Menemani suami mengenyam pendidikan di negeri Belanda, seolah merupakan kenyataan yang menyenangkan dan membuat iri banyak orang. Namun, mengalaminya tidak lah semudah yang dibayangkan. Apalagi bagi para ibu yang mempunyai anak berusia balita dan terbiasa bekerja di Indonesia. Jika tidak diantisipasi, hal ini bahkan bisa mempengaruhi keberhasilan belajar sang suami. Tak dapat dipungkiri bahwa belajar di luar negeri bagi mereka yang membawa keluarga mempunyai beban tersendiri. Di negeri ini, hanya mahasiswa PhD yang umumnya bisa membawa keluarga. Selain karena lamanya studi yang memakan waktu 4 sampai 5 tahun, jumlah beasiswa yang didapat juga relatif mencukupi untuk bisa membawa keluarga. Dalam kondisi seperti ini istri memegang peranan kunci dalam kesuksesan belajar suami serta menjaga kualitas keharmonisan keluarga.
Continue reading “PROBLEMA MENDAMPINGI SUAMI BELAJAR DI NEGERI BELANDA”
Istana Dalam Lumpur
Your daily life is your temple and your religion, Kahlil Gibran.
Setiap orang boleh-boleh saja untuk setuju atau antipati dengan kalimat ini. Apalagi jelas-jelas kalimat tersebut ‘hanya’ milik seorang penyair, bukan sebuah hadist maupun ayat-ayat Al Qur’an. Akan tetapi, sebuah ayat Al Qur’an menyebutkan bahwa seekor semut pun terkadang membawa kebenaran. Jadi bisa saja kalimat diatas menyimpan kebenaran bukan? Cerita berikut barangkali bisa sedikit menyingkap betulkah ada kebenaran dalam kalimat sang penyair.Alkisah, di sebuah kota metropolitan ternama, hiduplah seorang lelaki setengah baya yang kaya raya dan sangat mulia akhlaknya. Hal lain yang menjadikannya istimewa adalah karena senyuman yang selalu tersungging di bibirnya.Tentu saja bukan senyuman milik orang gila, sebab si lelaki masih sangat-sangat waras. Lantas, apa pantasnya lelaki ini dijadikan bahan cerita?
Seperti hidup manusia lainnya, perjalanan kehidupan tak pernah sama. Kadangkala dipenuhi tawa dan bahagia, terkadang pula diiringi tangis dan kesedihan. Terlahir di sebuah dusun terpencil dengan orangtua yang miskin, membuatnya ingin mencicipi kemewahan dunia. Dikaruniai otak yang terbilang lumayan, dikejarnya mimpi melanjutkan studi di kota besar. Berjuang melawan saingan, diraihnya pula impian meneruskan studi di negeri orang. Sepulang dari tanah orang, hidupnya bagai dalam genggaman. Bekerja menjadi pemimpin sebuah perusahaan besar, berapapun uang yang diperlukan tak lagi menjadi hambatan.
Ada pepatah yang bilang, ‘semakin tinggi pohon, semakin kencang angin bertiup’, begitu pula kehidupan membawanya. Hidup memang tak lagi kekurangan, namun harga yang harus dibayar pun semakin mahal. Hitam kelamnya dunia bisnis dan persaingan terkadang memusingkan kepalanya setiap hari. Dihina, dicaci dan dibenci oleh lawan menjadi makanannya sehari-hari. Kawan yang menentramkan pun banyak pula dijumpai, namun ulah lawan bisnis ataupun bawahan yang menjengkelkan selalu hadir dalam kehidupannya setiap hari.
Klise memang, cerita biasa mungkin. Namun ternyata, dia lelaki luar biasa. Silih bergantinya masalah yang timbul setiap hari, selalu dilaluinya dengan senyuman. Bukan senyuman palsu karena paksaan, tetapi senyuman tulus dari lubuk hatinya yang juga selalu tersenyum. Kesedihan, kekesalan dan kemarahan yang datang, kegalauan ketika beragam masalah muncul, terkadang memang memporak-porandakan hati dan pikiran. Tetapi semua ‘lumpur’ itu tetap berhasil membuatnya serasa hidup dalam istana. Rasa sedih, rasa marah, kecewa, benci, dendam dan semua rasa negatif yang muncul dihatinya, selalu bisa diolah dan ‘dijinakkan’ sehingga yang muncul hanyalah sebuah senyuman dan kata-kata penuh kedamaian.Tak pernah dibiarkannya si ‘lumpur’ berlama-lama bertengger dalam hatinya. Tidak pernah pula terlontar ucapan dan tingkah laku yang menjengkelkan. Hatinya selalu damai, selalu tentram apapun ‘lumpur’ yang datang. Dia memang istimewa karena telah berhasil membangun istana dalam lumpur di hatinya.
