Bawang Merah dan Pelabelan pada Anak

Aku sering menceritakan kisah ‘bawang merah dan bawang putih’ pada anak-anakku. Mereka senang mendengarnya, selalu ingin lagi dan lagi, walaupun sekarang tidak lagi, karena mereka sedang gandrung dengan cerita ‘Nenek dan tulang’ dari ayah. Aku mendapatkan pelajaran berharga dari Lala beberapa hari lalu. Pesan moral yang sampai lewat cerita ternyata begitu kuat meresap dalam benak mereka, dan satu hal lagi yang penting, pelabelan pada anak memang harus positif. Alhamdulillah selama ini aku selalu tekankan pada mereka bahwa mereka anak baik, tak boleh ada yang menyebut mereka nakal, dan tak boleh mereka mengucapkan kata-kata nakal. Ternyata, itulah citra diri yang melekat bagi lala, bahwa lala adalah anak baik.Siang itu, Lala dan Aik sama-sama ingin makan dengan lauk nugget ikan. Kemudian aku menggorengnya untuk mereka, 4 buah. Setelah matang, aku bawa ke piring mereka masing-masing. Lala langsung mengambil semua nugget itu ke piringnya. Dengan sangat lembut aku berkata kepadanya “Lala, yang sebagian buat Malik ya…”

“Tapi mbak Lala laper bun, mbak Lala suka nugget ikan”

“Iya, tapi kalo lala ambil semua, berarti lala kaya bawang merah,rakus namanya”

Lala langsung terdiam, menangis keras,dan mengembalikan semua nugget ikan dalam piringnya.

“Hiks…hiks…bunda bukan bundanya lala,bunda bukan bunda yang baik. Kalo bunda, bunda yang baik, bunda ngomongnya nggak gitu. Lala nggak mau makan lagi huaa… ”

Aku tersentak kaget dan langsung tersadar,aku telah salah bicara.

“Maafin bunda ya la, bunda salah ngomong, lala nggak rakus, lala nggak kaya bawang merah, lala anak baik, biasanya kan lala mau berbagi kan la.”

“Huaa…lala nggak sayang sama bunda, bunda bukan bunda yang baik. Kalo bunda baik, bunda nggak ngomong gitu. Lala anak baik, lala bukan kaya bawang merah huaaa…Lala kembaliin semua, lala nggak mau makan lagi! Huaa…”

Aku tahu, lala tersinggung dan marah sekali. Aku langsung memeluknya. Aku benar-benar tak sengaja mengucapkan kata-kata itu tadi. Aku memang salah. Aku peluk dia erat-erat, dan aku belai-belai rambutnya sambil meneguhkan perasaannya.

“Lala, lala marah sekali ya sama bunda karena bunda bilang lala kaya bawang merah dan rakus”

“Huaaa…iya, lala marah sekali sama bunda. Lala nggak kaya bawang merah bun lala anak baik, huaaa…”

“Iya la, lala anak yang baik sekali, bunda tau, lala pasti tersinggung dan marah sekali karena omongan bunda tadi. Maafin bunda ya sayang, bunda salah ngomong tadi.”

“Huaaa… lala nggak sayang sama bunda, bunda bukan bunda yang baik”

“Lala pasti marah sekali ya sama bunda, sekarang lala lagi nggak sayang ya sama bunda. Maafin bunda ya sayang…”

“Hiks…tapi bunda nggak boleh ngomong kaya gitu lagi, kalo enggak, lala marah sekali sama bunda hiks…”

“Iya sayang, bunda minta maaf, bunda janji nggak akan ngomong gitu lagi, lala anak yang baik sekali, biasanya juga lala mau berbagi sama aik kan. Sekarang lala masih marah sama bunda? banyak atau sedikit?”

“Sedikit bun…hiks…hiks…” Tangis lala mulai mereda

“Alhamdulillah, bunda seneng deh, mbak lala sekarang kalo marah nggak lama-lama lagi, makasih sayang udah mau maafin bunda. Lala masih marah sama bunda sekarang?”

“Enggak bun…” jawab lala sambil masih sesikit sesenggukan.

