Ia Akan Pergi

Ketika ia hendak pergi
Ada bening mengalir di sudut mata ini
Ketika ia tinggal sehari lagi
Ada rindu yang seketika menghampiri

Rindu suasana
Rindu sanak saudara
Rindu tanah air tercinta
Rindu berjumpa lagi dengannya

Ah, mengapa kini baru terasa
Betapa ia begitu berharga
Ia yang meluruhkan angkara murka
Ia yang mampu menyejukkan jiwa

Jangan, jangan pergi secepat ini
Baru sejenak murka itu pergi
Baru setetes sejuk itu meresap di hati
Akankah mereka hilang lagi?

Ah, salahku sendiri
Tiga puluh hari kulalui
Dengan setengah hati
Ampuni aku ya Robbi…

Untuk sahabat-sahabatku tersayang. Menjelang hari yang fitri, mohon dimaafkan segala salah dan dosa yang mestinya kerap ada. Karena aku hanyalah manusia. Kadang aku tak kuasa menghindari semuanya.

Mohon maaf lahir dan batin. Selamat Idul Fitri 1426 H

Lebaran tinggal sehari lagi. Apa yang kudapati di bulan suci ini? Tak banyak memang. Tapi aku berharap yang sedikit ini mampu bertahan, tak lagi hilang. Ini kali kedua aku menjumpainya di negeri ini. Pertama, kutemui ia dengan penuh air mata. Air mata segala rasa, pelajaran berharga dari yang Maha Kuasa. Kini, kujumpai ia tanpa air mata. Barangkali karena memang sudah saatnya aku mencicipi sedikit permata. Bukankah air mata selalu membawa permata?

Ah, jangan-jangan aku aja yang gede rasa. Merasa dapat permata. Hmm…barangkali memang iya. Tapi tak apalah sesekali aku gede rasa, karena gede rasa kali ini kudapat dari perenungan yang cukup lama.

Seperti memetik buah. Buah dari pohon yang diberi pupuk setahun lamanya. Pupuk selalu tak enak, kotor dan bau. Tapi buah, selalu nikmat rasanya. Buah itu kupetik satu persatu, sejak air mata berkurang satu demi satu.

Dua butir permata dihadirkan Allah kepadaku menjelang bulan puasa lalu. Tiba-tiba saja aku diminta menulis tentang puasa ramadan dihubungkan dengan kesehatan. Tiba-tiba pula aku diminta menjadi nara sumber mengenai topik yang serupa. Awalnya aku diminta mengisi pengajian ibu-ibu di Delft, tak lama PPME Amsterdam pun memintaku untuk hadir pula. Tapi yang ini bukan hanya ibu-ibu, bersama bapak-bapaknya juga. Oiya, pengajian online salamaa pun memintaku berbagi pula. Tentu saja mau tak mau aku harus mempelajari betul tentang puasa dihubungkan dengan kesehatan ini. Dan ternyata, subhanallah. Kekuatan puasa memang luar biasa. Dari semua pengalaman mempelajari puasa, berbagi dan meresapinya, aku semakin merasa bahwa aku butuh puasa. Perasaan tentram, nyaman dan zero ketika berpuasa itu seperti candu jadinya. Membuatku tak ingin berhenti untuk berpuasa, semoga aku bisa.

Permata kedua hadir sebulan sebelum puasa. Aku menitip beberapa buku dari Indonesia. Tapi entah mengapa, bapakku menyelipkan buku itu. Buku panduan sholat khusu’. Tentu Allah sudah mengaturnya. Hmm.. lagi-lagi aku gede rasa. Ah biar saja, bagiku di dunia ini, kebetulan itu tak ada. Semua atas skenarioNya. Awalnya suamiku yang membacanya, dan ia merasa tercerahkan. Aku penasaran dan mencobanya pula. Hmm ternyata…nikmatnya memang tiada dua. Ya walaupun hanya sesekali aku bisa merasakannya. Tapi pengalaman ini sangat berharga. Beri aku kemampuan untuk selalu mengasahnya Tuhan…

Sesudah permata, tentu akan ada lagi babak air mata selanjutnya. Karena begitulah dunia, berputar seperti roda. Hanya satu yang kupinta, kekuatan dan kekuatan. Tiada daya dan Upaya kecuali kekuatan dariMu ya Allah. Jadikan aku manusia, seperti yang Kau mau… Entah mengapa, tak ada doa lain yang bisa kuminta, selalu itu-itu saja. Karena aku selalu merasa tubuh ini hanyalah wadah yang tak bisa apa-apa tanpa Kekuatan dariNya.

