Air Mata untuk seorang Dai, hiks..hiks…

Hiks..hiks…aku semalem nangis, sungguh! Tahu kenapa? Karena aku baca berita Aagym kawin lagi huhuhu. Berita itu betul-betul mempengaruhi aku. Membuat aku yang sebetulnya lagi sok sibuk ini (deuuuh…hehe), yang lagi kejar tayang sama urusan tulis menulis maksudnya, terpaksa harus menghentikan sejenak kegiatanku itu, untuk merenung, berdiskusi sama suamiku dan mencari kedalam diriku apa sebetulnya yang Allah mau aku belajar dari kejadian ini. Asliii aku jadi ga konsen buat melanjutkan kerjaanku. Sediiih, piluuu, dan lain-lain deh perasaanku.

Hah segitunya? Hiks hiks iyaa. Kenapa? Karena, saudara-saudara…aku itu pernah mengalami jatuh bangun dalam proses pencarian agamaku. Tau sendiri deh banyak jalan menuju Allah kan. Daan Aagym ini termasuk orang yang kukagumi, karena dakwah-dakwahnya begitu sejuk, berbicara tentang kebersihan hati dan rasanya nyambung sama pencarianku. ‘Rumah Allah ada di dalam hati kita,” kira-kira itu yang mewakili pencarianku, dan nasehat-nasehat Aagym selama ini cocook banget dengan prinsipku itu.

Dan sekarang ketika dia menikah lagi, glegar..glegaar! Seperti petir menggelegar deh, hatiku hancur berkeping-keping hiks hiks…Duuuh segitunya hehe. Iya banget, soalnya aku tuh paling tidak suka dengan yang namanya poligami! Biar kata aku seorang muslimah berjilbab pula, tapi itulah prinsipku. Dibawah ini aku copy isi hati temenku, laki-laki loh, yang juga kecewa mendengar berita ini. Dan karena pendapat dia itu mewakili pendapatku, maka kupostinglah disini. Makasih banget yaaa Isaa karena sudah mewakili perasaanku, aku ijin untuk taro disini yaa :-)

Hal utama yang paling bikin aku kesulut dan sebel adalah, gara-gara blio yang panutan dan bersih ini menikah lagi, dan kata-katanya tadi pagi di radio, bahwa ga sembarangan orang bisa menikah lagi, harus betul-betul siap, aku malah sebel. Aku jadi mikir, apakah artinya seseorang yang sudah makin tinggi ilmunya dan makin beriman itu kemudian ujiannya adalah dengan berpoligami? Oh nooo! Apakah kemudian wanita yang paling beriman dan paling ikhlas itu adalah wanita yang dengan rela dan ikhlas hatinya, senang-senang saja ketika suaminya menikah lagi? Oh noooo!

Tau nggak, aku semalem sampe nangis dalam sujudku. Aku bilang gini ke Allah,” Ya Allah, aku memang hinaaa…apalah aku ini, siapalah aku ini dibandingkan Aagym yang bersih hati dan sangat dekat denganMu itu. Tapi, kenapa hatiku pedih ya Allah ketika aku seolah merasa bahwa orang yang dekat denganMu itu Kau ‘suruh’ untuk menikah lagi. Kenapa hatiku teriak-teriak ya Allah?” Hiks hiks…

Hmm kacau ya aku, tapi begitulah yang terjadi semalam. Dan hikmah terbesarnya barangkali ini, kata-kata temanku ini sungguh mewakili hikmah yang kudapat itu,”

Tetapi nasi sudah menjadi bubur. Memang kita tidak bisa mengaitkan
nilai-nilai kebenaran (baca: khotbah2 Aa Gym) dengan sesorang tokoh,
apalagi mencoba menjalani hidup dg mengikuti jalan hidup dan jalan
pemikiran sang tokoh. Kita, mau tidak mau, suka tidak suka, harus
mengaitkan nilai-nilai kebenaran tsb dengan Sang Pencipta Kebenaran
itu sendiri. Apabila kebenaran itu ada pada diri seorang tokoh, maka
anggaplah itu sebagai kebetulan, dan tidak menjadikan kita melihat dia
sebagai sosok yang bisa/pantas ditiru dalam segalanya. Wallahu a’lam.

