bahasa Latin juga dapat dipergunakan, yaitu vagina dan penis. Perhatikan dan gunakan The Golden Opportunity (kesempatan emas). Maksudnya, setiap ada kesempatan untuk menjelaskan sesuatu yang berhubungan dengan pendidikan seks, kemukakan saat itu juga. Tentunya disesuaikan dengan tahapan usia anak. Contoh, ketika melihat cicak sedang berdempetan-kawin, kucing melahirkan atau menyusui, jelaskan kejadian tersebut, dihubungkan dengan yang terjadi pada manusia. Terangkan dengan jelas, pendek, dan sederhana, atau diberi singkatan KISS (Keep Information Short and Simple) ,agar lebih mudah mengingatnya.

Kiat-kiat untuk menghadapi pertanyaan anak, orang tua harus tenang dan dapat mengontrol diri. Bila orang tua merasa segan, ungkapkan saja apa yang terasa dalam hati, bingung, kaget, heran atau perasaan lainnya. Segera jawab pertanyaan anak saat itu juga, dan jangan lupa untuk mengaitkannya dengan agama. Bila orang tua tidak siap menjawab pertanyaan anak, jawaban dapat ditunda tetapi janji untuk menjawab harus ditepati. Sebagai contoh, pertanyaan yang lazim ditanyakan anak usia 3-6 tahun adalah, “Bunda, dari mana aku lahir?” Orang tua dapat menjawab, “Dari rahim Bunda, adek keluar melalui vagina (kemaluan perempuan).”

Bila anak bertanya lebih lanjut, orang tua dapat menjelaskan melalui buku yang benar, bukan buku mengenai pornografi. Tunjukan gambar yang ada di buku dengan metode KISS. Orang tua dapat menerangkan “Kalau adek sudah mau keluar dari rahim Bunda, kemaluan Bunda akan melar seperti karet gelang ini.” Bila anak sudah berhenti bertanya, tak perlu melanjutkan penjelasan. Ingat, penjelasan harus jelas, singkat dan sederhana.

Orang tua terkadang panik ketika mendengar anak yang berusia 7 atau 8 tahun tiba-tiba bertanya, “Sodomi itu apa sih bu?” Bila kaget, orang tua dapat menarik napas terlebih dahulu agar tetap tenang di depan anak. Orang tua dapat berkata “Bunda kaget kakak bertanya seperti itu, kakak perlu jawaban sekarang?” Menunjukkan perasaan seperti ini akan membuat orang tua lebih tenang dalam menghadapi anak. Orang tua yang tidak siap dapat berkata kepada anaknya, “Wah jawabnya nanti ya sayang, Bunda harus masak dulu.” Tetapi jangan lupa, setelah berjanji menjawab, orang tua harus menepatinya. Untuk melakukan semua ini harus dibangun komunikasi yang baik antara orang tua dan anak, sehingga anak yakin bahwa orang tualah tempat kembali ‘pulang’ di kala mereka kebingungan.

Pendidikan seks harus dimulai sejak dini dan bertahap sesuai perkembangan anak. Bila hal ini dilakukan, saat beranjak dewasa mereka tidak akan mencari penjelasan dari lingkungan sekitar yang terkadang menyesatkan. Mereka tidak lagi berpikir bahwa seks adalah sesuatu yang menarik dan patut untuk dicoba. Seks adalah suatu hal yang biasa karena mereka telah mengetahui apa itu seksualitas dan bagaimana mengantisipasi gejolak yang ada dalam dirinya. Apabila anak tidak mengerti, mereka akan selalu kembali dan bertanya kepada orang tua. Anak yakin hanya orang tua yang dapat dipercaya dan membantu menjawab seribu satu pertanyaan dalam benak mereka. Seks bebas akan terhindar dan anak menjauh dari perbuatan terlarang.

