Aku tak pernah menyangka bila akhirnya perjalanan hidup membuatku harus mencicipi rasanya keterasingan, menjadi orang asing, menjadi sosok aneh yang tak lazim. Kadang, mereka memandangku sebelah mata, mentatap lama-lama, dan menganggapku sebagai manusia penebar murka. Meski memang tak semua, namun awalnya berat juga. Aku bahkan sempat menitikkan air mata.
Suatu kali ketika aku sedang berbelanja di pasar tradisional ala Eropa, aku telah menunggu dengan lama dan berusaha bertanya. Namun sang penjual tak mau menyapaku juga. Meski akhirnya aku dilayaninya, namun dipandangnya aku dengan mata tak suka. Kali lain, ketika aku dekat dengan anak-anak balita Belanda lantaran kerap menjaga mereka saat jam istirahat sekolah, orangtua-orangtua mereka sering menghunjamkan matanya padaku lama-lama. Pernah, anak bule ganteng berumur 5 tahun bernama Boaz, ketika papanya menjemput, dipamerkannya aku pada papanya dan disapanya aku dengan mesra. Ayahnya yang semula menatapku sekilas lalu segera membalikkan badannya. Dipandanginya aku dari ujung kaki sampai ujung kepala, hingga kemudian ia berlalu bersama anaknya. Sreet! Hatiku tergores seketika. Betapa hina aku dimatanya, hingga ia harus memelototi aku sedemikian rupa. Ah, sudahlah biarkan saja, tak kenal maka tak sayang begitu kan kata orang, hiburku mencoba menghapus goresan luka.
Continue reading “Being ‘Alien’”