Hmmh… betul-betul sensitif dia, persis seperti aku. Ya, tapi ini pelajaran berharga juga buatku. Ternyata tidak sia-sia aku ikut pelatihan komunikasi pengasuhan anak dari klub buah hati waktu itu. Setelah diteguhkan perasaannya, anak-anak mudah sekali tenang. Tapi ya aku memang hanya bisa melakukannya ketika kondisiku pun dalam keadaan normal. Jika tidak, wuah, hilang semua teori itu. Tapi mudah-mudahan, setelah kesadaran baru kemarin, kondisi apapun tetap bisa membuatku memberikan yang terbaik. Amin.

Cerita tentang gempa bumi

Indonesia sedang berduka. Presiden menyatakan bahwa tiga hari ini adalah hari berkabung nasional. Ya, gempa tsunami yang melanda negara Asia, termasuk Aceh dan Sumatra Utara kali ini memang sangat dahsyat. Puluhan ribu orang meninggal dunia, puluhan mayat berjejer dan membusuk bergelimpangan. Hiks…sedih sekali membaca berita-beritanya. Kemarin aku berkata pada suamiku “Barangkali Aceh mempunyai sejarah yang kita belum tahu. Menurutku aneh, kenapa seolah Aceh yang menjadi tumbal negara kita, selalu menderita, selalu sengsara. Mungkin suatu saat kita bisa tanya sama mas min yah.” Suamiku menjawab ” Yang penting, ini kesempatan bagi kita untuk menjelaskan pada anak-anak tentang gempa itu, menumbuhkan kepedulian dan empati pada mereka.Kita harus jelaskan pada mereka nanti. Oya uang tabungan mereka dari ulang tahun itu kita suruh sumbangkan saja ke korban gempa.”Akhirnya, ketika makan siang tiba, sewaktu aku dan anak-anak sudah duduk di kursi masing-masing, ayah mulai bercerita.

“Lala dan Aik tau nggak, sekarang di Indonesia lagi ada gempa bumi, di ujung pulau Sumatra, Aceh nama propinsinya. Karena gempa itu, banyak sekali orang-orang yang meninggal, kehilangan ayah bundanya, kehilangan rumah dan banyak bangunan pada rusak semua”

“Kenapa bisa ada gempa bumi yah?” Lala bertanya dengan penuh rasa ingin tahu.

“Wah pertanyaan Lala bagus sekali. Gempa itu terjadi karena di dalam bumi ada lava yang sangat panas, kemudian meledak keluar sehingga tanah disekitarnya bergoyang dan rusak. Seperti taplak meja ini la, dari bawah sama ayah ditarik. Nah kue dan sendok ini pura-puranya rumah dan anak kecil yang lagi main. ”

“Tang ini jadi apa yah” Aik tak tahan ikut nimbrung.

“Ya pura-puranya tang nya jadi jembatan ya. Nah waktu ada gempa, taplak ini seperti digeser dari bawah sehingga semua yang ada diatasnya bergoyang, rusak dan berjatuhan. Anak kecil yang sedang main itu mati tertimpa reruntuhan rumah”

Anak-anak mendengarkan dengan antusias, tapi bagi Malik semuanya tampak tak nyata. Jadi dia bersikukuh menanyakan kabar jembatannya he he. Aku mencoba mencari buku tentang gempa, dan aku menemukan gambaran tentang gempa yang bagus sekali di buku Hamparan Dunia Ilmu serta Ensiklopedi Bocah Muslim. Anak-anak antusias sekali melihat gambar dan mendengarkan penjelasan ayah tentang terjadinya gempa lewat gambar.

“Berapa orang yang mati yah?” Lala tampak tertarik dengan diskusi kali ini.

“Banyak sekali, sepuluh ribu, seperti banyaknya teman-teman sekolah lala kalo lagi berkumpul di lapangan, itu masih 10 kali lipat lagi banyaknya. Kasian ya la, anak-anak yang jadi kehilangan orangtuanya, nggak punya ayah bunda lagi. Coba lala sama aik bayangkan, gimana kalo lala dan aik nggak punya ayah bunda lagi, gimana perasaan lala?”

“Sedih …”

“Kalo Aik gimana?”

“Sedih juga…” Aik menjawab dengan wajah serius

“Kalo gitu, uang yang ada di wadah ini, dari tabungan lala dan aik kemarin, kita sumbangkan buat mereka ya. Kasian sekali mereka sekarang kelaparan, kedinginan, nggak punya baju, nggak punya mainan, semua rusak. Boleh nggak uangnya disumbangkan buat mereka”

“Boleh yah boleh” kata Lala. Aik ikut menjawab sambil manggut-manggut “Boleh yah” jawab Aik.