Menjadi pendidik seksualitas bagi anak memang tidak mudah. Namun, sesulit apapun orang tua harus memulainya. Hapuslah belenggu tabu dan saru. Bangun wacana baru dalam kehidupan mereka. Pertanyaan yang tak pernah terjawab akan membuat anak semakin ingin mencoba. Kasus perkosaan dan sodomi anak tak akan kunjung mereda. Jadilah pendidik seksualitas bagi anak, karena dengan bangga mereka akan berkata, “Bunda, sekarang aku tahu, dari mana aku lahir.”*** (Agnes Tri Harjaningrum dr. Ibu dua orang anak)

Waspadai Penyakit TB paru, Seorang Penderita TB Dewasa Bisa Menulari Sepuluh Anak

Pikiran Rakyat, Minggu, 28 Maret 2004

http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0304/28/hikmah/lainnya02.htm

RAMBUTNYA tampak kusam kemerahan. Matanya yang cekung menatap tanpa gairah. Tubuh kecil dan kurus membuatnya terlihat ringkih. Sesekali digunakannya lengan baju untuk mengusap ingus yang keluar. Batuk- batuk kecil pun kerap terdengar dari mulutnya. Anak lelaki itu berjalan lunglai, bersama seorang ibu yang menggandengnya.Masuk ke dalam ruang praktik dokter, ibunya bercerita ” Anak saya sakit biasa Dok, panas-batuk-pilek. Sekarang, batuknya sudah 3 minggu lebih belum sembuh. Tapi saya bosan, hampir setiap bulan saya ganti dokter. Ririwit pisan budak teh, Dok (mudah sekali sakit anak ini, Dok). Mana makannya susah sekali. Padahal sudah saya beri vitamin dan obat cacing, tapi tetap saja kurus begini.”

Dokter memeriksa dengan teliti, memberi surat pengantar ke laboratorium, dan berpesan agar mereka kembali kontrol. Akhirnya, dokter menyimpulkan, “Ibu, anak ibu kemungkinan menderita tuberculosis (TB) Paru.”

“Hah!?” Kontan si ibu terhenyak.

“Dari mana, Dok? Di keluarga saya mah tidak ada turunan yang begini. Memang bapak tetangga sebelah itu Dok, seperti yang saya ceritakan kemarin, sering batuk-batuk. Katanya punya penyakit bronchitis. Dulu malah pernah batuk darah, sudah bosan berobat tapi belum sembuh juga katanya.”

Dokter pun menjawab, ” Saya memang sering mendengar masyarakat awam menyebut penyakit ini bronchitis, Bu. Padahal sama sekali berbeda. Lagipula, penyakit TB memang tidak diturunkan, tapi menular .”

Setiap tahun dunia diingatkan tentang bahaya TB melalui “TB Day” yang diperingati setiap tanggal 24 Maret. Walaupun pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan untuk menanggulangi penyakit TB, angka kejadian penyakit ini tetap tinggi dan cenderung meningkat.

Kasus di atas sering terjadi di masyarakat. Penderita TB anak yang tidak terdeteksi, atau terlambat diketahui. Selain karena sulitnya dokter mendiagnosa kasus TB pada anak, banyak pula masyarakat yang belum mengetahui seluk beluk penyakit ini. Masih banyak orang yang tidak mengerti bahwa penyakit TB dapat menular. Hal ini menyebabkan sebagian masyarakat tidak waspada ketika mengetahui ada penderita TB dewasa di sekitarnya. Penderita sendiri terkadang malas berobat atau tidak tuntas menyelesaikan pengobatan. Padahal sumber penularan yang paling berbahaya adalah orang dewasa yang positif menderita TB.

Dalam ‘Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis’ yang dikeluarkan Departemen kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI) tahun 2003, diperkirakan terdapat 8 juta kasus baru terjadi di seluruh dunia setiap tahun dan hampir 3 juta orang meninggal sebagai akibat langsung dari penyakit ini. Kasus tuberculosis pada anak terjadi sekira 1,3 juta setiap tahun dan 450.000 di antaranya meninggal dunia. Laporan World Health Organization (WHO), tahun 1997, menyebutkan Indonesia menempati urutan ketiga dunia dalam hal jumlah kasus TB setelah India dan Cina. Pada tahun 1999 WHO memperkirakan, dari setiap 100.000 penduduk Indonesia akan ditemukan 130 penderita baru TB paru dengan bakteri tahan asam (BTA) positif.

