Huru Hara ketika masak buat Ultah

Aku senang dan semangat sekali mau membuat tumpeng dan tart untuk ulang tahun anak-anakku.Tapi hari kamis tanggal 16 Desember, ayah tak pulang. Ada konferensi di Leiden sampai Jumat malam. Ternyata… aku kapok…pok membuat kue sendirian selagi ayah tak ada. Wuih huru haranya luar biasa, aku sampai kehilangan kesabaran, akibatnya marah-marah melulu, apalagi aku sedang pms alias pre menstrual syndrom. Rasa kesalku benar-benar menggunung jadinya. Parahnya lagi, kerjaanku jadi lamaaa sekali tak kunjung selesai. Awalnya, aku ingin hari kamis malam sudah mulai membuat kue, berikut menghias tart buat kedua anak itu, tapi… rencana tinggal rencana. Akhirnya hari Jumat malam aku baru selesai menghias kue kepunyaan lala, punya malik akhirnya dilembur sampai jam 3 pagi. Huru haranya ya karena ulah mereka selagi aku masak. Aku tahu, bagaimanapun seharusnya aku tidak marah seperti itu sama mereka. Efeknya pasti buruk untuk mereka. Tapi entahlah saat itu semua teori tentang parenting dan spiritual mengenai ibu yang baik lenyap di kepalaku, yang ada, rasannya aku cuma ingin marah dan marah ketika pekerjaanku mereka ganggu. Apalagi bayangan-bayangan tentang masa lalu berseliweran lagi di kepalaku. Hmh…Entahlah hari itu aku betul-betul kehilangan kontrol.Jadi ceritanya, aku mulai membuat kue jam 9 pagi, setelah beres mengantar lala ke sekolah. Setelah itu, aku mulai membuat cake. Aik asik menonton tv. Ya bagaimana lagi, tv itu betul-betul senjata terakhir kalau aku dan ayah sedang sibuk atau lagi ingin berduaan. Kami suruh saja mereka nonton tv, pasti kami tak terganggu.

Ternyata, karena baru pertama kali pakai panggangan kue, api yang aku nyalakan terlalu besar. Kue bagian atas sudah hampir gosong, tapi yang bawah belum matang, mulailah datang si rasa yang bernama bete itu . Akhirnya aku kecilkan apinya. Tapi jadi lamaaa sekali matangnya. Sampai menjemput lala jam 12 siang, baru lah lumayan matang itu cake.

Setelah menjemput lala, sampai rumah aku langsung melanjutkan acara membuat kue. Nah dimulailah huru hara. Ternyata aku lihat kuenya masih agak-agak basah, beteku datang lagi. Akhirnya aku panggang ulang. Selama memanggang dan mempersiapkan yang lain, Aik mulai berulah, pertama dia memanggilku “Bunda… Aik mau apel nggak pake kulit…” Yo wis, terpaksa, aku tinggalkan keasyikan mengadoni bahan kue kedua. Baru saja mau mulai lagi, berbunyi lagi tuh suara si kecil ” hua…hua …Bunda…Aik mau kentang goreng, aik laper…”. Akhirnya, kuhentikan lagi pekerjaanku, dan kugorenglah si kentang. Selanjutnya baru saja asyik mengocok telur, Aik teriak lagi “Bunda…Aik mau eek…” Hmh… capeeeek rasanya pekerjaanku tertunda terus.

Setelah selesai memanggang kue, aku potong pinggiran kue supaya rapih. Anak-anak sangat senang, mereka mulai mencicipi potongan-potongan kue itu. Aku sudah wanti-wanti berpesan kepada mereka, “Anak-anak cuma boleh makan yang dipotong-potong di wadah ini ya, yang udah bagus nggak boleh dimakan.” Tapi ternyata…sekembalinya dari dapur, apa yang kulihat? Ggrh… kemarahanku meledak. Si kue yang aku buat setengah mati dari pagi sudah tak mulus lagi, gerepes setengah bagian. Aku betul-betul kesal. Suaraku langsung meninggi “Siapa yang makan kue ini?!” Anak perempuanku dengan sedikit kaget menjawab “Sorii… Lala yang makan bun…” Ggrh aku marah besar, dengan suara keras aku bilang sama lala “Lala! nggak tau bunda udah capek-capek bikin dari pagi! Bunda udah bilang jangan makan yang ini kenapa dimakan?!” Ggrh gemas rasanya, ingin sekali mencubit anak itu, tapi pantang buatku main tangan sebesar apapun kemarahanku. Lala hanya bisa bilang “Sorii…” Aku tahu dia menyesal. Melihat kemarahanku yang seperti itu dia protes.