Lalu setelah itu mereka ribut berebut buku tentang gempa yang gambarnya besar dan menarik.

“Wah acara makan siangnya kapan nih, koq nggak jadi makan, bunda udah laper nih”

“Tapi lala mau baca buku dulu bun…”

“Aik juga, Aik nggak mau makan”

Hmm akhirnya, kesempatan lah bagiku dan ayah untuk makan berdua tanpa diganggu mereka. Ternyata, anak-anak memang begitu polos dan lugu. Mereka dengan cepat menyerap apapun yang orangtuanya sampaikan. Terbukti setelah itu lala tak berhenti bertanya seputar gempa itu.

” Aceh itu Indonesia bun? Di mana bun? Yangkung sama yangti dimana?”

“Bunda ambillkan peta dunia ya la. Nah ini Indonesia, Aceh disini, Bandung disini, Lala di Belanda sini jauuh sekali”

“Kalo di Belanda nggak ada gempa bun?”

“Iya la, disini nggak ada gempa, dulu mungkin ada. Kita berdoa ya sama Allah supaya kita selalu dilindungi Allah. Negara yang kena gempa itu nggak cuma Indonesia la, ada Thailand, Srilangka, India, Bangladesh dan Malaysia”

“Tapi Palembang ini nggak kena ya bun, Bandung juga nggak kena ya bun?”

“Iya sayang, kota-kota ini kan jauh dari pusat gempa, jadi nggak kena”

“Binatang-binatang pada mati nggak bun kena gempa”

“O iya, banyak binatang mati karena gempa”

“Pohon-pohon rusak nggak bun?”

“Iya pohon-pohon juga rusak, sama ya la kaya di buku Nabi, yang ada azab Allah untuk kaumnya itu lo la”

“Oiya bun, disini ada mazenya bun”

Wah siang itu betul-betul menjadi acara diskusi yang seru. Lala sepertinya menyerap semua yang aku dan suamiku ceritakan. Sedangkan Malik, ya mungkin usianya belum bisa menangkap hal-hal yang abstrak, jadi setelah diceritakan lewat buku dan melihat gambar korban gempa di internet barulah dia menyimak dengan baik. Begitulah anak-anak, betul-betul tergantung orangtuanya. Kalau aku dan ayah dalam kondisi lelah, mana mungkin bisa punya energi untuk menjelaskan seperti ini. Kuncinya memang sabar dan sabar. Hmmh… semoga Allah selalu memberikan kesabaran itu pada kami.

Hikmah Dibalik Ulang Tahun Anak-anakku

Acara ulang tahun anak-anakku usai sudah. Hmh…lega dan puas rasanya. Usaha keras yang aku lakukan selama seminggu terbayar sudah. Hari minggu ini menjadi hari kami untuk bermalas-malasan setelah acara pesta kecil-kecilan semalam. Anak-anak terbangun, aku dan suamiku masih ingin berduaan, tak ingin diganggu. Mereka kami perbolehkan menonton TV seperti biasa. Setelah 2 jam, aku memanggil Lala untuk mematikan TV. “Lalaa…sudah 2 jam sayang, matiin TVnya yaa…”. Tapi, tak ada jawaban. Aku panggil sekali lagi, tetap tak ada jawaban. Aku mulai kesal. Kupanggil lebih keras lagi, tak ada jawaban juga, tapi terdengar suara TV dimatikan.

