Ketika Tirai Menjelma Lentera

Ketika hati bertanya
Dimana, dimana aku
Aku, aku adalah sebuah lentera
Sinarnya menerangi jagat jiwa

Ketika hati bertanya
Dimana, dimana tempat kembalimu
Engkau, aku kamu siapapun itu tak akan pernah tahu
Hingga tabir itu terkuak, terbuka menganga

Aku adalah sebuah pencarian panjang
Hingga maut memisahkan
Aku bukanlah sesuatu yang mudah kau pandang
Ia seperti mutiara di dalam sekam
Ia tak mampu kau buka tanpa kau tertunduk, menggosoknya
Menggalinya, menguak tabir tabirnya satu per-satu

Hingga tabir itu memancarkan lentera
temaram hangat membuai jiwa
Tidak! Tak! Ia tak akan pudar
Ia selalu dan selalu menyala
Memesona mengguncang dunia

Kau tahu betapa semua itu hanya akan membuatmu bisu
Tak mampu berkata-kata
Tak mampu bicara
diam seribu bahasa
Kau, sungguh! Kau tak akan mampu bilang apa-apa
Bibirmu kelu wajahmu pias membiru
Bila kau tahu bagaimana rasanya

Rasa apa?
Rasa ketika tirai menjelma lentera
Kau terpaku, menganga tak percaya
Bahagia itu tak bernama
Bahagia itu nikmatnya tak bisa kau raba

Bila suatu ketika tabir menjelma lentera
Seperti malam mengurai fajar.
Bila masa itu tiba terbuka menganga
seperti cahaya menembus jagat raya
Saat-saat itu akan berbuah juga

Ketika kau berjuang menguaknya
Satu demi satu, berlari berjalan merangkak
Satu demi satu, berpeluh melepuh rapuh
Hingga kerak-kerak itu legamnya tak lagi kelam
Perlahan, seperti angin bertiup tak kencang
Sinarnya merona kemilau menyala
Menghidupkan lentera!
Oh sungguh! tiada asa seindah asa kepada lentera
Oh sungguh! indah itu tak berupa saking luar biasa
Subhanallah! Maha suci Engkau wahai pemilik semesta!

Ingatlah ketika engkau bertanya siapa Tuhanmu
dan kau menjawab,” Tuhanku adalah Allah!”
Siapakah dia yang menjawab itu
Aku, ya ,aku sang lentera
Yang dulu menyala dan kini pudar kelam padam

Oh sungguh!..sungguh merugi dia!
Dia siapa? Dia! ya dia!
Dia yang enggan merunduk membuka tabir lama
Tabir itu, kau tahu tabir itu?
Itulah ia yang mengantarkan manusia ke jalan samudra
Jalan-jalan orang yang dimuliakan, disucikan, disempurnakan!
Wahai manusia sungguh tak Kuciptakan bumi dan segala isinya
kecuali hanya dan hanya sebagai bukti perumpaan jagat jiwa.

Manusia oooh manusia, mengapa tak kau buka tabir itu
Sungguh sungguh sungguh! Itu lah jalannya!
Jalan menuju cinta, jalan menuju samudra tak bertepi
Jalan menuju Sang Maha, penguasa jagat jiwa dan semesta

Sungguh bukalah ia wahai jiwa-jiwa!
Sungguh tak ada tempat terindah selain mutiara itu
Mutiara jagat jiwa ketika bersamanya lentera menyala
Hilang hilang sebuah peradaban
Kau tahu mengapa?
Karena tak ada, tak ada! Satu pun tak ada
Satu jiwa yang mau berupaya
Membuka lapisan kerak-keraknya
Hingga kelam menyelimuti jagat jiwa

Oooh tidak! Jangan! Jangan lakukan itu lagi
Cukup. Cukup sudah satu peradaban musnah.
Jangan! Jangan ulangi ia. jangan contoh ia.
Karena sesungguhnya bumi dan semesta bertasbih
Menunggu sebuah peradaban mulia.
Dimana didalamnya lentera-lentera itu menyala
Bagaikan api menembus kelamnya jutaan malam
Sungguh! Pesonanya tiada dua!