Dia, si lelaki tengah baya, selalu mengingat dan melakukan pesan guru mengajinya di langgar desa dulu. ” Hiduplah seperti Rosulullah nak, ketika berkali-kali diludahi seorang yahudi, sewaktu ditinggal Khodijah-istri yang teramat dicintainya, saat gundah dan gelisah datang melihat tingkah laku umat-umat dan musuhnya, sebagai manusia biasa, rasa sedih, kesal, kecewa, marah, benci,dan berbagai rasa pasti berkunjung juga di hatinya. Namun hatinya laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan dan mengubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan. Hati adalah wadah, kalbu adalah tempat untuk menampung segalanya. Jihad terbesar adalah melawan hawa nafsu mu sendiri, nafsu yang setiap hari mengembara di hatimu, Nak. Ketika kau telah berhasil merubah semua ‘lumpur’ dan segala kepahitan yang muncul di hatimu menjadi kedamaian dan kebahagiaan, dikala itulah kau telah berhasil mengalahkan nafsumu sendiri.”
Kehidupan manusia, siapapun dia, mulai dari abang becak, mahasiswa, direktur sampai artis kenamaan , dalam kesehariannya pasti selalu berjumpa dengan masalah. Ketika itu terjadi, rasa marah, kecewa, kesal, sedih dan beragam rasa ‘lumpur’ lainnya selalu berkunjung ke hati manusia manapun. Bukan hanya seminggu sekali, atau sebulan sekali rasa itu datang, tetapi setiap hari. Manusia yang berhasil meredamnya, merubah semua pahit menjadi bahagia laksana telaga, dialah manusia yang sedang beribadah, berjuang melawan hawa nafsunya sendiri.
Tak perlu jauh-jauh ingin pergi haji jika memang belum mampu, tak usah pergi ke medan perang di Afghanistan kalau memang tak mungkin, tak perlu jua menyesal ketika belum bisa menyantuni anak yatim. Karena sesungguhnya ibadah besar ada dipelupuk mata. Sepele mungkin, sederhana tampaknya, tetapi melaksanakannya tak semudah membalikkan telapak tangan. Mengolah kesal saat dimarahi atasan, menjinakkan marah ketika anak di rumah berlaku menjengkelkan, dan mengatasi berbagai gundah gelisah yang muncul di hati menjadi sebuah nikmat adalah sebuah perjuangan. Sehari-hari meredam diri, menjinakkan hati dari semua ‘lumpur’ yang datang adalah sebuah jihad akbar. ‘Your daily life is your temple and your religion’ menyimpan sebuah kebenaran ketika manusia berhasil melakukannya, membangun istana dalam lumpur di kehidupan sehari-hari.
Wallahualam bissawab.
Demam Bukan Musuh yang Harus Diperangi
Pikiran Rakyat, Minggu, 17 Oktober 2004
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1004/17/hikmah/lainnya02.htm
Demam pada anak sering menimbulkan fobia tersendiri bagi banyak orang tua. Keyakinan untuk segera menurunkan panas ketika anak demam sudah melekat erat di benak orangtua. Demam diidentikkan dengan penyakit, sehingga saat demam berhasil diturunkan, orangtua merasa lega karena menganggap penyakit akan segera pergi bersama turunnya panas badan.
Keinginan untuk menenangkan kegelisahan orang tua inilah yang terkadang “memaksa” dokter memberikan obat penurun panas walaupun sebenarnya mungkin tidak perlu. Selain itu tak dapat dipungkiri bahwa dokter yang gemar melakukan pengobatan “ala koki” (meminjam istilah Dr. Paul Zakaria da Gomez- ahli imunologi) masih kerap dijumpai. Seperti halnya makanan yang kurang manis ditambah gula, kurang asin ditambah garam, begitu pula pengobatan “ala koki” dilakukan. Apa pun penyebabnya, penderita panas badan langsung dicekoki obat penurun panas tanpa memastikannya terlebih dulu.Apakah memberikan obat penurun panas ketika anak demam merupakan suatu hal yang salah? Bukankah bila demam tidak diturunkan akan menimbulkan kerusakan pada otak? Bukankah pemberian obat penurun panas menyebabkan anak terhindar dari kejang demam (stuip), membuat anak merasa lebih nyaman dan meningkatkan nafsu makan? Hal-hal seperti itulah yang sering terdengar mengenai demam dan banyak didengung-dengungkan di berbagai media iklan. Alhasil demam semakin menjadi momok yang menakutkan bagi orang tua, dan memperkuat keyakinan orangtua untuk buru-buru menurunkan panas ketika anak demam.