Aku dan suamiku kesal sekali melihat tingkah Lala beberapa hari ini yang tak pernah menjawab ketika dipanggil. Kami khawatir terjadi sesuatu dengan telinganya. Sudah beberapa hari ini ayah selalu ‘mengancam’ Lala bahwa dokter akan melakukan operasi kecil pada telinga Lala bila Lala selalu tidak menjawab pertanyaan kami. Awalnya aku tidak setuju, apa bedanya dengan mengancam. Tapi menurut ayah, kami hanya mengatakan apa yang dianjurkan dokter. Jadi itulah yang selama beberapa hari ini kami lakukan padanya. Ternyata… anak-anak memang tak pernah salah, kamilah orangtuanya yang telah melakukan kesalahan. Alhamdulillah kami segera ditegur Allah, dan diberiNya kami kesadaran baru.Karena masih kelelahan, hari minggu ini, aku dan suamiku jadi lebih sering lagi meninggikan suara karena kesal pada anak-anak. Entah kenapa, suamiku yang biasanya lebih sabar dari aku, menjadi tertular. Aku ingat betul , sejak 3 hari ini lah aku jadi sering marah-marah. Selain karena PMS, membuat kue tanpa ayah, juga karena kecapaian belanja barangkali. Kelakuan Lala yang tak pernah menjawab pertanyaan ketika aku tanya pun semakin membuat aku berang. Semua teori tentang parenting hilang dari kepalaku. Aku selalu meninggikan suara dan mengancamnya. Ketika sedang marah, aku selalu berkata “Lala, kalau Lala nggak mandiri, nggak jadi ulangtahunnya, batalin aja semuanya!” Kami memang mensyaratkan agar dia menjadi lebih mandiri di ulang tahunnya yang ke-5.

Pokoknya, hari Minggu ini mungkin hari buruk untuk Lala. Dia seolah mendapat beban berat setelah usianya 5 tahun. Dia tidak ingin kehilangan semua hadiahnya, tapi kami selalu berkata akan memberikannya pada orang lain jika Lala tidak mandiri.

Setelah makan malam dan anak-anak tidur, aku berkata pada suamiku “Kenapa ya yah, hatiku rasanya panas terus 3 hari ini, memang sih mau mens, tapi sekarang nggak kayak biasanya, anak-anak jadi korban. Aku koq jadi kehilangan kontrol. Malik yang biasanya jarang aku marahi pun jadi kena marahku.” Aku mulai berkeluh kesah pada suamiku. Seperti biasa dia tak pernah menyalahkan aku “Ya wajar ma, mama melakukan semua sendirian. Aku hanya khawatir sama Lala, mungkin betul telinganya harus dioperasi karena hari ini semakin parah, dia sama sekali tidak menjawab ketika kita panggil. Mungkin kita harus membawanya lagi ke dokter ma…”

Tiba-tiba, rasa pedih muncul dihatiku. Terbayang bila Lala harus dioprek-oprek telinganya. Hiks… tiba-tiba aku menangis, tak rela rasanya. Tangisku semakin menjadi karena aku ingat apa yang telah aku lakukan padanya tadi malam. Lala terbangun semalam, merengek-rengek tak bisa tidur, mungkin bermimpi. Tapi aku yang kesal karena terbangun di tengah malam malah memarahi Lala “Lala, lala kan udah janji mau mandiri, tidur sendiri, bunda dan ayah nggak mau nemenin lala. Kalo Lala merengek-rengek terus begini, berarti lala masih kecil dong, nggak jadi 5 tahun, dikembaliin aja semua hadiahnya!”

Lala hanya bisa menangis dan merengek, akhirnya, dia tidur di sebelahku. Tapi karena kesal, aku tidak memeluknya dan tak menggubrisnya. Hiks… aku menyesaal sekali. Aku menangis sejadi-jadinya mengingat semua itu dan juga mengingat betapa 3 hari ini aku telah menjadi ibu yang selalu marah-marah melulu di depan lala. Hiks ya Allah ampuni aku. Tapi aku tak sanggup bila tak Kau mampukan ya Allah. Aku hanya manusia yang tak punya apa-apa, hanya ketitipan ya Allah. Hanya dengan ijinMu aku bisa sabar dan menjadi ibu yang baik, jadikanlah aku ibu yang baik buat anak-anakku, sesuai dengan keinginanMu ya Allah…

Aku menangiiiis terus, hatiku seolah mendapat siraman cahaya baru untuk mengubur semua kemarahan itu dan berubah menjadi sebuah keyakinan untuk mendidik mereka dengan penuh kesabaran. Suamiku pun berkata ” Ya mungkin, di hari ulang tahun mereka, kita diberi peringatan oleh Allah, diberi hikmah lewat Lala yang tiba-tiba jadi semakin parah telinganya. Betapa waktu mereka demikian berharga untuk kita lewatkan. Kita benar-benar harus kembali ke dalam, kembali ke keluarga dulu, kita harus kembali mendoakan mereka selalu disaat mereka tidur. ”

“Hiks-hiks iya ayah, aku nggak mau lagi bicara keras sama anak-anak, kita harus selalu pake kalimat positif, kita harus selalu mendatangi mereka kalau kita perlu sesuatu, nggak dari jauh yah, kita harus sangat sabar menghadapi mereka yah hiks hiks….” aku berdiskusi dengan ayah, sambil terus menitikkan air mata.