Salamun Qoulammirrobbirrhohim
Allahuma sholliala sayyidina Muhammad

Ketika kabut bersahaja

Groningen, 22 Desember 2006

Ketika Aku Terhina

Aku hanyalah setitik air diantara luasnya samudra.
Aku, siapa aku ini, manusia yang entah telah berapa lama mendua
Menduakan cintaku padaNya
Hanya karena meminta puji, pujinya manusia.

Aku siapakah aku ini
Mengapa aku resah gelisah
Ketika dunia berkata
Hai kamu gila
Kenapa harus resah dan gundah
Bukahkah puji hanya milik Allah semata?
Continue reading “Ketika Aku Terhina”

Ketika AkuTerhina

Aku hanyalah setitik air diantara luasnya samudra.
Aku, siapa aku ini, manusia yang entah telah berapa lama mendua
Menduakan cintaku padaNya
Hanya karena meminta puji, pujinya manusia.

Aku siapakah aku ini
Mengapa aku resah gelisah
Ketika dunia berkata
Hai kamu gila
Kenapa harus resah dan gundah
Bukahkah puji hanya milik Allah semata?

Aku tak ingin lari dari semuanya
Aku ingin menikmati saja
Hari-hari tanpa puji
Hari-hari penuh caci
Karena semua membuatku tahu diri
Mengerti bahwa aku tak punya diri

Aku bukan siapa-siapa
Aku hanyalah sebuah titik diantara luasnya samudra
Akankah mengalahkan samudra
Oh tidak, jangan jangan lakukan semua
Sesungguhnya samudra itu hanyalah ingiin menampung
Semua kesahmu semua nodamu
Sesungguhnya ia hanyalah ingin menyucikan jiwa-jiwa

Jiwa-jiwa yang ingin mendekat kepadaNya
Kepada sang pemilik Cinta
Sungguh nikmatnya tiada dua
Bila aku bisa menerima semuanya
Hina caci maki itu biasa
Karena segala puji hanya milik Dia

Dia sang penguasa samudra
Dia sang pemilik langit dan jagatraya
Dia yang menuntunku kejalan samudra
Dia yang membuatku merana untuk sebuah jalan cinta
Oh sungguh indahnya tiada tara.

Sungguh sungguh sungguh tiada mutiara seindah dalam samudra
Sungguh sungguh sungguh tiada rela Ia dibagi dua
CInta ya cinta itu hanya untukNya
Jangan jangan kau bagi ia dengan sebuah nista
Nista namanya kalau kau masih saja resah gelisah gundah
Ketika kau dihina

Sudah biarlah
Biarlah mereka berkata apa
Karena sesungguhnya engkau memang layak terhina
Engkau sungguh sungguh layak terhina
Kau tau mengapa
Karena engkau bukan siapa-siapa

Engkau hanyalah setitik noda diantara samudra
Engkau hanyalah sebuah keniscayaan diantara semua
Hanya dan hanya Dia sesungguhnya yang Maha sempurna
Jangan jangan kau duakan cintaNya
Biar biarkan mereka berkata apa
Karena dikala kau memendam rasa
Sesunggguhnya cinta itu memburai menaungi seluruh jiwa

Allahuma sholli Ala syayidina Muhammad…
Sungguh tak Aku ciptakan Muhammad kecuali agar engkau meneladaninya
Sungguh tak mungkin Aku membuatmu menderita
tanpa Aku membuatmu sempurna jiwa dan raga
Tunggu hingga tiba saatnya
Jika kau rela selalu menyucikan jiwa

Maha suci Engkau ya Allah dengan segala rasa cinta
Sungguh aku tak ingin mendua
Sungguh aku tak akan mendua
Karena dibalik raga ini Engkaulah didalamnya
Engkaulah pengatur jagat jiwa
Sungguh aku hanya bisa menjadi mata-mata

Tiada Tuhan selain Engkau ya Allah

Sallamunqoulamirrobirrahim..

Groningen, 8 Desember 2006
Ketika mendung bercahaya

‘Kacamataku’ (Summary Air Mata untuk Sang Dai)

Aku merasa perlu untuk mengikat proses belajarku dalam kejadian poligaminya Aagym yang kemaren bikin aku kecewa. Ternyata betul, pasti ada pesan Allah dari kejadian ini buatku. Aku menangis, aku tertawa, aku kecewa, aku bahagia semua dari Allah. Ternyata betul, tidak sia-sia air mata yang kukeluarkan, aku dapat banyak sekali pelajaran. Karena itu lah aku ingin mencatatnya.

