Perasaan Itu Bernama Rindu

Kesan pertama yang aku rasakan setelah mengenal kota tempat aku tinggal kini adalah tenang dan damai. Kehidupan disini begitu berbeda dengan di Bandung. Tak ada kemacetan lalu lintas, tak ada polusi, dan tak ada berita-berita kriminal yang menyeramkan dan ditayangkan sedemikian vulgar seperti berita-berita kriminal di Indonesia.

Taman-taman hijau banyak sekali tersebar dimana-mana, sedangkan mall malah teramat jarang. Bangunan-bangunan klasik berdinding batu-bata merah dan coklat khas Belanda menghiasi kota. Kanal-kanal dengan kapal-kapal yang berseliweran, maupun rumah kapal yang terparkir di pinggir sungai membuat kota ini semakin terlihat klasik dan juga cantik.

Continue reading “Perasaan Itu Bernama Rindu”

Sekolah Anak-anak

Kami tiba di Groningen saat musim panas baru saja menjelang. Musim ini adalah musim yang ditunggu-tunggu kebanyakan orang yang tinggal di negara empat musim. Saatnya berlibur, dan tentu saja, saatnya pula berjemur di bawah terik matahari bagi orang-orang berkulit bulai itu. Liburan sekolah berlangsung dari awal bulan Juli hingga akhir Agustus. Jadi, anak-anakku belum mulai sekolah waktu itu.

Kehidupan yang individual di negara ini membuat anak-anakku hanya bermain di rumah saja. Sesekali kami memang bermain di taman-taman yang ada hampir di setiap komplek, tapi tetap saja tak ada tetangga orang Belanda yang menjadi kawan. Bahkan dengan tetangga flat pun kami hanya saling senyum atau mengucap salam. Hubungan yang hangat antar tetangga seperti di Indonesia tak pernah kami temukan. Beruntung anak-anakku tak pernah bosan bermain di rumah. Ada saja permainan yang mereka lakukan. Tapi tentu saja, rumah jadi sering berantakan akibatnya.

Continue reading “Sekolah Anak-anak”

Transportasi di Groningen

Groningen dikenal sebagai kota sepeda (fietsstad). Sepeda rasanya menjadi barang wajib bagi setiap orang. Selain sehat, bersepeda di Groningen tentu saja mengirit ongkos dan waktu. Tapi tentu saja bersepeda menjadi sangat tidak nyaman saat musim gugur dan musim dingin tiba. Menjelang musim dingin, angin sering bertiup kencang. Tidak heran bila negara ini disebut negara kincir angin, karena angin kencang memang kerap bertiup sepanjang tahun.

Saat angin kencang itu datang dari arah yang berlawanan, kadang aku harus berhenti mengayuh sepeda lantaran tak kuat lagi melawan arusnya. Tapi, saat angin datang searah, laju sepedaku mendadak kencang bagaikan terbang. Keduanya sama-sama bikin kesal. Pernah sepedaku oleng dan nyaris terjatuh saking kencangnya angin yang datang. Belum lagi debu dan kotoran yang sering menampar muka dan memedihkan mata, semua sungguh tak nyaman. Bahkan anakku yang sedang berjalan menuju halte bis pernah melayang jatuh terdorong angin hingga beberapa meter saat angin luar biasa kencang menerpa. Peristiwa itu terjadi di awal Januari, ketika musim dingin baru saja menjelang. Untungnya dia baik-baik saja, hanya luka sedikit di telapak tangannya.

Continue reading “Transportasi di Groningen”

Apel 4 x 1/2 kg = 2 euro

Apel Fuji adalah apel favorit keluarga kami. Merah, renyah, dan yang penting, muanis sekali. Biasanya aku beli di toko buah setiap aku mau pulang ke rumah. Akhir-akhir ini harganya menjadi cukup mahal. 2 kg harganya 3 euro. Sejak saat itu, aku tidak lagi beli di toko, tapi di pasar. Tiap hari Selasa, Jum’at dan Sabtu ada pasar di Vismarkt.

Setiap barang yang dijuwal di pasar itu dikasih papan harga. Ini memudahkan kita untuk melihat barang tanpa perlu bertanya dulu. Kita bisa banding-bandingkan harganya dari satu kios ke kios yang lain. Jangan menawar ya, di sini bukan tempatnya.

Suatu hari, kulihat ada apel Fuji. Tertulis di papan di sampingnya 4kg x 1/2 (ditulis agak kecil) 2 euro. Wah, gile, 4 kg harganya cuma 2 euro, pikirku. Aku langsung beli 2 euro. Penjuwalnya mengambil dan menimbangnya. Lho kok cuma 2 kg, pikirku. Tapi itu apel yang manis. Lalu aku tambah lagi 2 kg. Jadi semuanya 4 kg, 4 euro.

Setelah kubayar, aku mbatin, “kreatif banget penjuwalnya. Musti pake ilmu matematika dulu untuk tahu harganya.”