Suka atau tidak suka, hanya kepada Allah lah aku bersandar, bukan kepada sang tokoh!

Oya karena aku ga ngerti soal ayat-ayat Quran, jadi aku ga berani ngomong macem-macem soal dalil.
Tapi kata-kata temenku ini mewakili banget yang ada dalam hatiku sekarang:

“Kecewa berat denger Aa Gym menikah lagi. Bukan karena dia tidak berhak
melakukan itu, atau itu hukumnya haram/halal; melainkan karena yang
dia lakukan itu utk — ukuran tokoh yang mengumandangkan sikap
positif, kehalusan akhlak, kemanusiaan, cinta damai, dan prinsip2
humanisme universal lainnya secara lantang — adalah sangat tidak
patut dan sangat tidak pantas. Ini akan membawa preseden buruk bagi
orang-orang yang mengaguminya spt:

1. Semakin banyak orang yang tidak percaya thd orang yang berbicara
mengenai kebaikan, karena menganggap ‘kebaikan’ yang dikhotbahkan itu
cuma di mulut, cuma utk dibayar sbg ustad, cuma utk populeritas, cuma
utk meningkatkan untung bisnis sampingannya.

2. Semakin banyak laki-laki (terutama yang tidak bertanggung jawab)
yang merasa mendapat justifikasi moral dan justifikasi contoh/teladan;
bahwa poligami adalah jalan atau tuntunan moral untuk menjadi utuh
dunia-akhirat, tanpa berpikir panjang. Ini menjadi pembenaran yang
ujung-ujungnya akan berakhir dg debat kusir antara pasangan
suami-istri, yang memang sang suami sudah tidak lagi punya itikad baik
di dalam pernikahannya.

Trus, kenapa poligami dianggap buruk? Poligami yg dijalani oleh Nabi
adalah utk menolong mereka yang saat itu terlantar krn suami meninggal
dalam peperangan. Terlebih, para sahabat Nabi pun melakukannya karena
istri2 mereka adalah istri2 yang sudah dinikahi jauh2 hari sebelum
mereka memeluk Islam. Kita harus lihat juga, budaya arab (bahkan bukan
hanya arab) masa Nabi dahulu adalah sangat wajar seorang laki2
memiliki istri banyak, bahkan jauh lebih banyak dari sekedar 4 seperti
yang dibolehkan Islam. Kenapa dulu poligami tidak masalah? Karena
struktur masyarakat dan budaya yang ada ketika itu yang mendukung; di
mana saat itu laki-laki benar-benar menjadi tulang punggung keluarga
dan budaya kebebasan berpendapat pada wanita masih sangat minim. Ini
lain sekali dengan masa sekarang; dengan banyaknya wanita sudah
berpendidikan tinggi, peran wanita yang semakin besar – bahkan sudah
umum dijumpai wanita yg memimpin laki-laki. Apa jadinya, kalau mencoba
memaksakan menerapkan budaya zaman dahulu pada kondisi sosial saat
ini? Banyak kejadian, perempuan yang terlantar, teraniaya krn tidak
dipenuhi haknya, dan dijadikan ‘warga kelas dua’, disembunyikan, tdk
bisa bergaul normal dg sekitarnya, hanya karena suaminya berpoligami
atau dia mau menjadi istri muda. Poligami tidak bisa dilihat sebagai
masalah syariat halal-haram per se. Harus dilihat dalam konteks
sosial.

Syariat poligami dlm Islam yang “membolehkan” poligami harus dilihat
dalam pengertian “tidak melarang” atau “membuka jalan dalam keadaan
darurat”; dan sama sekali bukan dalam pengertian anjuran. Coba
jujurkan hati dalam memaknai dalil yang selalu dibawa-bawa penceramah
dalam berbicara poligami:

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS.4:3).

Jelas, di sini tidak ada sama sekali pengertian “anjuran”. Yang ada
adalah “jalan darurat” atau “dibolehkan dengan kondisi tertentu”.