” Aku jadi ingat ma, bahwa “No children left behind”. Anak-anak tak pernah salah, orangtuanya lah yang salah bersikap sehingga anak menjadi salah. kita harus pegang prinsip itu ma. Lala mungkin begitu karena kita yang mengancam dia. Teliganya nggak apa-apa, pasti baik-baik aja. Itu karena kita ma, kita coba besok untuk merubah semua yaa ” begitu kata ayah mencoba menenangkan aku.

Ternyata, Allah langsung menguji kesabaran dan janji kami. Malamnya, Lala menangis dan rewel sekali. Lala tak mau tidur di dalam kamar, dia menggeletakkan badannya di luar sambil menangis sesenggukan. Ayah mencoba menenangkannya, tapi tangis lala bertambah keras dan menyuruh ayah tidur karena besok ayah harus pergi kerja katanya. Lalu bunda mencoba memeluk dan menenangkannya.

“Lala sayang, sini dipeluk bunda nak, Lala nggak mau tidur di dalam ya?”

“Hua..hua…iya… Lala mau tidur di luar aja.”

“Lala takut, Lala mimpi buruk?”

“Hiks…hiks…iya bunda…iya, Lala mimpi buruk, udah beberapa hari ini Lala tiap tidur mimpinya nggak indah terus bun…huaa…”

Deg… hatiku langsung tersentak. Ternyata betul. Barangkali dia betul-betul stress karena perlakuan kami. Apalagi dengan apa yang telah kulakukan semalam ketika aku memarahinya sewaktu dia terbangun karena mimpinya. Rasanya aku menyesaal sekali. Dalam hati aku berjanji untuk tak akan lagi mengulangi semua ini.

Esok paginya, kesabaran kami kembali diuji. Lala rewel sekali, masalah bajulah, sepatulah, makanan lah, nangis dan merengeek terus. Padahal, dia harus buru-buru sekolah. Tapi, ayah pun mulai menanganinya dengan penuh kesabaran, tidak lagi memarahi dan menyuruhnya buru-buru. Setelah ayah menjelaskan semuanya dan berjanji untuk tidak bersuara keras lagi, tangis lala berangsur diam dan mulai tenang.

Ajaibnya, sejak itu dia selalu menjawab pertanyaan kami setiap ditanya. Ternyata telinganya baik-baik saja, dia betul-betul melakukan semua itu karena protes dan stress barangkali. Hmh, untung saja Allah segera memberi peringatan. Anak-anak memang selalu membawa sinyal dari Tuhan. Kami orangtuanya lah yang harus pandai-pandai membaca sinyal-sinyal itu. Terimakasih Tuhan karena telah menegur kami dan memberi kesadaran baru pada kami. Sungguh merupakan pelajaran berharga bagi kami untuk menjadi orangtua yang selalu mengisi hati ini dengan sabar. Selama ini, teori tentang sabar sudah sering sekali kami dengar, dan kami sudah cukup berhasil melakukannya. Tapi, menjadi orangtua baru di Groningen dengan segala masalah yang muncul membuat kami lupa. Kesabaran itu perlahan-lahan terkikis. Kini semoga, Allah menumbuh suburkannya lagi dan lagi didalam hati kami.

Malik Pergi ke Thuiszorg

Hari ini Malik bolos sekolah karena harus pergi ke Thuiszorg di Corpus de horn. Thuiszorg itu adalah semacam klinik untuk anak-anak berusia 0 sampai 4 tahun. Disana ada perawat dan dokter yang akan selalu memeriksa tumbuh kembang anak, dan imunisasi anak. Jadi semua urusan mulai dari sulit makan, tidur, pertumbuhan TB dan BB anak, semua di lakukan disitu. Mungkin seperti posyandu di Indonesia barangkali ya. Tapi kalau yang ini mengurusi anak satu kota, lebih lengkap dan gratis lagi. Tiap anak pasti dijadwal untuk bertemu dokter dan perawat tiap beberapa bulan sekali tergantung keperluannya.Waktu baru datang ke Groningen ini, kami dikirimi surat untuk mengisi lembaran imunisasi apa saja yang sudah didapat sama Malik. Tapi karena aku masih pusing dengan masalah adaptasi, lalu baca artikel-artikel tentang vaksinasi yang masih pro kontra, jadinya aku cuekin si surat itu. Ternyata, seorang perawat dari sana datang ke rumahku. Dia heran kenapa aku tak membalas surat itu. Wah aku bilang “Sory, I didn’t answer because I’m still confused to decide whether I will give vactination for my son or not”. Ya, kami ngobrol seputar tumbuh kembang Malik dari lahir, mulai dari berat lahir, panjang badan, apgar, kapan dia mulai bicara, jalan, dan lain-lain. Aku ingat betul semua tentang Malik karena aku mencatatnya, tapi lupa, semua catatan itu tak kubawa.