” Lala nggak akan makan lagi bun, tapi bunda bukan orang baik, orang baik nggak suka marah kayak gitu” . Hmh… tambah kesal rasanya, lalu aku bilang sama lala “Lala, bunda nggak akan marah kalau lala denger apa yang bunda bilang, lala tadi udah bilang iya iya nggak akan makan, tapi kenapa dimakan?!” Aku semakin kesal karena dia berdalih tentang telinganya ” Lala nggak denger bun, telinga lala yang sebelah kan budek”. Wuah aku semakin kesal saja karena tahu dia menjadikan telinganya sebagai alasan, gawat kalau keterusan.

Aku memarahi lagi lala, aku katakan bahwa telinganya baik-baik saja karena tadi lala sudah sepakat tidak akan makan. Akhirnya lala bilang “Iya sorii, lala laper bun…hua…hua…bunda nggak baik…ayaaah…” Akhirnya meledaklah tangisnya sambil minta pertolongan ayahnya. Untunglah, semarah-marahnya, aku masih tahu batas. Aku peluk dia, aku minta maaf, aku minta dia untuk tidak melakukannya lagi, dan berdamai dengannya. Entah kenapa setelah 2 hari aku sering marahi dia, telinganya semakin parah. Setiap dipanggil atau ditanya, jawabnya lamaaa sekali, berulang kali setelah teriak baru dia jawab. Siapa yang tak bertambah kesal melihat tingkah laku seperti itu.

Setelah beres urusan lala, Malik kembali berulah. Dia melihatku mengocok telur, kemudian diambilnya telur ke dapur, 1 butir. “Bunda, Aik mau telur, katanya”. Ya aku sudah cukup pusing dengan acara masakku yang tak selesai-selesai, kudiamkan saja dia. Ternyata, dia mengambil mangkok kecil dan sendok kecil sendiri. Dipecahkannya telur itu, kulitnya dibuang ke tempat sampah, lalu dikocoknya dengan sendok. Setelah selesai, diletakkannya mangkok berisi telur di atas meja. Tanpa dosa, tanpa berkata apa-apa, langsung dia pergi dan kembali bermain. Hmm aku hanya bisa menahan geli bercampur kesal melihat ulahnya.

Tak lama kemudian, terdengar lagi teriakan Malik, “Bunda…Aik mau susu “. Hmh…ggrh… hatiku sudah campur aduk tak karuan. Tapi aku berusaha sabar. Aku tak berkata apa-apa, langsung kuambil gelas dan pergi ke kulkas untuk mengambil susu. Ternyata… OO… Oh God, ggrh pe-er baru lagi dari Malik. Pintu kulkas sudah terbuka, botol susu tinggal separuh, setengah cairannya tumpah semua diatas karpet , bagaikan genangan pulau. “Aaaaah ! mau teriak rasanya.” Tapi … mau bagaimana lagi. Aku hanya bisa marah kepada Malik ” Malik! bunda nggak mau Aik numpahin susu diatas karpet lagi, Malik liat bunda, malik denger kan!” Ya seperti biasa, matanya hanya plerak-plerok kesana kemari sambil mengangguk. Pekerjaanku tertunda lagi, aku bereskan semua urusan susu itu terlebih dulu.