Prof. Dr. Cissy B. Kartasasmita SpA, dokter spesialis konsultan penyakit paru anak, dalam makalahnya, ‘Pencegahan Tuberkulosis pada Bayi dan Anak’ ( tahun 2002) menyebutkan, karena sulitnya mendiagnosa TB pada anak, angka kejadian TB anak belum diketahui secara pasti. Namun bila angka kejadian TB dewasa tinggi dapat diperkirakan kejadian TB anak akan tinggi pula. Hal ini terjadi karena setiap orang dewasa dengan basil tahan asam (BTA) positif akan menularkan 10 orang di lingkungannya, terutama anak-anak. Karenanya sangat penting untuk mendeteksi TB pada dewasa dan menelusuri rantai penularannya. Sehingga setiap anak yang mempunyai risiko tertular dapat dideteksi dini dan diberi pencegahan.

Beberapa hal yang diduga berperan pada kenaikan angka kejadian TB antara lain adalah, diagnosis dan pengobatan yang tidak tepat, kepatuhan yang kurang, migrasi penduduk, peningkatan kasus HIV/AIDS, dan strategi DOTS ( Directly Observed Therapy Short-course) yang belum berhasil. Strategi DOTS adalah program yang direkomendasikan oleh WHO. Sejak tahun 1995 program ini dilaksanakan untuk menanggulangi pemberantasan tuberculosis paru di Indonesia.

Apakah tuberculosis itu? Dalam buku Depkes yang sama disebutkan, tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang sebagian besar disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Kuman tersebut masuk ke dalam tubuh manusia melalui udara pernafasan ke dalam paru. Kemudian kuman menyebar dari paru ke bagian tubuh lain melalui system peredaran darah, system saluran limfa, saluran nafas atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. TB dapat terjadi pada semua kelompok umur, baik di paru maupun di luar paru.

Sebagian besar orang yang terinfeksi (80-90%) belum tentu menjadi penderita tuberculosis. Untuk sementara, kuman yang berada dalam tubuh mereka bisa berada dalam keadaan dormant (tidur). Orang yang tidak menjadi sakit tetap mempunyai risiko untuk menderita tuberculosis sepanjang sisa hidupnya. Sedangkan mereka yang menjadi sakit disebut sebagai penderita tuberculosis.

Dalam makalah yang berjudul ‘Diagnosis dan Pengobatan Tuberkulosis pada Bayi dan Anak’ (tahun 2002), dr. Oma Rosmayudi SpA, pengajar di Fakultas Kedokteran Bagian Ilmu Penyakit Anak Universitas Padjajaran, menjelaskan bahwa penyakit TB ditularkan orang dewasa kepada anak-anak, dan tidak dari anak ke dewasa. Sumber penularan yang paling berbahaya adalah penderita TB dewasa dan orang dewasa yang menderita TB paru dengan kavitas (caverne). Kasus seperti ini sangat infeksius dan dapat menularkan penyakit melalui batuk, bersin dan percakapan. Semakin sering dan lama kontak, makin besar pula kemungkinan terjadi penularan. Sumber penularan bagi bayi dan anak yang disebut kontak erat, adalah orangtuanya, orang serumah atau orang yang sering berkunjung.

Hal-hal berikut dapat terjadi pada bayi dan anak yang mempunyai kontak erat dengan penderita TB dewasa. Anak mungkin tidak pernah terkena infeksi, terkena infeksi tetapi tidak sampai menderita penyakit, mengalami infeksi yang kemudian menjadi penyakit, atau mengalami infeksi laten beberapa lama kemudian (akan mengalami penyakit apabila terjadi penurunan daya tahan tubuh). Anak yang rawan tertular TB adalah anak yang berusia dibawah 5 tahun. Bila terinfeksi, mereka mudah terkena penyakit TB, dan cenderung menderita TB berat seperti TB meningitis, TB milier atau penyakit paru berat. Muncul tidaknya infeksi penyakit TB tergantung beberapa faktor seperti daya tahan tubuh (umur,status gizi, penyakit, ada tidaknya kekebalan spesifik) serta jumlah dan virulensi kuman yang sampai ke saluran di paru-paru.

Diagnosis, pengobatan dan pencegahan

Mengapa diagnosa pasti TB pada anak sulit ditegakkan?. Diagnosis pasti TB dibuat bila ditemukan basil TB dari bahan yang diambil dari dahak (sputum), bilasan lambung atau jaringan yang terkena penyakit. Tetapi pada anak hal ini sulit dan jarang didapat. Karenanya diagnosis TB pada anak didasarkan atas diagnosis kemungkinan (probability) dari hasil gambaran klinis, gambaran radiologis, uji tuberculin dan pemeriksaan lain yang cocok. Selain itu, anak yang menderita TB tidak banyak menunjukkan gejala dan tanda. Hanya sebagian kecil penderita yang memberikan gejala tidak spesifik seperti demam, sulit makan, penurunan berat badan, batuk dan mengi (sesak nafas).