Coba bandingkan dengan dalil menikah yang memang dianjurkan di dalam
Islam:

“Dan nikahilah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan
orang-orang yang layak (menikah) dari hamba sahayamu yang lelaki dan
perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan
kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.
Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian
(diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya…”
(QS.24:32-33).

Cobalah jujur dan obyektif dalam memaknai perbedaan kedua hal
tersebut. Jelas sekali mana yang anjuran, dan mana yang bukan.

Aa Gym menikah memang ada kaitannya dengan ridho/tidaknya sang istri
pertama. Walaupun itu memang betul, tetapi saya rasa, tanggung jawab
moral beliau thd masyarakat, thd nilai2 yang dia khotbahkan selama ini
adalah juga penting (kalau tdk bisa disebut lebih penting). Tdk bisa,
dalam satu saat Aa Gym menggunakan standar sbg tokoh masyarakat,
sedangkan di saat lain menggunakan standar ganda dg melakukan sesuatu
yang kalau kita mau obyektif, lebih sering terjadi efek negatifnya
daripada efek positifnya di masyarakat. Jadi buat Aa Gym, ridho/tdknya
istri pertama (spt tercermin pada jawaban Aa Gym thd penanya di radio)
bukanlah faktor satu2nya penentu dalam mengambil langkah poligami ini.

Tetapi nasi sudah menjadi bubur. Memang kita tidak bisa mengaitkan
nilai-nilai kebenaran (baca: khotbah2 Aa Gym) dengan sesorang tokoh,
apalagi mencoba menjalani hidup dg mengikuti jalan hidup dan jalan
pemikiran sang tokoh. Kita, mau tidak mau, suka tidak suka, harus
mengaitkan nilai-nilai kebenaran tsb dengan Sang Pencipta Kebenaran
itu sendiri. Apabila kebenaran itu ada pada diri seorang tokoh, maka
anggaplah itu sebagai kebetulan, dan tidak menjadikan kita melihat dia
sebagai sosok yang bisa/pantas ditiru dalam segalanya. Wallahu a’lam.”

Untuk Sahabat Lama

“Teruslah menjadi penyentuh bagi kekasih-dan permata-hati kalian. Karena orang-orang yang kalian sentuh tidak akan pernah meninggalkan dan melupakan kalian, sekalipun suatu saat mereka jauh. Seperti aku, yang pernah kalian sentuh, meskipun secara tidak sengaja.”

Membacanya, aku tak berhenti mengusap air mata. Dia, seorang sahabat lama, tiba-tiba hadir dalam inboxku. Tulisannya tentang ‘penyentuh’ membuat ku merasa begitu berarti. Aku yang selama ini masih saja tak banyak bersyukur, kini disentil lagi. Betapa syukurku mestinya tak boleh putus, terus dan terus.

Dulu, Allah hadirkan dia kepadaku, agar padanya aku bisa menimba ilmu. Sejujurnya, surat-suratnya dan pemikiran-pemikirannya telah banyak menginspirasi aku. Dia turut andil membuatku menjadi seorang agnes seperti yang sekarang.

Kukutip kata-katanya disini, sebagai pengingat, bila aku sedang ‘kumat’. Mataku semakin terbuka, betapa keserhanaan dan sesuatu yang tak berarti kadang bisa menjadi inspirasi yang begitu kuat menghunjam bagi seseorang. Itulah buah dari kejujuran barangkali.

