Badai, Betulkah Kau Hadiah dari Tuhan?

Entah, berapa banyak sudah air mata yang tumpah akibat badai. Tak tahu, nyeri seperti apa yang pernah berkunjung, menggunung, menyayat relung dada ini. Enggan ku menghitung telah berapa malam istanaku porak poranda lantaran badai. Sungguh, tak mau rasanya dia mendatangiku lagi. Sakit Tuhan, pedih,ngilu… hancur, remuk dan entah apalagi kata-kata yang pantas untuk mengungkapkan semua itu. Saking tak enaknya. Saking aku tak berdaya.

Mengapa harus kualami semua ini Tuhan? Kenapa? Berlumuran dosakah aku? Tak pantaskah aku hidup dalam ketenangan yang abadi, tanpa gelombang , tiada pasang. Tidak layakkah aku mendapatkannya Tuhan? Ataukah ini yang namanya ujian? Beragam pertanyaan seperti ini kerap berkeliaran dalam benakku. Namun aku ingat betul petuah dari pak Kyai Simin “wis…wis..jangan pernah pertanyakan masalah itu nduk. Terima saja, ikhlaskan saja apa kehendak Allah buat diri kita, hati-hati, pertanyaan-pertanyaan semacam itu malah bisa membuat musyrik kalau diikuti.”

Hmm… barangkali memang pak Kyai betul. Tapi betapa banyak manusia yang hidupnya berlenggang kangkung, aman-nyaman sejahtera tanpa riak-riak besar. Hanya suka yang menyapa, hanya tawa yang menemani hari-harinya. Kalaupun luka datang menghampiri mereka, cuma secuil saja. Tak pernah menggores, tidak pernah menganga, tak juga pilu terasa menusuk hatinya. Lantas, mengapa tak Kau buat aku seperti mereka? Kenapa Tuhan? Mengapa? Atau apakah aku telah salah bertanya? Ya, mungkin memang aku yang telah salah menduga. Betulkah aku hanya berburuk sangka?

Hatiku dilliputi bimbang. Jangan-jangan… Tuhan menciptakan manusia seperti mereka, karena ingin memberikan pelajaran bagi manusia lainnya. Jangan-jangan suka dan duka memang sudah sepantasnya mewarnai kehidupan manusia. Jangan-jangan… Tuhan sebetulnya sedang memberiku anugrah. Jangan-jangan… Allah hanya sedang berkata “Aku sedang memberimu hadiah sayang, enjoy it…syukuri, ikhlaskan semua badai!. Kau telah kupilih, Kau lah yang ingin kuberi kehormatan! Jika kau bisa melewatinya dan mengambil ribuan makna darinya, Jiwamu akan melompat tinggi. Tinggi sekali. Dia akan membuatmu menjadi orang yang kuat. Dia akan memberimu kearifan, kedamaian, serta cinta yang lebih dan lebiih… banyak lagi. Hadiah yang tak pernah dirasakan oleh manusia yang tak pernah mengalaminya. Pelajaran berharga yang tak kan pernah kau dapatkan dari sekolah ternama manapun di bumi ini. Kado terindah untuk mengarungi bahtera kehidupan.”

Aku hanya termangu, tak percaya mendengarnya. Betulkah begitu? Namun Dia seperti berkata lagi ” Bukankah itu sebuah kehormatan, sayang? Apa namanya kalau bukan permata? Dan kau tahu? kau telah Kupilih. Percayalah, badai adalah anugrah yang luar biasa, bersyukurlah. Karena sesungguhnya, Aku hanya akan memberikannya kepada manusia-manusia pilihan. Manusia pilihan yang sanggup melewati badai. Manusia yang bisa menikmatinya, mensyukurinya, mengikhlaskannya, dan berjuang sekuat tenaga untuk keluar dari semua badai. Manusia semacam itu tak banyak jumlahnya. Tapi mereka percaya, dan tahu sekali, bahwa badai adalah serangkaian kehormatan. Setelah badai datang berkunjung, hadiah besar telah menanti dihadapannya, kenikmatan menunggu di pelupuk matanya. Aku tahu, kamu termasuk didalamnya. Bangunlah! Bangkitlah! Hadiah itu telah menanti di ujung sana. ”