Konsensus nasional TB anak IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) 2002 membuat alur deteksi dini dan rujukan TB pada anak sebagai berikut. Seorang anak dicurigai menderita TB bila, ada riwayat kontak dengan penderita TB sputum BTA positif, reaksi cepat BCG( timbul kemerahan di lokasi suntikan dalam 3-7 hari setelah imunisasi BCG), berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan kurang yang tidak naik dalam 1 bulan meskipun sudah dengan penanganan gizi, demam lama atau berulang tanpa sebab yang jelas, batuk lebih dari 3 minggu, pembesaran kelenjar limfe superficial yang spesifik, skrolfuloderma, konjungtivitis fliktenularis, tes tuberculin yang positif (> 10 mm), dan gambaran foto rontgen sugestif TB. Bila ditemukan 3 gejala atau lebih, maka seorang anak dianggap menderita TB dan harus mendapatkan obat anti tuberculosis (OAT). Selanjutnya anak diobservasi selama 2 bulan. Bila keadaannya membaik maka OAT diteruskan, tapi bila tetap atau memburuk harus dirujuk ke rumah sakit.

Pengobatan TB pada bayi dan anak pada dasarnya sama dengan TB dewasa. OAT diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah dan dosis yang tepat selama 6-9 bulan supaya kuman dapat dibunuh. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan tahap lanjutan. Tahap intensif dimaksudkan untuk menghentikan proses penyakit. Tahap ini harus dilaksanakan dengan pengawasan ketat untuk mencegah terjadinya kekebalan obat selama 2 bulan. Sedangkan tahap lanjutan dimaksudkan agar semua kuman yang dorman (tidur) terbunuh. Pemberian obat kombinasi lebih sedikit tetapi dalam jangka waktu lebih panjang yaitu 4 bulan. Semua tahap OAT diberikan setiap hari dalam satu dosis sebelum makan pagi.

Mengingat angka kejadian TB yang cenderung meningkat, bagaimanakah cara pencegahan agar anak tidak tertular penyakit ini? Menurut Prof. Cissy dalam makalah yang sama, TB pada bayi dan anak dapat dicegah dengan beberapa cara seperti imunisasi BCG (Bacillus Calmette-Guerin), pengobatan untuk pencegahan (kemoprofilaksis), menghindari kontak dengan penderita TB, mendiagnosis dan mengobati kasus TB dewasa secara tepat, serta dengan menerapkan strategi DOTS .

Cara-cara pencegahan di atas telah dilakukan di Indonesia. Dengan segala keterbatasan yang ada, pemerintah telah melakukan Program pemberantasan tuberculosis paru dan berbagai kebijakan lainnya. Namun semua itu belum memperlihatkan hasil yang nyata. Karenanya peran aktif dokter dan masyarakat akan sangat membantu dalam pemberantasan penyakit ini.

Para dokter diharapkan selalu menambah pengetahuan dan ketrampilan agar dapat mendeteksi serta mendiagnosis penyakit TB pada stadium dini. Sedangkan masyarakat dituntut lebih proaktif dalam meningkatkan pengetahuan dan keingin-tahuan mengenai penyakit ini. Bila pengetahuan masyarakat bertambah, masyarakat akan lebih waspada, sehingga penyakit TB pada anak dapat terdeteksi dan terobati sejak awal.

Selain itu, masyarakat dapat membantu melaporkan kasus baru TB dewasa dan memberikan motivasi pada penderita untuk berobat dan tidak bosan meminum obat. Hasilnya, akan semakin banyak penderita dewasa yang sembuh dan tidak lagi menularkan penyakitnya pada anak-anak. Ingat, hembusan nafas setiap penderita TB paru dewasa dapat menular pada sepuluh anak disekitarnya, jangan biarkan! (Agnes Tri Harjaningrum, dokter umum, dan peserta klub penulisan Hardim)

Masuk ke dalam ruang praktik dokter, ibunya bercerita ” Anak saya sakit biasa Dok, panas-batuk-pilek. Sekarang, batuknya sudah 3 minggu lebih belum sembuh. Tapi saya bosan, hampir setiap bulan saya ganti dokter. Ririwit pisan budak teh, Dok (mudah sekali sakit anak ini, Dok). Mana makannya susah sekali. Padahal sudah saya beri vitamin dan obat cacing, tapi tetap saja kurus begini.”