Persiapan Ulang Tahun anak-anakku

Hmh…akhirnya, selesai juga pesta ulang tahun kecil-kecilan anak-anakku. Capek dan teler sekali, tapi puas rasanya bisa memberikan sesuatu buat anak-anakku dengan hasil kreasiku sendiri. Tahun-tahun sebelumnya aku tinggal bayar, tinggal minta tolong mbak ning untuk membuatkan kue, minta tolong ibu untuk masak. Sekarang, semua kulakukan sendiri, dan hasilnya menurutku sih lumayan keren hehe, ayah juga bilang begitu. Lalu untuk ulang tahun kali ini ceritanya aku membuat tema untuk anakku, temanya tentang ‘pertumbuhan’. Walaupun effort persiapannya luar biasa, tapi senang sekali rasanya. Cerita kronologisnya begini…Aku ingat kata-kata psikolog di Suryakanti, waktu itu aku bilang bahwa lala suka sekali dengan princess, padahal kan lumayan mahal. Lalu dia bilang, “nggak apa-apa koq anak-anak berimajinasi, asalkan tidak berlebihan, tidak sampai mengganggu aktifitas sehari-harinya, misal sampe susah makan, susah tidur atau nggak mau sekolah gara-gara princess. Nanti juga kalo udah usia sekolah, saat dia sudah banyak tugas di sekolah, akan berkurang dengan sendirinya. Kalo masalah barang-barangnya yang mahal, kenapa nggak dijadikan reward aja, sekalian membudayakan kebiasaan menabung.” begitu katanya. Selain itu aku juga ingat, di bumi limas, anak-anak dibiasakan menabung, setelah akhir tahun, uangnya dibagi 3, yang satu buat beli hadiah kesukaan mereka, yang satu buat ditabung lagi atau terserah mau dipakai apa, yang satu pertiga lagi disumbang buat kaum dhuafa.

Nah sejak itulah, aku membelikan mereka tabungan, dan kalau lala minta barang-barang princess atau Aik minta Bob yang mahal, aku dan suamiku selalu bilang “Ini harganya mahal sayang, kalo Lala sama Aik mau, harus rajin nabung ya biar nanti uangnya bisa buat beli mainan kesukaan Lala sama Aik”. Wah pasti habis itu pulangnya mereka langsung minta uang buat ditabung. Bagusnya juga, mereka jadi belajar buat menunda keinginan. Pernah Aik nangis-nangis di toko Action minta mainan bob, orang lihat dia nangis jerit-jerit juga biar saja, yang penting dia tau, tak setiap semua keinginannya bisa terpenuhi. Akhirnya mereka pintar tuh, tiap ke toko tak pernah minta macam-macam lagi. Tapi ayahnya nih suka ‘gatal’ selalu ingin membelikan mainan untuk anak-anaknya. Aku juga sih, tapi benar-benar kalau sedang ada aanbeiding saja. Jadinya anak-anak sudah tahu ” ini murah ya yah” he he, pokoknya kalau kami sedang jalan-jalan, anak-anak sudah hapal, setiap yang kami belikan pasti berharga murah. Lalu lala jadi sering bertanya, “ini murah ya bun, kalo ini sedang ya, kalo itu mahal?” hehe lucu deh…

Ya, jadi ceritanya sejak disini kalau ada barang lagi aanbeiding, aku selalu membelinya, dicicil untuk hadiah ulang tahun mereka. Contohnya, aku dapat mobil scoop sejak beberapa bulan yang lalu di Kruidvat, harganya hanya 10 euro. Padahal scoop yang besar sekali, harga aslinya kalau tak salah 30 atau 40 euro ya lupa. Lalu boneka princess auroranya lala, berikut tempat tidurnya juga dapat 18 euro, padahal harga asli 30 euro an, lumayan kaan.

Sebelum hari ulang tahun, lala sudah jauh-jauh hari berpesan, mau dapat hadiah 7. Dua dari ayah, dua dari bunda, dua dari aik dan satu dari tabungan, he he banyak sekali kan. Ya namanya juga anak-anak, yang penting banyak, harganya sih yang murah-murah juga tak peduli mereka. Lantas, karena khawatir aik iri melihat mbak lala dapat hadiah banyak, ya akhirnya aku ambil keputusan disatukan saja hari pestanya, supaya aik juga dapat hadiah.