Aku terkesiap. Betulkah Tuhan? Mengapa begitu sulit? Kenapa harus jatuh bangun, terseok-seok dan tertatih-tatih?. Gelombang itu kadang tak bosan menghampiriku lagi, menghempas… terus dan terus. Aku semakin tak berdaya. Aku menjadi lebur, kosong, dan hampir tiada. Hanya sebuah doa yang sanggup keluar, entah darimana “Lahaula walaquwata Illabillah…” Lagi…dan lagi… cuma itu yang mampu terucap Tuhan. Aku percaya… hadiah itu memang ada. Sedikit demi sedikit aku mulai merasakannya. Perlahan-lahan nikmat itu mulai ada. Aku mensyukuri semuanya. Segala puji hanya untukMu karena, telah Kau berikan padaku kehormatan ini. Hanya satu yang kupinta, selalu dan selalu, beri aku kekuatan…kekuatan dan kekuatan…Karena kini aku semakin tersadar… aku bukan siapa-siapa dan tak bisa apa-apa… Hanya Engkaulah yang Maha Besar, Hanya Engkaulah pemilik segala rasa, jiwa, benak, raga dan semuanya… Aku tak mampu, tiada tenaga, daya, dan tak mungkin bisa, jika Kau tak memberikannya…

Aku dan Kenangan Pekerjaanku

KETIKA AKU HARUS MEMILIH, MENGKHITAN PERTAMA KALI
(Diterbitkan dalam buku nya MCM)

Kala itu, aku sedang termangu, menatap dinding-dinding putih yang bisu. Buku yang sejak lama kubaca, tak satu pun mau menempel di kepalaku. Pasien sedang sepi. Tanggal tua barangkali. Hmm… beginilah nasib dokter baru, yang bekerja di klinik tak menentu. Kadang duduk berjam-jam hanya ditemani lalat. Tak jarang pula peluh membanjir saking ramainya kunjungan pasien. Mendadak, kesunyian itu lenyap. Serombongan keluarga tergopoh-gopoh menghampiri ruangan berdinding putih itu, ruang praktek kerjaku.

“Dok, tolong dok, ini anak nangis terus dari tadi. Sakit dok, tolong… kasihan anak ini dok…” ujar perempuan muda didepanku. Matanya menatap pilu bocah yang digendong oleh lelaki disebelahnya. Logat Jawanya begitu kental, pendatang tampaknya. Air mata mengambang di pelupuk mata perempuan itu. Seperti menahan sakit, yang menjalar juga ke relung dadanya. Pasti ibunya, pikirku. “Iya dok, itu kasihan tuh anaknya dok…” ujar salah seorang keluarga pengantar.

“Anaknya kenapa bu, sini-sini tidurin disini bu?” sahutku tenang, sambil meminta perempuan itu membawa anaknya ke ranjang pemeriksaan. Satu tahun bekerja di klinik setiap pagi dan sore cukup membuatku mampu menghadapi situasi semacam ini.

“Ealah dok..dok… yang namanya lagi sial ya begini ini dok. Tadi itu habis pipis sendiri, lagi pake celana, koq tititnya malah kejepit resleting dok… gimana ini dok… Mbok ya tolong dilepas dok, kasian nangis terus kayak gini ini dok…”

“Wah iya pasti khawatir ya bu kalau anaknya nangis terus kayak gini. Coba…sini…sini… dilihat dulu sayang yuk…” Aku menghampiri bocah lelaki itu. Tangisnya semakin keras. Tangis karena takut dan nyeri.

“Takut ya sayang ya, sakit juga ya… dilihat sebentar tititnya ya, nggak diapa-apain koq cuma dilihat…” aku tersenyum sambil berusaha menatap mata bening bocah berusia 5 tahun itu.

Airmatanya tak juga berhenti menetes, namun tidak sederas sebelumnya. Aku melihat keadaan penis anak itu, belum disunat rupanya. Potongan resleting celana tampak menjepit bagian ujung penisnya. Jepitannya begitu kuat. Tak bisa tidak, sebagian kulit penisnya harus digunting untuk melepaskannya. Menggunting kulit berarti harus melakukan anastesi. Kenapa tak disunat saja sekalian. Toh tindakan dan resikonya sama saja dengan disunat. Kesimpulan itulah yang akhirnya muncul di kepalaku.

Deg. Jantungku mulai berdegup lebih kencang. Sunat? Sanggupkah aku melakukannya seorang diri ? Atau haruskah aku merujuknya? Aku memang sudah beberapa kali mengkhitan anak-anak. Tapi aku selalu dibantu oleh dokter seniorku. Aku belum pernah melakukannya seorang diri, tanpa asisten pula. Di klinik ini hanya ada Yono, yang membantu bagian pendaftaran dan masalah obat-obatan. Hmm, kebimbangan menyergapku.

Kalau aku gagal bagaimana? Apa kata dunia? Jangan-jangan malah dituntut. Sekarang kan sedang jaman tuntut-menuntut. Belum lagi ingatan tentang kisah-kisah seniorku yang bernasib sial. Kisah senior yang diburu keluarga pasien lantaran pasiennya meninggal tak lama setelah disuntik. Cerita tentang kakak kelasku yang pasiennya mendadak tak sadar sehabis disuntik. Beragam kisah-kisah sial lainnya mendadak bermunculan di benakku. Dadaku menjadi sesak rasanya. Ah, tapi mereka kan hanya sedang sial. Kalau semua sesuai prosedur, apa yang mau dituntut? . Toh, aku sudah pernah melakukannya. Ya, tapi masalahnya, dulu selalu ada dokter senior yang membantuku dan sekaligus bertanggungjawab bila terjadi sesuatu. Sekarang, aku harus bertindak sendiri, aku pula yang harus menanggung resiko kalau terjadi apa-apa. Wuaduh…bingung…bingung… bagaimana ya?

