Rasanya tiada hari tanpa ‘huru hara’ yang dibuat oleh Aik. Tentu saja kecuali dia sakit. Aku berusaha untuk sangat mengerti. Menurut banyak pakar, usia 2-4 tahun memang usia sulit. Jadi aku berusaha untuk meluaskan hatiku dalam menghadapinya. Selalu trial dan error dalam mengatasi masa sulit ini. Beruntung sekali, sebelum pergi kesini aku sempat mengikuti pelatihan komunikasi pengasuhan anak dari klub Buah Hati. Aku mencoba mempraktekkannya disini, belum tahu hasilnya akan bagaimana. Sekali lagi, aku hanya berusaha, memberikan hal terbaik yang aku bisa. Hasil apapun yang layak diberikan Allah untuk anak-anakku, mudah-mudahan aku bisa ikhlas menerimanya. Tetap menerima dan menghargai apapun keunikan dalam diri mereka entah kekurangan maupun kelebihannya.Kutahu dari buku, bahwa negativistik anak di usia ini tak boleh dilawan. Anak usia ini sedang ingin menunjukkan pada dunia, “ini lho aku… aku ini ada, dan semua milikku, aku mau begini begitu harus boleh dong…. Semua yang kuinginkan harus terpenuhi sekarang juga, aku nggak mau dengar kata tidak boleh, aku mau semua yang aku lakukan diperbolehkan!” begitu kira-kira.
Itulah yang terjadi pada Aik sekarang, seperti sore tadi. Awalnya dia ingin membuat kolam dari minuman kotak yang hendak dituangkannya ke lakban berbentuk bundar. Dia berkata “Bunda Aik mau bikin kolam”. “Oh kalo gitu bawahnya harus dialasin piring ik, biar nggak basah ke karpet, lagipula kalo ke lakban, nanti lakbannya bisa basah” jawabku memberikan alasan dibalik pernyataan. Dia langsung senang karena aku mengijinkan.
Kemudian, aku melanjutkan acara memasak di dapur. Tiba-tiba, dia muncul dengan senyum nakalnya dan cekikik lucunya “Bunda…liat nih…” katanya bangga. “Masya Allah”, aku sedikit kaget, tapi aku ingat orangtua boleh kaget, tapi tetap, mimik dan intonasi suara harus tetap tenang.
Aik mengguyur seluruh ‘air kolam’ itu ke bajunya. Semua basah kuyup, terpaksa bunda meminta Aik untuk mengganti baju. Tapi… apa yang terjadi? Setelah berbugil ria, Aik lari kesana kemari tak mau dipakaikan baju. Wah bunda kewalahan deh. Akhirnya aku ingat teori parenting itu, harus tarik ulur, hargai keinginannya.
Lalu aku berkata pada Aik “Aik lagi nggak mau pake baju ya? ”
“Iya”
“Kenapa Aik nggak mau pake baju”
“Soalnya…soalnya…” Aik kebingungan tak bisa menjawab sambil berlari kesana kemari menghindari bunda yang mengejar-ngejar Aik.
“Ik, kalo Aik nggak pake baju bunda khawatir Aik kedinginan, nanti Aik sakit”
“Nggak, Aik nggak kedinginan…”
Aik tetap keukeuh menolak dipakaikan baju. Akhirnya aku berkata padanya “Aik mau berapa menit lagi nggak pake baju?” Dia hanya tertawa cekikikan sambil berlari kesana kemari. Kemudian, aku biarkan saja dia berbugil ria selama beberapa menit, padahal suhu udara hampir 0 derajat. Kami tak pernah menyalakan heater di siang hari, karena pemakaian heater terlalu sering kabarnya tak baik untuk kesehatan. Ya, demi menghargai keinginan anak, okelah. Sepertinya Aik ingin mencoba bagaimana rasanya tak pakai baju.
Setelah itu dia bermain komputer sambil tetap tak memakai baju. Aku coba untuk menunggu beberapa menit, sampai dia merasa cukup puas. Kemudian… “Ik, pake baju yuk, dingin sayang, bunda khawatir Aik sakit”. Ternyata Aik langsung menurut dan bahkan memilih bajunya sendiri. Ah…akhirnya…beres juga.
Bayangkan kalau aku bersitegang dengannya dan memaksanya untuk memakai baju ketika dia menolak. Mungkin dia tidak akan belajar bagaimana rasanya bertelanjang badan sambil bermain. Malik juga pasti merasa bundanya tidak menghargai pilihan dan keinginannya. Tapi ternyata dengan metoda tarik ulur, kesepakatan boleh berbugil ria, tapi dalam hitungan menit, dia dengan rela memilih baju dan memakainya dengan gembira. Hmm memang sulit ya jadi orangtua…