Pertama, tentang kacamata, (thanks to mbak eva yang sudah dengan tepat menggambarkan apa penyebab kekecewaanku :-)), ya rupanya si kacamata ini penyebabnya. Tanpa sadar aku sudah memaksakan kacamataku untuk dipakai orang lain, (dalam hal ini Aa Gym sebagai tokoh yang kukagumi). Dan akibat dari pemaksaan kacamata ini, aku jadi terlibat secara emosional. Pelajarannya, aku jadi ingin lebih menyelam ke dalam diri. Ternyata, apapun itu, lebih baik aku menjadi penonton saja untuk kejadian-kejadian manusia di luar diriku.

Terbukti, kalau aku masih saja memaksakan kacamataku untuk dipakai orang lain, saat baca-baca berita seputar beliau, masih ada saja komentar-komentar jail yang keluar dari mulutku.Padahal sang dai sudah kasih klarifikasi ya, dan sudah menjelaskan duduk perkaranya( walaupun masih diplomatis). Mbok yao mulutku ini diem aja, memaklumi pilihan belio saja, wong belio ya nggak melakukan dosa koq, wong memang nggak dilarang agama koq. Tapi ya begitu lah, teuteup ini mulut ga bisa dikunci hehe. Contohnya dan yang paling hobi kusebut-sebut hehe,”Kalau gitu, kenapa harus sama mantan model cantik dan lebih muda? Kenapa harus poligami yang jadi solusi untuk kehancuran moral? Apa nggak ada cara lain? Emergensi exit itu kan bisa diada-adain, siapa yang bisa mengukur emergensi ato bukan? Walaupun istrinya ikhlas dan anak-anaknya ikhlas, tapi kan teteup mereka harus melewati proses sakit, padahal menyakiti hati itu kan ga boleh,”…dst..dst… Kesian deh suamiku musti jadi keranjang sampah menampung jailnya mulutku hehe.

Tapi untungnya, suamiku selalu mengingatkan untuk cukup menonton saja kejadian di luar sana.Pelajaran yang lebih pentingnya adalah soal menyelam ke dalam diri. Aku dan suamiku jadi mengevaluasi lagi, apa sih sebetulnya kacamata kami dalam soal poligami dan keluarga? Aku lagi-lagi diskusi sama suamiku, dan minta masukan juga dari seorang sahabat. ‘Kacamata’ kami akhirnya berbicara begini:

– Meskipun tidak dilarang, dan bukan anjuran, poligami bagi kami adalah sesuatu yang tidak mungkin dilakukan oleh manusia biasa. Rosulullah adalah manusia yang luar biasa. Beliau adalah manusia yang sudah dimaksum, segala ucap, langkah dan laku beliau semua sudah disetir oleh Allah. Soal keadilan, tentu saja Rosulullah sangat bisa berlaku adil baik fisik dan jiwa, karena Allah sudah memberikan banyak kelebihan pada beliau. Dan istri-istri beliau pun diberi kemampuan lebih, bukan sembarang manusia pula.Tapi manusia biasa? Hmm… wallahualam. Jadi, poligami bukan pilihan kami.

-Agama diciptakan justru untuk mengekang hawa nafsu. Jadi bagi kami poligami tidak bisa dijadikan solusi untuk mengekang hawa nafsu. Mestinya agama lah yang bisa mengekang hawa nafsu itu. Sehingga keinginan untuk punya TTM atau keinginan untuk melakukan hal-hal yang berhubungan dengan libido mestinya tidak diikuti, karena sudah berusaha baik-baik mengikuti jalan agama (seperti sholat, puasa, zikir, shodaqoh, zakat, dll).

-Keluarga adalah inti dari masyarakat. Keluarga yang baik akan melahirkan masyarakat yang baik pula. Dari sini lah kerusakan moral bisa dicegah. Dan dalam keluarga, cinta adalah intinya, cinta dari Allah yang telah dianugrahkan kepada hati-hati kami. Bila kami membersihkan hati-hati kami, maka cinta Allah itu akan semakin memancar kepada kami. Karena itu kami ingin memelihara cinta itu sebaik-baiknya, menggalinya lagi dan lagi. Menggosok kerak-kerak dalam hati kami lagi dan lagi. Kami ingin membangun cinta, cinta dan cinta itu dalam keluarga. Karena kami yakin dari sanalah cinta itu akan menyebar ke sekitar dan alam semesta.