Dokter memeriksa dengan teliti, memberi surat pengantar ke laboratorium, dan berpesan agar mereka kembali kontrol. Akhirnya, dokter menyimpulkan, “Ibu, anak ibu kemungkinan menderita tuberculosis (TB) Paru.”

“Hah!?” Kontan si ibu terhenyak.

“Dari mana, Dok? Di keluarga saya mah tidak ada turunan yang begini. Memang bapak tetangga sebelah itu Dok, seperti yang saya ceritakan kemarin, sering batuk-batuk. Katanya punya penyakit bronchitis. Dulu malah pernah batuk darah, sudah bosan berobat tapi belum sembuh juga katanya.”

Dokter pun menjawab, ” Saya memang sering mendengar masyarakat awam menyebut penyakit ini bronchitis, Bu. Padahal sama sekali berbeda. Lagipula, penyakit TB memang tidak diturunkan, tapi menular .”

Setiap tahun dunia diingatkan tentang bahaya TB melalui “TB Day” yang diperingati setiap tanggal 24 Maret. Walaupun pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan untuk menanggulangi penyakit TB, angka kejadian penyakit ini tetap tinggi dan cenderung meningkat.

Kasus di atas sering terjadi di masyarakat. Penderita TB anak yang tidak terdeteksi, atau terlambat diketahui. Selain karena sulitnya dokter mendiagnosa kasus TB pada anak, banyak pula masyarakat yang belum mengetahui seluk beluk penyakit ini. Masih banyak orang yang tidak mengerti bahwa penyakit TB dapat menular. Hal ini menyebabkan sebagian masyarakat tidak waspada ketika mengetahui ada penderita TB dewasa di sekitarnya. Penderita sendiri terkadang malas berobat atau tidak tuntas menyelesaikan pengobatan. Padahal sumber penularan yang paling berbahaya adalah orang dewasa yang positif menderita TB.

Dalam ‘Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis’ yang dikeluarkan Departemen kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI) tahun 2003, diperkirakan terdapat 8 juta kasus baru terjadi di seluruh dunia setiap tahun dan hampir 3 juta orang meninggal sebagai akibat langsung dari penyakit ini. Kasus tuberculosis pada anak terjadi sekira 1,3 juta setiap tahun dan 450.000 di antaranya meninggal dunia. Laporan World Health Organization (WHO), tahun 1997, menyebutkan Indonesia menempati urutan ketiga dunia dalam hal jumlah kasus TB setelah India dan Cina. Pada tahun 1999 WHO memperkirakan, dari setiap 100.000 penduduk Indonesia akan ditemukan 130 penderita baru TB paru dengan bakteri tahan asam (BTA) positif.

Prof. Dr. Cissy B. Kartasasmita SpA, dokter spesialis konsultan penyakit paru anak, dalam makalahnya, ‘Pencegahan Tuberkulosis pada Bayi dan Anak’ ( tahun 2002) menyebutkan, karena sulitnya mendiagnosa TB pada anak, angka kejadian TB anak belum diketahui secara pasti. Namun bila angka kejadian TB dewasa tinggi dapat diperkirakan kejadian TB anak akan tinggi pula. Hal ini terjadi karena setiap orang dewasa dengan basil tahan asam (BTA) positif akan menularkan 10 orang di lingkungannya, terutama anak-anak. Karenanya sangat penting untuk mendeteksi TB pada dewasa dan menelusuri rantai penularannya. Sehingga setiap anak yang mempunyai risiko tertular dapat dideteksi dini dan diberi pencegahan.

Beberapa hal yang diduga berperan pada kenaikan angka kejadian TB antara lain adalah, diagnosis dan pengobatan yang tidak tepat, kepatuhan yang kurang, migrasi penduduk, peningkatan kasus HIV/AIDS, dan strategi DOTS ( Directly Observed Therapy Short-course) yang belum berhasil. Strategi DOTS adalah program yang direkomendasikan oleh WHO. Sejak tahun 1995 program ini dilaksanakan untuk menanggulangi pemberantasan tuberculosis paru di Indonesia.