Tapi, bukankah aku harus segera mengambil keputusan?. Oke… aku harus mempertimbangkannya masak-masak dalam hitungan detik. Kalau aku merujuk bocah ini ketempat lain, aku membuang kesempatan berharga untuk belajar mandiri. Belum tentu aku mendapatkan peluang seperti ini dilain waktu. Apakah aku hendak selalu bergantung pada dokter lain? Alasan selanjutnya, kasihan keluarga ini kalau pulang dengan tangan hampa. Malah mereka harus repot membayar uang konsultasi di tempatku dan membayar lagi di tempat rujukan nanti. Belum lagi masalah waktu, bocah itu sudah menangis sedari tadi. Ah, sebetulnya masalahnya kan cuma satu, aku belum percaya diri untuk melakukannya seorang diri, itu saja. Mmm… bagaimana ya? “Ayo Nes… kamu pasti bisa…there is always the first time Nes…Bismillah aja deh” hatiku berbisik untuk meyakinkan diriku sendiri.

“Ibu, jepiitan resletingnya kuat sekali bu, jadi tititnya harus digunting. Harus dibius dulu daerah sekitar tititnya sebelum digunting. Ibu muslim kan?” Kata-kata itulah yang akhirnya terucap dari mulutku.

“Iya dok, muslim”

“Menurut saya, karena tindakan dan resikonya sama aja dengan disunat, lebih baik sekalian disunat saja bu anaknya. Sekalian sakit bu, daripada nanti anaknya harus ngalami kayak gini lagi. Gimana menurut ibu?”

“Hah disunat dok? Lho, dokter perempuan memangnya bisa nyunat? Lagipula saya belum ada persiapan dok kalau disunat. Orang Jawa kalau sunat kan harus pake acara rame-rame dok.”

“He he, perempuan atau laki-laki kan sama-sama belajarnya waktu kuliah dulu bu” aku geli melihat si ibu yang keheranan dan menjadi sedikit ragu.

“Tapi keputusan tetap ibu yang ambil ya bu, saya kan hanya memberi saran”

“Kalau gitu saya telpon suami saya dulu ya bu dokter”

“Lho itu tadi bukan suaminya ya?”

“Bukan bu dokter, itu adek saya. Suami saya lagi kerja.”

Aku menunggu perempuan itu mengambil keputusan. Hatiku tetap dag dig dug, masih ragu dengan pilihan yang kuambil. “Ya Allah, ini bukan kondisi darurat, anak itu pun baik-baik saja. Aku hanya harus mengkhitan seorang diri pertama kali. Kenapa aku deg-deg an ya Allah. Aku tak tahu, kenapa Kau hadirkan bocah ini kehadapanku. Kalau ini memang jalan dariMu agar aku belajar, mudahkanlah semuanya ya Allah, berilah aku ketenangan.” doa itulah yang akhirnya menenangkan gelisahku.

“Bu dokter, sunat aja deh bu. Kata suami saya acara rame-rame ya dibuat aja besok-besok, kasian anaknya bu. Tapi anak saya nggak apa-apa kan bu kalau disunat?”

“Iya bu, Insya Allah nggak apa-apa. Sunat itu cuma tindakan kecil koq bu, setengah jam juga beres. Tolong aja anaknya dipegang sama om nya nanti ya bu.”

Dengan tak henti-hentinya berdoa memohon ketenangan dan kelancaran, aku memulai proses mengkhitan pertama kali ini. Tanpa ada asisten ataupun penanggung jawab bila terjadi sesuatu.

Tanganku sedikit gemetar ketika jarum suntik berisi Lidocain menembus kulit diatas tulang kemaluan anak itu. Tentu saja dia menangis keras ketika jarum suntik menembus kulitnya. Untung lah anak itu termasuk ‘anak mudah’ tidak mengamuk dan menendang-nendangkan kakinya. Semua itu betul-betul memudahkanku. Lantas, aku melanjutkan proses anastesi di sekitar penisnya. Ah, berhasil juga rupanya. Tak berapa lama, tangisan anak itu berubah, bukan lagi tangis kesakitan. Hanya rengekan kelelahan dan takut.