Namun sesungguhnya para ahli menyatakan bahwa pendapat-pendapat tersebut hanyalah mitos belaka karena tidak semua dapat dibuktikan kebenarannya. Keberadaan demam justru berperan penting dalam proses penyembuhan penyakit. Bahkan pemberian obat penurun panas ketika anak demam (baik aspirin, paracetamol/acetaminophen maupun ibuprofen) terbukti lebih banyak menimbulkan dampak negatif ketimbang positif.
Sebelum mengetahui lebih lanjut dampak-dampak tersebut, harus dipahami terlebih dahulu bahwa terjadinya demam ketika seorang anak mengalami infeksi bukanlah suatu kesalahan. Tuhan memang sudah memberikan demam sebagai reaksi alamiah tubuh terhadap adanya infeksi. Sehingga ketika seorang anak mengalami infeksi, keberadaan demam semestinya disyukuri, bukan ditakuti atau diperangi karena hal ini merupakan pertanda bahwa mekanisme pertahanan tubuh sedang bekerja untuk melawan penyakit. Demam memang tidak hanya dapat disebabkan oleh infeksi, bisa saja terjadi karena pencetus lain seperti reaksi transfusi, tumor, imunisasi, dehidrasi , dan lain sebagainya. Tetapi pada anak umumnya demam terjadi karena suatu infeksi kuman, entah itu virus maupun bakteri.
Mengapa reaksi alamiah tubuh ini harus disyukuri? Berbagai literatur menyebutkan bahwa komponen-komponen sistem kekebalan tubuh, seperti sel darah putih (leucocyt) dan lymphocyt (salah satu jenis sel darah) akan bekerja lebih baik melawan kuman dalam keadaan suhu tubuh yang meningkat ketimbang suhu tubuh normal. Artinya, menurunkan suhu tubuh ketika anak demam justru akan melemahkan sistem kekebalan tubuhnya.
Saat demam terjadi, pergerakan dan aktivitas sel-sel darah putih meningkat, serta terjadinya perubahan bentuk lymphocyt dapat membunuh bakteri maupun virus yang masuk ke dalam tubuh. Selain itu, jumlah interferon, yang merupakan salah satu substansi antivirus dan antikanker dalam darah, juga akan meningkat dengan adanya demam. Teori tersebut juga didukung oleh sebuah penelitian di laboratorium, pada binatang yang sengaja diinfeksi oleh suatu penyakit. Ternyata dengan meningkatnya suhu tubuh binatang-binatang yang terinfeksi itu, angka kelangsungan hidup mereka semakin meningkat. Sebaliknya dengan menurunkan suhu tubuh ketika terjadi infeksi, malah meningkatkan angka kematian binatang-binatang tersebut.
Hylary Buttler, seorang peneliti dari New Zealand telah mengumpulkan kutipan-kutipan dari berbagai literatur kedokteran yang membuktikan bahwa demam memang diperlukan untuk meningkatkan kekebalan tubuh ketika terjadi infeksi. Sebaliknya pemberian obat penurun panas seperti paracetamol/acetaminophen, aspirin dan ibuprofen malah memberikan pengaruh negatif.
Dalam salah satu kutipan itu disebutkan bahwa pemberian obat penurun panas untuk menurunkan demam akan meningkatkan angka kematian dan kesakitan selama infeksi. Pemberian acetaminophen dinyatakan juga dapat menginduksi terjadinya pneumonia. Selain itu semakin sering memberikan obat penurun panas pada anak dengan penyakit infeksi, ternyata malah akan memperparah dan memperpanjang masa sakitnya. Fakta lain yang lebih penting menginformasikan bahwa obat penurun panas dapat memberikan gejala palsu. Penderita demam yang disangka sedang dalam masa penyembuhan karena panasnya sudah turun, ternyata luput dari observasi dan mengakibatkan penyakitnya berlanjut semakin buruk akibat pemberian obat penurun panas.
Walaupun belum dinyatakan kebenarannya, namun Dr. Torres, seorang peneliti senior dari Biomedical Utah State University, memberikan teori baru mengenai penyebab potensial merebaknya kasus autism belakangan ini. Demam yang dihambat dengan pemberian obat penurun panas pada ibu hamil dan anak-anak kecil, dikatakan terlibat sebagai biang kerok terjadinya autism dan neurodevelopmental disorders. Pada akhirnya kerugian pemberian obat penurun panas ini tentu saja berhubungan dengan biaya pengobatan yang seharusnya tidak perlu dan dapat dimanfaatkan untuk keperluan yang lebih penting.