Ulang tahun lala tanggal 16 Desember, tapi karena ayah harus ke Leiden, mana hari kerja pula, akhirnya kami putuskan untuk pesta tanggal 18 hari Sabtunya. Jadi seminggu sebelum hari H, aku mulai sibuk belanja, mulai belanja kado, belanja pernak-pernik membuat kue dan tumpeng. Wah tak punya uang pun cuek aja aku. Sebetulnya kan hanya masalah perasaan saja. Dulu punya uang banyak pun tersimpan di bank, tenang, begitu saja bedanya. Sekarang tak punya uang juga tercatat di bank, yang penting kan masih bisa makan, masih bisa belanja.Ya aku yakin sih kalau masalah rejeki Allah memang sudah atur, kami lagi disuruh susah saja sekarang. Roda berputar deh, ada masanya diatas ada juga dibawah. Tapi aku tak mau, hanya gara-gara uang lalu aku semakin bete dan tak bisa keluarkan semua ide dan mimpiku. Selama masih mungkin, kenapa tidak. Uang bisa dicari, rejeki sudah ada yang atur, tapi kesempatan berharga tidak datang dua kali, begitu prinsipku. Uang memang penting tapi bukan segalanya. Aku mau uang jadi pembantu dalam hidupku bukan raja, seperti kata Gede Prama.

So… belanja lah aku. Wuih mumet cari peralatan kue disini. Menyesal dulu tak menurut kata ibuku sewaktu disuruh membawa peralatan untuk membuat kue. Padahal aku bisa membawanya di kontainer. Keliling-keliling setengah mampus dapatnya yang plastik semua. Meja putar tak ada, mentega putih pun tak ada. Apalagi peralatan pernak-pernik untuk hiasan kue, entah dimana aku bisa beli. Tapi… kesulitan malah memacu kreatifitas bukan. Jadi akhirnya, aku pakai yang ada. Butter cream jadi kuning its oke lah. Terus pernak-perniknya aku beli patung snow man, 3 buah harga hanya 1 euro, karena sedang musim natal. Lalu untuk kurcacinya, aku dapat di kruidvat, stempel sprookjes 12 buah harganya 3 euro. Lantas untuk pohonnya aku bingung pakai apa, akhirnya aku membeli krans. Itu lo yang untuk digantung di pintu kalau natalan. Eh ternyata pohonnya jadi macam-macam, malah lucu he he.

Pokoknya dari hari Sabtu sampai kamis aku sibuk belanja bahan kue, hadiah dan bahan tumpeng. Capeeek sekali rasanya, selalu pergi pagi pulang sore… begitulah cerita persiapan ulang tahunnya….

Kembali ke Sekolah Lokal?

Tulisanku berikut ini merupakan response terhadap artikel/tulisan yang dikirim ke milis We Are Mom oleh seorang teman. Tulisan aslinya bisa dibaca di Sini: Web Milis We Are Mom.

Date: Sun, 19 Dec 2004 09:11:30 -0800 (PST)
From: “Agnes Tri Harjaningrum”
Subject: Re: [We_R_Mommies] FW: [Baitnet] Kembali ke Sekolah Lokal
To: We_R_Mommies@yahoogroups.com

Tulisannya memang menarik. Tapi masalahnya mungkin tidak sesederhana itu ya. Masalah pendidikan di Indonesia itu teramat sangat kompleks. Kebetulan di tempatku ada yang lagi ngambil program Doktor bidang pendidikan. Dia bilang, sebelum menerapkan kurikulum yang akan dipakai di sekolah,pemerintah Belanda melakukan penelitian 20 tahun dulu sehingga akhirnya memakai kurikulum tersebut di sekolah2. Jadi, kalo ada program kerjasama antar guru dan ortu, wajar banget karena kurikulum bagus, kualitas guru oke, biaya untuk itu juga ada. Pemerintah memang concern dalam hal pendidikan.
Continue reading “Kembali ke Sekolah Lokal?”