Juragan Peyek

Aku dan suamiku adalah penggemar rempeyek. Dulu sewaktu di Bandung, aku suka membeli peyek satu atau dua toples besar sekaligus. Penjual rempeyek langganan kami adalah ibu-ibu yang tinggal di dekat tempat kerjaku. Dan hasilnya rempeyek itu akan ludes hanya dalam hitungan hari. Kalau ada kerabat datang dari Bojonegoro, kami akan selalu menitip rempeyek. Begitu juga kalau kami pulang ke Bojonegoro, mertuaku selalu menggorengkan peyek beberapa toples sebagai oleh-oleh. Saking kangennya sama rempeyek, kami beberapa kali membelinya di toko Melati. Tapi lama-lama bangkrut. Harganya selangit! Mosok 2 Euro cuma dapat satu plastik kecil. Wah gimana nih. Tapi akupun ogah kalau disuruh menggoreng rempeyek. “Susah Yah gorengnnya, lama, males ah,” kataku pada suamiku. Continue reading “Juragan Peyek”

Belajar Puasa tanpa Terpaksa

Pikiran Rakyat, 25 September 2005

Klik di sini

“Tapi Bu, aku betul-betul nggak mau makan. Aku anak laki-laki dan sudah besar, aku bisa puasa bu,” kata Thabit pada ibunya. “Kamu juga puasa, Thabit. Anak umur 7 tahun berpuasa dengan sahur di pagi hari, sedikit makan di siang hari, kemudian mereka tidak makan apa pun sampai tiba waktunya berbuka,” kata ibunya lagi. “Tapi Ibu kok tidak berpuasa seperti aku ?” anak lelaki kecil itu memaksa. “Ibu sudah dewasa Thabit, Ibu berpuasa dengan cara orang dewasa.Cuplikan percakapan antara ibu dan anak ini diambil dari sebuah situs Muslim di internet. Membacanya barangkali bisa membuat kening beberapa orang tua berkerut dan bergumam dalam hati, “Lho ibunya Thabit ini bagaimana sih, lha wong anak ingin puasa sehari penuh malah dilarang?” Percakapan di atas memang mungkin terdengar tak lazim, karena yang kerap terjadi malah sebaliknya. Orang tua, secara sadar maupun tidak, sering memaksa anak untuk berpuasa sehari atau sebulan penuh, bahkan sejak usia balita. Orang tua pun bangga bila anaknya mampu berpuasa sehari penuh sejak usia dini.
Continue reading “Belajar Puasa tanpa Terpaksa”

Ayah, Kau Begitu Berharga

Saat kau tak ada, dunia kami terasa hampa. Tak ada lagi gelak tawa dan jerit mungil anak-anak kita. Tak ada lagi cekikik geli mereka. Mereka rindu wajah anehmu ketika kau menjadi hamtaro yang lucu. Mereka rindu rentetan peluk ciummu yang kadang berlebihan dan membuat mereka kesakitan. Mereka rindu diputar-putar, mereka rindu dikejar-kejar. Mereka rindu suaramu yang bisa mengecil dan membesar. Mereka rindu wajahmu yang bisa berubah menyeramkan. “Aik miss ayah, mbak Lala kangen ayah,” begitu mereka berujar, hampir setiap malam. Ayah, kami sangat rindu padamu. Kau begitu berharga. Tanpamu, dunia menjadi begitu berbeda.“Para ayah memiliki pengaruh luar biasa terhadap anak-anak mereka. Gaya permainan ayah kepada anaknya yang sangat heboh dan kadang kasar justru merupakan cara yang penting untuk membantu anak belajar tentang emosi. Ayah yang secara emosional terlibat dalam pengasuhan anak-anaknya terbukti memberi kontibusi khusus bagi tumbuh kembang mereka. Studi psikologi bahkan menunjukkan bahwa Anak-anak yang ayahnya kerap meneguhkan perasaan mereka dan memuji prestasi mereka memiliki hasil yang lebih baik dalam prestasi akademis dan dalam hubungan dengan teman sebaya,” kata John Gottman dan Joan DeClaire dalam bukunya ‘Kiat-kiat Membesarkan Anak yang Memiliki Kecerdasan Emosional’.
Continue reading “Ayah, Kau Begitu Berharga”