Ketika aku sudah menikah dan punya anak, dia tetap tak berhenti menginspirasi aku. Dan tulisan yang dikirimkannya hari ini, malah membuat suamiku semakin sayang padaku. Membacanya lagi…air mataku tak juga berhenti. Syukur…dan hanya bersyukur…Rupanya Allah mengirimkan dia hari ini untuk menyampaikan pesan itu lagi. Terimakasih Allah-ku…karena telah kau hadirkan orang-orang seperti dia dalam hidupku…

Terimakasih sahabatku…

Menjadi Seputih Melati

Ramadhan lagi…
Ramadhan ketiga di negeri ini…
Begitu banyak duri yang Kau beri…
Wahai Ilahi Robbi…
Namun semua tak berarti…
Saat kulihat pesan yang tersembunyi…

Duh Gusti…
Rasanya begitu hina diri ini…
Tapi ternyata janjiMu tak salah lagi…
Kau begitu dekat, sedekat urat nadi
Sungguh nikmat, nikmat sekali
Saat cintaMu mengaliri diri

Jangan…jangan biarkan hanya hari ini…
Sungguh, aku ingin lebih lama lagi…
Meski kulihat gemerlap dunia menghampiri
Bertubi-tubi, bahkan mungkin hingga kumati..
Tapi sungguh Gusti…
KeindahanMu tak tertandingi

Ramadhan lagi
Saatnya aku menempa diri
Entah, aku tak mengerti
Setiap ia datang lagi
Aku seperti berada di puncak gunung tertinggi
Dan ketika ia pergi, aku harus turun dan mendaki lagi

Rhobbi, bantu aku menjadi seputih melati
Agar terang selalu menyinari
Bukan, bukan untuk berbangga hati
Karena kutahu aku hanya melakoni
Sesungguhnya, hidupku tak punya arti
Karena Engkaulah penguasa diri

Seputih melati, itulah cita-citaku tertinggi
Agar ketika kembali
Engkau yang Maha Suci
Menerimaku di tempat tertinggi
Mungkinkah itu terjadi?
Semoga aku tak hanya bermimpi

Awal Ramadhan
23 September 2006
Ketika aku ‘Mabuk’ lagi

Secuil Hati yang Kembali

“Apa sih gunanya belajar bahasa? Buat apa? Toh aku akan pulang. Di Indonesia nanti, apa gunanya bahasa Belanda, mendingan juga memperdalam bahasa Inggris, pasti kepakenya. Hmm…bingung. Ikut ujian apa jangan ya…? Rajin belajar apa jangan ya…? Tapi sayang juga kalau kesempatan dibuang. Tapi lagiii, waktuku untuk menulis dan bermesraan dengan kompi jadi jauuh berkurang. Padahal banyaak banget yang ingin aku tulis. Huaah..pusing!”

Belakangan ini aku memang pusing sama urusan les bahasa ini. Melihat latar belakangku, dosenku sangat menganjurkan aku untuk ikut staad examen II. Padahal, waduuh bicaraku masih belepotan. Tapi kenapa aku bersemangat? Aku juga heran, kenapa aku semangat ya? padahal kadang-kadang pikiran yang mengatakan belajar bahasa Belanda ini tak berguna sering sekali muncul.

So why? Alasan utama adalah karena tiba-tiba saja aku begitu diberi kemudahan untuk melanjutkan les bahasa Belanda ini. Aku seharusnya masih berada di level 2, tapi kalau aku di level 2, pemerintah Belanda tidak akan memberi subsidi, jadi aku dinaikkan di level 3. Subsidi tidak diberikan untuk level 1 dan 2. Itulah sebabnya aku dinaikkan ke level 3 dengan catatan,”Kamu harus belajar ekstra keras ya,” pesan pengujiku dulu.

Berapakah biaya yang harus aku keluarkan? Bayangkan, 15 euro saja saudara-saudara! Lima belas Euro (sekira 150 ribu perak) selama 6 bulan, tiap hari pula. Sedangkan les di tempat lain, tiga bulan bisa menghabiskan biaya hingga 300 atau 400 euro. Ya memang bagi orang yang menikah dengan warga Belanda sih bisa gratis. Tapi aku kan bukan termasuk di dalamnya. Jadii, aku berusaha membaca pesan ini dengan baik. Mungkin, Allah memang punya rencana lain sehingga aku harus belajar bahasa Belanda. Siapa tahu aku jadi bisa kerja di bidang kesehatan. Karena bila aku bisa menggondol sertifikat staad examen II, peluang ini terbuka. Siapa tahu aku bisa dapat uang tambahan, tabungan buat sekolah.