Apakah tuberculosis itu? Dalam buku Depkes yang sama disebutkan, tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang sebagian besar disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Kuman tersebut masuk ke dalam tubuh manusia melalui udara pernafasan ke dalam paru. Kemudian kuman menyebar dari paru ke bagian tubuh lain melalui system peredaran darah, system saluran limfa, saluran nafas atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. TB dapat terjadi pada semua kelompok umur, baik di paru maupun di luar paru.

Sebagian besar orang yang terinfeksi (80-90%) belum tentu menjadi penderita tuberculosis. Untuk sementara, kuman yang berada dalam tubuh mereka bisa berada dalam keadaan dormant (tidur). Orang yang tidak menjadi sakit tetap mempunyai risiko untuk menderita tuberculosis sepanjang sisa hidupnya. Sedangkan mereka yang menjadi sakit disebut sebagai penderita tuberculosis.

Dalam makalah yang berjudul ‘Diagnosis dan Pengobatan Tuberkulosis pada Bayi dan Anak’ (tahun 2002), dr. Oma Rosmayudi SpA, pengajar di Fakultas Kedokteran Bagian Ilmu Penyakit Anak Universitas Padjajaran, menjelaskan bahwa penyakit TB ditularkan orang dewasa kepada anak-anak, dan tidak dari anak ke dewasa. Sumber penularan yang paling berbahaya adalah penderita TB dewasa dan orang dewasa yang menderita TB paru dengan kavitas (caverne). Kasus seperti ini sangat infeksius dan dapat menularkan penyakit melalui batuk, bersin dan percakapan. Semakin sering dan lama kontak, makin besar pula kemungkinan terjadi penularan. Sumber penularan bagi bayi dan anak yang disebut kontak erat, adalah orangtuanya, orang serumah atau orang yang sering berkunjung.

Hal-hal berikut dapat terjadi pada bayi dan anak yang mempunyai kontak erat dengan penderita TB dewasa. Anak mungkin tidak pernah terkena infeksi, terkena infeksi tetapi tidak sampai menderita penyakit, mengalami infeksi yang kemudian menjadi penyakit, atau mengalami infeksi laten beberapa lama kemudian (akan mengalami penyakit apabila terjadi penurunan daya tahan tubuh). Anak yang rawan tertular TB adalah anak yang berusia dibawah 5 tahun. Bila terinfeksi, mereka mudah terkena penyakit TB, dan cenderung menderita TB berat seperti TB meningitis, TB milier atau penyakit paru berat. Muncul tidaknya infeksi penyakit TB tergantung beberapa faktor seperti daya tahan tubuh (umur,status gizi, penyakit, ada tidaknya kekebalan spesifik) serta jumlah dan virulensi kuman yang sampai ke saluran di paru-paru.

Diagnosis, pengobatan dan pencegahan

Mengapa diagnosa pasti TB pada anak sulit ditegakkan?. Diagnosis pasti TB dibuat bila ditemukan basil TB dari bahan yang diambil dari dahak (sputum), bilasan lambung atau jaringan yang terkena penyakit. Tetapi pada anak hal ini sulit dan jarang didapat. Karenanya diagnosis TB pada anak didasarkan atas diagnosis kemungkinan (probability) dari hasil gambaran klinis, gambaran radiologis, uji tuberculin dan pemeriksaan lain yang cocok. Selain itu, anak yang menderita TB tidak banyak menunjukkan gejala dan tanda. Hanya sebagian kecil penderita yang memberikan gejala tidak spesifik seperti demam, sulit makan, penurunan berat badan, batuk dan mengi (sesak nafas).

Konsensus nasional TB anak IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) 2002 membuat alur deteksi dini dan rujukan TB pada anak sebagai berikut. Seorang anak dicurigai menderita TB bila, ada riwayat kontak dengan penderita TB sputum BTA positif, reaksi cepat BCG( timbul kemerahan di lokasi suntikan dalam 3-7 hari setelah imunisasi BCG), berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan kurang yang tidak naik dalam 1 bulan meskipun sudah dengan penanganan gizi, demam lama atau berulang tanpa sebab yang jelas, batuk lebih dari 3 minggu, pembesaran kelenjar limfe superficial yang spesifik, skrolfuloderma, konjungtivitis fliktenularis, tes tuberculin yang positif (> 10 mm), dan gambaran foto rontgen sugestif TB. Bila ditemukan 3 gejala atau lebih, maka seorang anak dianggap menderita TB dan harus mendapatkan obat anti tuberculosis (OAT). Selanjutnya anak diobservasi selama 2 bulan. Bila keadaannya membaik maka OAT diteruskan, tapi bila tetap atau memburuk harus dirujuk ke rumah sakit.