-Kami merasa, dengan poligami, cinta yang telah dititipkan kepada kami itu tak akan lagi bisa kami jaga baik-baik. Contohnya, semalam aku menatap anak-anakku yang tertawa dengan riangnya karena digelitiki suamiku. Ah sungguh betapa bahagianya aku melihatnya. Dan aku membayangkan seandainya saat itu ada istri lain dan anak-anak lain dalam rumah itu, akankah aku sebahagia itu? Duh membayangkannya saja sudah ngilu. Bisakah aku menjaga cinta dengan hati yang ngilu? Sungguh, aku tak mampu!

-Bagi kami cara termudah untuk membersihkan hati adalah dengan bersyukur dan bersyukur. Karena hanya dengan selalu bersyukur, jalan menuju keikhlasan itu terbuka lebar. Cara lainnya tentu dengan ibadah-ibadah yang sudah dianjurkan oleh agama. Tapi yang sangat membantu rasanya dengan banyak-banyak berpuasa, karena puasa bisa membersihkan hati dan mengendalikan diri. (Semoga kami dijauhkan dari rasa malas untuk melakukannya).
Insya Allah kami yakin, asalkan kami selalu meluruskan niat untuk selalu membersihkan hati seperti ini, Allah akan memudahkan.

-Nafsu dan cinta bedanya tipiiiis sekali. Karena itu membersihkan hati sebersih-bersihnya ini menjadi tugas yang teramat penting. Disanalah ‘rumah’ Allah bersemayam. Badan ini hanya wadah. Ketika wadah dan hati sudah bersih, Sang Empunya wadah lah yang akan bekerja.

-Kami hanya ingin menyaksikan saja episode-episode manusia di luar diri kami sebagai jalan munculnya pesan dan petunjuk bagi perjalanan diri kami. Biarlah orang lain yang melakukan poligami itu menjadi urusan Allah. Di dalam Allah, diluar pun Allah, dimana-mana Allah. Allah sudah atur semua, tugas kami hanya bersih-bersih.

Kira-kira begitu kesimpulan kami. Kalau dari suamiku, bahasanya begini:

Keluarga itu seperti masyarakat kecil.
Kebahagiaan dalam penerbangannya,
hanya akan terasa jika Allah memberikan anugerah
berupa rasa cinta di dalamnya.

Rasa cinta yang dari Allah ini bersemayam di dalam hati
seperti mutiara yang tersembunyi dalam kerang.
Rasa cinta itu bersinar ke luar, ke sekitar,
seperti cahaya lampu
yang menerobos bola kaca yang jernih.

Tugas kita hanyalah membersihkan hati,
sebersih-bersihnya,
agar mutiara itu nampak,
agar cahaya itu menyemburat ke luar.

Dan untuk membersihkan hati,
tugas kita hanyalah BERSYUKUR.
Mensyukuri segala yang ada,
karena itulah pemberian dari Allah.
Dia Yang Maha Tahu kebutuhan kita,
dan jangan sekali-kali kita jahil
dalam memanipulasi keadaan keluarga dan diri kita.

Hanya dalam hati yang bersih saja,
cinta suci dari Allah akan keluar membuat bahagia keluarga.

Dan pada gilirannya,
sebuah keluarga yang penuh cinta dari Allah,
akan dipersembahkan olehNya
kepada masyarakat, bangsa, dunia, dan alam semesta
sebagai rahmat.

Namun, cinta dan nafsu itu tipis sekali batasnya.
Cukuplah kita berusaha membersihkan hati, sebersih-bersihnya.
Dan Allahlah yang akan membimbing
perjalanan orang-orang yang ingin membersihkan hatinya.

Biarlah orang-orang yagn melakukan poligami
itu menjadi urusan Allah.
Itu juga dari Allah, karena Dia punya maksud tertentu,
untuk memperlihatkan kepada kita hikmah.

Dan cukuplah buat kami,
melihat ke dalam diri dan membersihkannya.
Semoga cinta dari Allah semakin bersemi.

Amin…amin ya Robal alamin….Ya Allah mampukan kami….semoga ini bukan hanya menjadi sekedar ucapan dan tulisan belaka…