Tadi, kami menemui suster itu lagi. Dia bertanya, “Do you have any question or any problem about Malik?” Ayah yang mulai tanya, tentang feeding, sama sleeping time nya Aik. Anak-anak kan suka tidurnya jam 9 atau 10 malem, sedangkan anak sini tidurnya jam 7 atau jam 8 malam. Ya, suster itu hanya bilang, itu masalah kebiasaan atau aturan yang harus ditegakkan. Aku juga sudah tahu teorinya, anak harus punya koridor, aturan. Anak usia egosentris memang selalu melawan, negativistik, tapi orangtua tetap harus memberi aturan dan koridor. Anak akan merasa lebih nyaman dan aman ketika hidupnya teratur.

Informasi lain yang penting dari suster tadi, karena disini cahaya matahari kurang, anak sampai 4 tahun harus diberi tambahan vitamin D. Untuk vitamin lain, Huisart sendiri tidak menganjurkan apapun bila makanan anak dirasa sudah cukup. Tapi, untuk vitamin D aku pikir memang perlu ya.

Oya tadi aku juga bertanya, kemana aku bisa mencari psikolog untuk lala. Suster itu menganjurkan aku bertanya pada pihak sekolah, karena di sekolah tersedia katanya.

Setelah itu, kami harus menunggu agak lama, baru kemudian bertemu dokter. Dokternya masih muda, bahasa Inggrisnya aku pikir juga kurang bagus. Dia banyak tak mengerti apa yang ku bilang. Dia juga berkata sama, apakah aku punya pertanyaan tentang Malik atau tidak. Malik diperiksa mata tadi. Disuruh pakai kacamata kuda he he, warna coklat besar, satu mata ditutup, bergantian. Malik pintar ketika disuruh menunjuk semua benda yang ada, dia bisa menjawab dengan tepat seperti clock, house,cat, dan auto. Campur-campur pakai bahasa Inggris dan Belanda. Setelah itu diperiksa mata pakai opthalmoscop, diraba leher, dperiksa suara paru-paru, perut , scrotum dan penis.

Oya, tadi aku sempat sedikit bersitegang dengan si dokter. Walaupun WHO, IDAI sudah memberikan penjelasan tentang amannya MMR dan thimerosal. Tapi aku ingin mendapat penjelasan lebih dari dokter disini. Aku bilang, aku masih belum bisa memutuskan apakah anakku mau divaksinasi BMR atau tidak. Aku bilang, waktu malik usia 15 bulan, saat seharusnya di MMR, waktu itu sedang booming pro kontra MMR menyebabkan autism. Si dokter bilang, “it’s good”. Aku bilang, ya aku tahu bagus, tapi kenapa ada banyak dokter, yang tidak setuju. Aku baca dari internet. Terus dia bilang, “You know internet…” Dalam hati aku agak-agak kesal. Whats wrong with internet?.

Aku bilang juga akhirnya,” aku juga baca dari buku dok. Kenapa buku itu ada, kalau kasusnya tidak ada?” Maksudku, aku ingin dia menjelaskan bagusnya dimana dan kenapa, tapi dia cuma bilang bagus. Ya akhirnya aku bilang, aku perlu informasi untuk bahan pertimbangan. Oke akhirnya dia kasih, tapi dalam bahasa belanda. Walah bahasa Belandaku baru level 1 euy…
Ya…akhirnya, Malik akan disuruh balik lagi ketika usianya 3 tahun 9 bulan nanti. Rencananya mau divaksin DPT ulang. Begitulah cerita Thuiszorg hari ini….