Pengobatan TB pada bayi dan anak pada dasarnya sama dengan TB dewasa. OAT diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah dan dosis yang tepat selama 6-9 bulan supaya kuman dapat dibunuh. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan tahap lanjutan. Tahap intensif dimaksudkan untuk menghentikan proses penyakit. Tahap ini harus dilaksanakan dengan pengawasan ketat untuk mencegah terjadinya kekebalan obat selama 2 bulan. Sedangkan tahap lanjutan dimaksudkan agar semua kuman yang dorman (tidur) terbunuh. Pemberian obat kombinasi lebih sedikit tetapi dalam jangka waktu lebih panjang yaitu 4 bulan. Semua tahap OAT diberikan setiap hari dalam satu dosis sebelum makan pagi.

Mengingat angka kejadian TB yang cenderung meningkat, bagaimanakah cara pencegahan agar anak tidak tertular penyakit ini? Menurut Prof. Cissy dalam makalah yang sama, TB pada bayi dan anak dapat dicegah dengan beberapa cara seperti imunisasi BCG (Bacillus Calmette-Guerin), pengobatan untuk pencegahan (kemoprofilaksis), menghindari kontak dengan penderita TB, mendiagnosis dan mengobati kasus TB dewasa secara tepat, serta dengan menerapkan strategi DOTS .

Cara-cara pencegahan di atas telah dilakukan di Indonesia. Dengan segala keterbatasan yang ada, pemerintah telah melakukan Program pemberantasan tuberculosis paru dan berbagai kebijakan lainnya. Namun semua itu belum memperlihatkan hasil yang nyata. Karenanya peran aktif dokter dan masyarakat akan sangat membantu dalam pemberantasan penyakit ini.

Para dokter diharapkan selalu menambah pengetahuan dan ketrampilan agar dapat mendeteksi serta mendiagnosis penyakit TB pada stadium dini. Sedangkan masyarakat dituntut lebih proaktif dalam meningkatkan pengetahuan dan keingin-tahuan mengenai penyakit ini. Bila pengetahuan masyarakat bertambah, masyarakat akan lebih waspada, sehingga penyakit TB pada anak dapat terdeteksi dan terobati sejak awal.

Selain itu, masyarakat dapat membantu melaporkan kasus baru TB dewasa dan memberikan motivasi pada penderita untuk berobat dan tidak bosan meminum obat. Hasilnya, akan semakin banyak penderita dewasa yang sembuh dan tidak lagi menularkan penyakitnya pada anak-anak. Ingat, hembusan nafas setiap penderita TB paru dewasa dapat menular pada sepuluh anak disekitarnya, jangan biarkan! (Agnes Tri Harjaningrum, dokter umum, dan peserta klub penulisan Hardim)

My Name is John Don’t

Pikiran Rakyat, Minggu, 14 Maret 2004

http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0304/14/hikmah/lainnya4.htm

Alkisah, di negeri antah berantah, hiduplah seorang anak yang bernama John. Ibunya sering melarang apapun yang dilakukan John. Sedikit-sedikit, “John..don’t!”, sedikit-sedikit, “John..don’t!”. Akhirnya, setiap ada orang bertanya, “what’s your name?” Dia selalu menjawab, “my name is John Don’t”Setiap hari, anak-anak di belahan dunia mana pun, selalu mendengar kata larangan ini, “jangan!”. Di telinga mereka selalu terdengar “jangan nakal, jangan main air, jangan panjat-panjat, jangan ini, jangan itu, !” Persis seperti adegan sebuah iklan sabun pencuci. Seorang anak yang selalu dilarang ibunya karena takut kotor. Hampir setiap orangtua sering melakukannya. Melarang anak bermain air, tanah, naik pohon, berlari-lari, dan kegiatan bermain lainnya. Padahal, dunia anak adalah bermain. Alhasil, kreatifitas anak terhambat. Anak semakin membangkang, atau bahkan menjadi pasif dan penakut.
Continue reading “My Name is John Don’t”