Dan, belajarlah aku disana dengan penuh semangat. Tapii…semalam air mataku mengucur deras lagi. Mataku bengkak lagi. Tiba-tiba saja secuil hatiku seolah terbang pergi. Hampa. Kosong. Rindu lagi. Semakin merasa jauh dengan ‘cinta’ ku. Semakin merasa tak berarti. Ah, apa sih yang terjadi, sehingga begitu besar dampaknya?

Aku menemukan website tentang peluang kerja di sektor kesehatan bagi pendatang di negeri ini ( http://www.ribiz.nl/en/diplomaandwork/Aforeigndiploma/assessment/assessmentvoorartsen.aspx). Ternyata, peraturannya njelimeet banget! Imposible deh aku bisa kerja di sektor kesehatan, jangankan dokter, fisioterapis, bidan dan bidang-bidang yang teknis saja sulit banget. Padahal aku tidak ingin muluk-muluk kerja jadi dokter di Belanda koq, yang ringan dan yang lucu aja, tapi masih berhubungan sama kesehatan gitu.

Tapi sejak semalam…hopeless…Terkuburlah sudah impianku untuk bekerja di bidang kesehatan. Lalu buat apa aku meneruskan les bahasa yang sudah separo jalan ini? “Kalau mau jadi tukang bersih-bersih mah, sekedar bisa cuap-cuap seadanya juga cukup,”keluhku pada suamiku. “Buat apa? Buat apa? Gara-gara les bahasa Belanda, aku semakin jarang baca-baca tentang ilmu kesehatan. Gara-gara les bahasa Belanda, aku semakin jarang menulis. Dan ternyata bahasa yang aku pelajari ini nantinya tidak akan bisa membuatku bertemu lagi dengan ia yang kurindu.” Hiks…pilu.

“Kita kan tak mengerti tentang masa depan Sayang. Allah bisa berkehendak apapun. Nanti akan tiba saatnya Mama bisa sekolah lagi, bisa bertemu lagi dengan si ‘cinta’.” Suamiku menghibur.”Ya, dan aku sudah terlanjur tua, tak bisa diterima. Lagipula uang darimana? Biaya sekolah begitu menggila,” sungutku kesal.

Aaah…! Kenapa rasa ini kerap mendatangiku lagi. Begitu besarkah cintaku pada si ‘cinta’? Hei! Ini bukan dirimu. Kau bukan orang yang selalu berpikir negatif itu kan. Ayo, bangunlah! Berserah diri! Berserah diri! Berserah diri! Bersyukur! Bersyukur dan bersyukur! Lihat sekelilingmu! Lihat apa yang sudah kau peroleh disini! Kau hanya menyaksi! Kau hanya mengabdi! Lihaat! Buka mata, buka telinga dan buka hati, kau bukan siapa-siapa, kau bukan apa-apa, hanya manusia! Hanya sesosok tubuh mungil berjiwa yang mengaku mencinta Tuhannya. Apa artinya? Tak akan berarti apa-apa selama kau tidak Berserah diri!

Hiks…rentetan-rentetan teguran itu mengalir perlahan dalam kalbuku. Ya Allah…sesungguhnya aku hanya bisa mengabdi, menyaksi dan berserah diri. Tak pantas aku protes Tuhan, tak pantas. Betapa aku tak tahu diri dengan segala yang telah Kau beri. Hiks… Berserah diri, berserah diri, berserah diri. Lahaula wala quwata illah bilah…Akhirnya hanya ituuu saja yang mampu aku ucapkan dalam sujudku, hingga akhirnya batinku diliputi kesejukan. Secuil hati yang pergi itu perlahan kembali.

Sesungguhnya ia tak pernah pergi. Ia ada, tak kemana-mana hanya bersembunyi sebentar saja. Ia akan muncul lagi asalkan aku ingat lagi, bahwa aku hanya mampu berserah diri.

My life is just now. I have to do my best whatever comes in my eyes…Hopes You always give me the way…

“Your daily life is your temple and your religion. When you enter into it take with you your all.” (Kahlil Gibran)