Perlahan tapi pasti, ketenangan mulai merasuki jiwaku. Pelan-pelan kubersihkan smegma (sekret dari kelenjar sebasea, berwarna putih seperti keju) yang menempel di sekeliling pangkal penis. Dua buah klem aku jepitkan di ujung kemaluan anak lelaki itu. Akhirnya, Bismillah… aku memotong ujung kulit penis anak itu. Aku semakin merasa ringan. Pekerjaanku hampir usai, tinggal mengatasi perdarahan dan menjahit kulit saja.

“Alhamdulillah… sudah selesai. Tiga hari lagi kontrol ya bu…” Hmh… terucap juga kalimat itu akhirnya dari bibirku. Puas rasanya, lega, dan bersyukur tentu saja. Semua berjalan lancar. Dan yang teramat penting bagiku, aku telah memilih, aku juga telah berhasil mengalahkan segala rasa khawatir yang berkeliaran dalam hatiku. Hidup memang terdiri dari serangkaian pilihan. Kemampuan untuk memilih secara sadar dan bertanggungjawab adalah sebuah keahlian yang harus dimiliki oleh setiap manusia. Andai saja aku memilih cara termudah- merujuk anak ini tadi, tentu aku akan kehilangan pengalaman berharga yang telah dihadirkan Allah kepadaku. Sejak saat ini, aku semakin percaya diri untuk mengkhitan. Dan tentu saja, kesadaran itu semakin merasuki relung jiwaku, kesadaran bahwa, hidup adalah sebuah pilihan!

Luka Membawa Permata

“Setangguh apapun seseorang membentengi dirinya dengan waspada dan kehati-hatian, sesekali luka pasti datang berkunjung, entah fisik maupun psikis. Tapi sesungguhnya, luka membawa permata, bila manusia bisa menemukannya.” begitu tutur Gede Prama dalam sebuah bukunya.

Bukan hidup namanya kalau tak berpelangi. Selagi senyum tersungging di pintu dapur, sang tangis telah menanti di kamar tidur. Saat duka kian melanda di ruang tamu, bahagia telah menunggu di ujung ruang lainnya.

Hidupku pun dipenuhi pelangi. Bahagia selalu ada, duka pun tak bisa kutolak. Sekuat apapun aku berusaha menghindar, luka tetap datang menghampiriku. Bisakah aku menemukan permata? Luka selalu membawa tangis dan air mata, yang tak kunjung sirna. Luka begitu pedih, perih, nyeri, dan sakit sekali. Namun semua luka adalah pupuk bagi jiwa. Pupuk tak pernah indah, kotoran pembuatnya. Semakin sering diberi pupuk, kian suburlah pohon jiwa.

Pupuk membuat pohon berbuah manis, begitu pula adanya permata. Permata bukanlah barang yang bisa dibeli dengan tangan hampa. Ada harga yang harus dibayar dari sebuah permata. Luka-lah bayarannya.

Terima semua luka, syukuri keberadaannya, ikhlaskan dia, karena dengannya bathin ini menjadi kaya, permata menghampirinya.

“Aku terima semua luka ini ya Allah, sebagai pupuk bagi jiwa. Kuatkan aku menerimanya. Semoga, kugenggam juga sang permata, suatu hari nanti…”

Doa Malik dan Lala buat Bunda

Waktu aku sedang ‘dying’ kemarin, aku iseng-iseng ‘curhat’ sama Lala “La, bunda nggak bisa napas, hidung bunda mampet, bunda napasnya jadi lewat mulut, nggak enak banget rasanya La…gimana ya La ?” Eh, tak tahunya dia menjawab “berdoa bun, biar sembuh”. He he pinter tuh anak. “Wah iya ya, kalo gitu Lala doain bunda dong nanti ya…” pintaku. Lala cuma mengangguk.

Malam sebelum tidur tadi, aku mengeluhkan hal yang sama padanya. Hidungku mampet lagi. Aku ingat tentang percakapan tentang berdoa ini, lalu aku mengingatkan Lala “La, katanya mau doain bunda, gimana berdoanya?”“Morgen (besok) bun ”

“Oke deh kalo gitu”

Tapi ternyata dia langsung mengangkat tangannya dan berdoa “Ya Allah, sembuhkanlah bundaku, supaya besok bisa jalan-jalan lagi, amin”

“Wah, bagus sekali doanya, makasih ya sayang… Aik juga berdoa dong buat bunda…” Iseng-iseng aku ‘memaksa’ Aik yang berbaring disebelahku untuk mendoakan aku hehe. Rupanya, manjur! Tanpa acara mengangkat tangan kayak Lala, Aik berdoa,

“Ya Allah, biarkanlah bunda sembuh, biar…biar…biar…mmm…biar bunda bisa cerita lagi, amin”

Hi hi hi anak-anakku, lucu-lucu dan pada pinter berdoa deh sekarang, walaupun doanya karena dipaksa bunda hehe. Makasih ya sayang…