Lalu bagaimanakah dengan kebenaran mitos-mitos yang sudah mendarah daging diyakini para orang tua? Dalam bukunya “How To Raise A Healthy Child in Spite of Your Doctor” Dr. Robert Mendelsohn yang juga seorang dokter spesialis anak mengatakan, demam tinggi bukanlah penyebab kejang demam. Kejang demam muncul ketika suhu badan meningkat dengan kecepatan yang sangat tinggi dan hal ini umumnya jarang terjadi. Hanya 4 % anak-anak dengan demam tinggi yang demamnya berhubungan dengan kejang. Tidak ditemukan pula bukti-bukti yang menyatakan bahwa setelah kejang demam mereka kemudian mengalami efek serius. Anggapan bahwa pemberian obat penurun panas akan mengurangi kejadian kejang demam pun tidak didasari oleh bukti yang nyata. Karena itu memberikan obat penurun panas kepada semua anak yang mengalami demam, hanya akibat 4% kejadian kejang demam, bukanlah hal yang rasional.
Selain itu demam yang terjadi karena infeksi bakteri atau virus, pada umumnya tidak akan menyebabkan kerusakan otak atau kerusakan fisik permanen seperti anggapan yang telah dianut selama ini. Demam adalah hal yang biasa terjadi pada anak dan bukan merupakan suatu indikasi penyakit serius kecuali bila disertai dengan perubahan penampilan, perubahan tingkah laku atau gejala-gejala tambahan seperti kesulitan bernafas, kaku kuduk atau kehilangan kesadaran. Hanya demam di atas 42,2 derajat Celcius yang telah diketahui dapat menyebabkan kerusakan otak.
Namun tentu saja terdapat perkecualian, yaitu bila demam terjadi pada bayi yang baru lahir. Demam yang terjadi pada bayi di minggu-minggu pertama kehidupannya harus mendapatkan perhatian serius, karena kemungkinan besar infeksi didapat dari proses persalinan, ataupun penyebab lain.
Asumsi yang juga telah sangat diyakini orang tua adalah pernyataan bahwa obat penurun panas akan menyebabkan anak merasa lebih baik, lebih aktif dan meningkatkan nafsu makan. Padahal penelitian membuktikan bahwa tidak ada perbedaan efek yang tampak ketika penderita demam diberi obat penurun panas maupun placebo (sugesti). Jadi tidak dapat dibedakan apakah keadaan lebih baik yang dirasakan penderita sebetulnya merupakan efek placebo atau efek obat. Tapi bila obat penurun panas dipakai sebagai placebo, artinya placebo yang digunakan merupakan placebo yang sangat berbahaya.
Dari keterangan di atas jelas lah sudah bahwa demam bukanlah musuh yang harus diperangi. Karena itu penggunaan obat penurun panas sebaiknya betul-betul diberikan secara rasional. Beberapa negara bahkan membuat peraturan agar dokter-dokter mereka memberikan obat penurun panas pada pasien, hanya ketika demamnya mencapai 40,5 derajat C atau lebih.
Mengingat pengaruh emosional yang telah begitu mendalam di benak orang tua, merubah perilaku ini tentu menjadi pekerjaan yang teramat sulit. Namun dengan merubah paradigma tentang demam, dan menyadari dampak negatif pemberian obat penurun panas pada anak, diharapkan demam tidak lagi menjadi “monster” yang menyeramkan bagi orang tua. Orang tua tidak lagi perlu buru-buru membeli obat penurun panas di warung dekat rumah, ataupun “memaksa” dokter untuk segera menurunkan demam anak.
Selain itu akan sangat bijaksana pula, bila dokter tidak begitu saja dengan mudah memberikan obat penurun panas tanpa indikasi yang betul-betul perlu. Menjelaskan pada pasien mengenai pentingnya keberadaan demam dan dampak negatif menurunkan panas badan ketika anak demam, merupakan tindakan yang lebih rasional. Bila hal ini dilakukan, paling tidak ancaman pengaruh buruk akibat rutinnya penggunaan obat penurun panas terhadap kesehatan anak-anak dikemudian hari, dapat dikurangi.***
Terimakasih untuk seorang istri
Istriku kemarilah
Duduklah di depanku
Dengan tenang bernafaslah
Biarkan hatiku mengarungi
Hingga sejuk embun kurasakan
Ketika kaki batinku menyentuh
Samudera keikhlasanmu
Debur hasrat jiwamu
Menjadi sunyi
Di depan mata mungil bersinar
Yang memintamu penuh harap
“Bacakan aku cerita, Bunda”
Continue reading “Terimakasih untuk seorang istri”